"Aku" jawab Badaruddin
Anwar tidak menjawab, dia menunggu alasan Badaruddin.
"Kau tahu dia kemarin barusan ulang tahun yang ke-70. Jadi alangkah lebih baik aku datang untuk mendoakan dirinya agar bisa bahagia dan tenang di alam sana"
Pada hari itu Anwar merasa bersalah, seharusnya dia tidak meninggalkan sang adik sendirian menghadapi hukuman. Saat itu dia terlelap pada kekecewaan yang mendalam terhadap Badaruddin, terlebih lagi Ibu Jamilah tengah mengidap Kanker Payudara Stadium 4 dan harus terbaring diranjang tanpa mengetahui kalau Badaruddin akan segera menyisakan sebagian hidup di balik jeruji.
Badaruddin mengaruk bagian kepala belakang. Dia tahu kalau perbuatannya dahulu tidak bisa dimaafkan, terutama ketidakhadiran dirinya ketika Ibunya Jamilah meninggal. Terkadang dia merasa bertanggung jawab dan hampir di tiap sela waktu mengunjungi makam Ibunya itu bila berada di Kota Palembang. Anwar mengelus pundak sang adik dengan maksud untuk tetap tegar dan ikhlas atas apa yang terjadi.
Karina melihat kedua kakak adik yang mencoba untuk membangun kembali kehidupan masa lalu mereka yang sempat hancur dan berantakan. Dia tidak tahu banyak soal masalah yang terjadi, tetapi dia merasa kalau sudah waktunya untuk kedua kakak adik itu untuk saling memaafkan satu sama lain dan melupakan tiap keburukan di masa lalu itu.
"Maafkan aku.." Anwar memeluk Badaruddin dengan begitu erat. Diikuti dengan Badaruddin yang sudah terlihat melinangkan air mata, tetapi terus mencoba menahannya. "Aku juga bang. Pasti ibu melihat kita sekarang". Sebaliknya Anwar yang sudah meneteskan air mata dipundak sang adik Badaruddin, sedangkan Raffa terlihat bingung dengan apa yang terjadi pada mereka.
*
Pergulatan batin terus berlanjut. Mereka telah sampai di rumah tua yang berlokasi di Pagar Alam keesokan harinya. Rumah tua itu adalah rumah panggung yang memiliki kenangan manis bagi almarhum ayah mereka, Rojali, ketika semasa kecilnya. Dia tumbuh besar disana, hingga pada umur 25 (dua puluh lima) tahun memutuskan untuk merantau dengan menjadi seorang prajurit Tentara Nasional Indonesia pada saat itu. Rumah itu terawat baik oleh Badaruddin. Selepas dirinya keluar dari penjara, dia memutuskan untuk menjadi guru dengan bermodalkan ijazah SMA yang dirinya miliki. Semua berjalan tidak begitu baik, banyak sekolah yang memandang kalau Badaruddin adalah seorang mantan kriminal, sehingga tidak elok membiarkan dirinya yang cukup pintar itu memberikan ilmu kepada anak-anak.
Badaruddin dengan sikap sabar dan ikhlas memutuskan untuk kembali ke Pagar Alam. Dia berniat menjadi petani, tetapi takdir berkata lain. Sahabat Rojali datang, kebetulan dirinya adalah seorang Kepala Sekolah di sebuah Madrasah Swasta yang berlokasi tidak jauh dari rumah tua itu. Dia mengajak Badaruddin untuk mengajar di tempat itu, beruntung tanpa adanya penolakan atau pandangan miring atas status Badaruddin sebagai mantan narapidana.
Tuhan memberikan jalan, pikir Badaruddin kala itu dengan tangan terbuka menerima ajakan kawan ayah mereka. "Jadi sudah berapa lama din mengajar disini ?" tanya Anwar sambil mengangkat koper dan tas untuk dimasukan ke dalam rumah.