Mohon tunggu...
M Alfarizzi Nur
M Alfarizzi Nur Mohon Tunggu... Lainnya - Paralegal Posbakumadin Lampung

Paralegal yang senang bertutur melalui tulisan

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Pohon Kehidupan (Chapter 2)

6 November 2024   09:00 Diperbarui: 6 November 2024   09:08 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seorang ayah dan anak yang baru lahir (sumber: ebiri.blogspot.com)

Hari itu adalah hari yang sibuk, Anwar harus menjalani sidang yang panjang. Sejak pagi hari buta dirinya telah keluar dari rumah tanpa mengucapkan kata selamat tinggal kepada Raffa yang masih tertidur di ranjang yang empuk. Berbekal sarapan pagi yang terdiri dari nasi goreng dan buah-buahan, Anwar terpaksa makan dan minum di antara padatnya hilir mudik kendaraan bermotor di Jakarta. Setiap sudut jalanan tidak ada yang kosong, semuanya penuh akan pekerja yang sibuk menjalankan rutinitas hariannya itu.

Anwar pada hari itu diagendakan untuk sidangg di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Bagi para lawyer sidang di Jakarta merupakan sesuatu yang spesial bagi karir mereka, sebab banyak orang yang memandang kalau perkara yang disidangkan di Jakarta merupakan perkara yang tidak hanya memakan biaya yang cukup tinggi, tetapi perkara dengan tingkat kesulitan yang cukup tinggi. Kemampuan menjadi tuntutan yang harus ditunjukan oleh tiap pengacara yang bersidang di Jakarta.

Ruang tunggu sidang telah ramai oleh para pencari keadilan, tetapi Anwar merasa gelisah dia sedang menunggu salah seorang saksi yang memiliki peranan penting untuk membuat terang dalam suatu perkara. Anwar terlihat cemas akan hal itu, sekali dia melihat pintu utama pengadilan untuk memastikan apakah saksinya telah berada di pengadilan.

Tidak lama kemudian, Jaksa datang bersama dengan rekannya menyapa Anwar yang sibuk memperhatikan lingkungan sekitar.

"Hai War, apa kabar ?" tanya Rina

Anwar menoleh dan menyadari kalau musuhnya di persidangan itu telah datang, "Hai, sudah dari tadi ?"

"Barusan, setelah dirimu memarkir mobil tadi"

"Oh.. , bawa tim sekarang ?" tanya  Anwar dengan memandang beberapa Jaksa yang lebih muda di belakangnya

"Mereka ini masih calon Jaksa ? cuma sebagai senior tidak enak toh kalau tidak memberikan pengalaman kepada mereka sebelum di lantik nanti. Hehehe..."

"Jangan terbuai dengan ucapan manis dia adik-adik. Nanti kalian malah diperbudak..." guyon Anwar.

"Hahahaha.." balas Rina dengan kelakar tawa.

                                                                                                                                       *

Persidangan hampir di mulai, tidak ada senyuman bahkan canda tawa yang terjadi di antara Rina dan Anwar ketika duduk di meja persidangan, kecuali pikiran mereka yang sedang fokus membangun strategi mereka masing-masing. Majelis Hakim muncul dari salah satu bilik sidang. Jubah merah yang menjuntai menjadi ciri khas yang menunjukan kewibawaan mereka sebagai pengadil.

"Hakim memasuki ruang sidang, hadirin dimohon untuk berdiri" ujar Juru Sita yang berada di ruang pintu pengunjung sidang.

Semua berdiri hingga Majelis Hakim duduk di mejanya, "Silahkan duduk" perintah Majelis Hakim.

Anwar merasa gelisah, saksi belum datang tetapi sidang sudah akan dilaksanakan. "Bila aku melakukan penundaan lagi, sudah pasti ditolak karena masa penahanan sudah mau hampir selesai" pikir Anwar sambil memutarbalikan pena di antara jari tangan kanan.

"Persidangan Perkara No 322/Pid.Sus/2024/PN.Jkt telah dibuka dan terbuka untuk umum" ujar Ketua Hakim sidang dengan mengetuk palunya sebanyak 3 (tiga) kali.

Ketukan itu membuat Anwar semakin tegang. "Saudara Penasehat Hukum, apakah saksinya sudah siap ?" tanya Ketua Hakim. Anwar tidak langsung menjawab, dia cukup gugup untuk mencari alasan kembali untuk menunda persidangan.

"Eh..."

"Saudara Penasehat Hukum ?

Tidak lama kemudian saksi yang Anwar tunggu datang dengan keadaan tergopoh-gopoh menuju ruang sidang. "Hadir yang mulia. Saksi barusan saja datang" jawab Anwar dengan tegas.

"Baru datang toh, langsung hadirkan saja kalau begitu Penasehat Hukum. Hari ini sidang kita cukup banyak.."

"Baik Yang Mulia Hakim.."

Anwar memanggil Saksi Julianti untuk masuk ke dalam ruang persidangan, sebelum diri saksi duduk Anwar membisikan sesuatu kepada Julianti, "Berkata sejujurnya dan jangan pernah ragu menyampaikan kebenaran. Oke ?" minta Anwar.

Julianti mengangguk dan duduk di kursi tengah yang langsung menghadap ke arah meja Majelis Hakim. Gesturnya cukup tegang, tetapi dirinya cukup pintar dalam menyembunyikan kegugupan. Bagi Anwar dia adalah saksi yang penting guna menjelaskan alasan sang kakak melakukan kekerasan kepada diri ayah kandungnya. Pasalnya Julianti selaku sang adik sang memahami hiruk pikuk keributan yang terjadi di dalam rumah yang menurut dia memang selalu diawali oleh kemarahan sang ayah.

Majelis Hakim memeriksa identitas Julianti, tetapi di seberang meja Anwar terlihat ekspresi Rina yang cukup sumringah, Anwar tahu kalau Rina dikenal dengan Jaksa yang cukup kritis  di dalam sidang, tetapi santai di luar sidang. Dia pintar dalam berdialektika dan memanfaatkan kecerobohan saksi dalam memberikan keterangan. Kehatian-hatian diperlukan, pikir Anwar.

"Saudari seorang muslim ?"

"Ya saya beragama islam, nama dan perawakan saja yang seperti non-muslim" ujar Julianti bercanda.

"Tok !" ketuk palu oleh Ketua Hakim sebanyak 1 (satu) kali

"Saudari harus dijaga ya tata kramanya. Ini ruang sidang, bukan kedai kopi.." tegur Ketua Hakim dengan perawakan kisut dan lesuh itu. Jelas kalau dia adalah hakim senior yang keberadaanya harus dihormati dan dimuliakan, terutama pada sidang-sidangnya.

"Saudara Penasehat Hukum dipersilahkan untuk pertanyaannya, mohon jangan bertele-tele. Perkara kami banyak hari ini"

"Siap majelis.."

"Saudara saksi ?" tanya Anwar dengan nada tegas.

"Saudara tentu telah mengenal Ayah saudara. Sejauh ini apakah ada perbuatan atau kebiasaan yang setidaknya merugikan kepada diri saudara saksi ?"

Julianti berpikir, mencoba menguras memori masa lalu sebelum menjawab pertanyaan, "Sejujurnya tidak banyak kebiasaan yang bisa jadi contoh baik bagi kami, tetapi bukan berarti buruk kebiasaan itu.."

"Bukan berarti buruk ? bisa diberikan contohnya ?"

Julianti memandang mata Anwar. Dia tahu pertanyaan ini akan muncul, sebelumnya dia telah menyiapkan jawabannya, tetapi tidak tahu mengapa mulutnya tampak begitu gemetar ketika hendak menghanturkan beberapa kata.

Rina mengangkat tangan, "Keberatan Majelis, saya pikir sebelum saksi menjawab pertanyaan Penasehat Hukum alangkah lebih baik saksi menghadap ke arah Majelis Hakim"

"Saksi bisa melihat ke kami, bila gugup menjawab"

Anwar mengangguk kepada Julianti. "Baiklah yang mulia. Kebiasaan buruk ayah adalah...."

                                                                                                                                             *

Tahun 2005, Anwar yang masih berusia 17 (tujuh belas) tahun sedang sibuk membolak-balikan koran di atas meja makan. Dia sedang mencari Perguruan Tinggi Negeri yang akan mengadakan tes masuk bersama untuk Tahun Angkatan 2005. Kedua mata dipasatkan di tiap lembar topik berita yang terdapat di koran cetak itu, bahkan Anwar begitu acuh dengan Ibunya, Jaminah, yang sedang sibuk memasak lauk malam.

"Anwar bisa bantu Ibu sebentar.." minta Jaminah

Anwar tidak menjawab. Telinganya seperti disempal oleh kapas. Dia geram karena mengetahui kalau Universitas Sriwijaya Palembang sudah menutup pendaftaran bagi mahasiswa baru.

"Anwar.."

Anwar menoleh dengan reaksi seperti terbangun dari tidur, "Iya mi ?"

"Sedang apa kamu sampai umi minta tolong kamu tidak dengar ?"

"Ahh ini..." Anwar mengusap bagian belakang kepalanya. Dia tidak tahu harus bilang apa kepada ayahnya, Rojali, setelah mengetahui dia terlambat untuk mendaftar PTN. Anwar menunjukan pengumuman penutupan pendaftaran itu kepada Jaminah yang membawa mangkuk yang berisikan semur ayam untuk lauk makan malam.

Semur ayam itu ditaruh dan Jaminah hanya bisa memberikan senyuman kepada Anwar. "Lain kali kamu harus lebih teliti lagi war.." tegur Jaminah menasehati. 

"Soal ayah nanti bagaimana ?"

"Sudah kita rahasiakan saja war. Kamu tidak usah takut.."

Azan maghrib berkumandang, Thalib dan Badarrudin, datang memenuhi meja makan setelah menunaikan sholat maghrib di masjid.  Keduanya sangat begitu riang. Sekilas Badaruddin memang sudah disebut sebagai remaja, tetapi bagi Anwar mereka adalah adik-adik yang harus dijaga.

Meja makan telah dipenuhi oleh lauk: semur ayam, tumis kangkung, tempe goreng, sambal terasi, dan kerupuk, sudah menjadi hidangan yang mewah dan mahal bagi Anwar. Tidak lama kemudian, pintu rumah terketuk yang menjadi pertanda kalau Rojali telah pulang kerja. Thalib yang sangat begitu riang mendatangi pintu rumah dan membukanya.

"Ayahhh.." ujar Thalib hingga terlihat gigi ompongnya itu.

Melihat kebahagiaan dari putra bungsunya itu, Rojali, menggendong Thalib dan menaruh tas jinjingnya itu di ruang keluarga. Rojali langsung duduk di meja makan yang berada di tengah menghadap sang istri, Jaminah, yang sedang membagikan piring kepada para jagoannya itu.

"Ayo nak Thalib, duduk sebelah Anwar sana.." perintah Rojali.

Keluarga itu menyantap makanan dengan begitu lahap dan riang. Pembicaraan mengarah pada cerita anak-anak selama hari itu. Mulai dari sekolah hingga bermain dengan rekan sejawat. Thalib dan Badaruddin sangat begitu antusiasi dengan ceritanya itu. Mereka bercerita soal marbot masjid yang terpeleset gara-gara mengejar kucing yang masuk ke dalam masjid selepas dibersihkan. "Lantai itu licin bi.. , jadi dia terpeleset hingga pinggangnya terpingkal" ujar Badaruddin dengan memperagakan kejadian itu. Mereka semua tertawa, tetapi tidak pada Anwar. Dia masih merasa bersalah karena tidak begitu jeli memperhatikan soal penutupan pendaftaran Universitas Sriwijaya itu.

"War dari tadi kamu diam saja. Ada apa ?" tanya Rojali, dia merasa curiga kalau putra sulungnya itu sedang terjerat masalah.

"Tidak bi, hanya saja soal sekolah tadi. Bapak Soleh, guru sejarah favoritku, harus pensiun" Anwar beralibi.

Rojali mengambil nasi kembali, dia  menambah porsi karena belum makan sejak siang tadi, "Ya ampun war. Namanya juga beliau sudah tua, perlu istirahat jadi dia memutuskan pensiun. Toh juga banyak guru lain yang bisa menggantikannya. Kamu gak perlu murung seperti itu" Rojali menasehati.

"Kakak tidak perlu murung..." Thalib dengan polos mengikuti.

Rojali menatap Jaminah dengan tatapan keras. Dia tahu kalau Anwar berbohong, terlebih lagi Rojali yang bekerja sebagai Hakim Pengadilan Militer memahami tiap kelakar alibi yang dikeluarkan oleh seseorang, seperti yang dilakukan oleh Anwar sekarang.

Santapan makan malam telah usai. Bukan berarti ruang makan menjadi sepi. Sudah pukul 21.00 WIB, Thalib dan Badaruddin, telah tertidur di ranjang mereka masing-masing, hanya Anwar yang masih melek dengan Komik Naruto di tangannya. Kesunyian hanya terjadi di luar rumah, tetapi tidak di dalam. Terdengar dari arah ruang makan, perdebatan terjadi antara Rojali dan Jamilah.

"Kamu itu, bagaimana sih ini gimana kalau anak kita tidak kuliah nanti ?!" tunjuk Rojali pada sebuah tajuk koran yang menerangkan bahwa pendaftaran Universitas Sriwijaya telah ditutup.

Jamilah mencoba menenangkan Rojali yang sudah naik pitam dengan wajah memerah itu, "Tenang sayang, nanti kita cari solusinya. Untuk sekarang kita istirahat dulu, anak-anak juga sudah tidur. Tidak enak mereka bangun gara-gar---" ujar Jamilah dengan dada berdegup kencang, dia takut kalau Rojali akan hilang kontrol diri.

"Kamu jangan seenaknya bicara !. Aku ini tiap hari bekerja cari uang, masa iya kamu hanya memastikan soal pendidikan Anwar ini saja tidak bisa !"

"Hiks, hiks.." Jamilah tertunduk lemas, sebagai seorang wanita wajar bila dirinya meneteskan air mata. "Nangis ?!, ayolah Jamilah. Kau itu beruntung dijodohkan oleh ayahmu kepadaku, jujur saja aku berhutang jasa kepada ayahmu !" lanjut Rojali hingga tidak menyadari kalau Anwar telah berada di bilik dinding yang memisahkan ruang keluarga dan ruang makan.

Suara buku terjatuh, Rojali dan Juliana, menoleh dan melihat Anwar yang telah berdiri kaku. Malam itu Anwar telah diliputi oleh perasaan geram terhadap sang ayah: air mata menderai, tubuh bergedik gemetar, kedua tangan mengepal, dan nafas yang tersengal. Dia akan sangat ikhlas bila sang ayah memarahi dirinya karena kelalaian yang telah dirinya perbuat, baginya itu cara yang lebih bijak dan jantan. Namun setelah mengetahui kalau ibunya justru yang disalahkan atas kelalaian dirinya itu, Anwar tidak bisa menahan diri, sebab ini bukan pertamakalinya Rojali membentak dan memaki Jamilah hingga menangis karena permasalahan mereka sebagai anak. Anwar akan terus terang kalau itu tidak adil.

"K---kau berhentilah menjadi hakim. Bi---bila terus membentak Ibu.." ujar Anwar dengan gemetar takut.

"War kembali ke kamarmu sekarang !" perintah Rojali

"A---aku sudah m---muak.."

Tekad Anwar telah bulat, dia beranjak dari tempatnya berdiri dan melemparkan buku komik ke arah Rojali dan bergegas berlari ke arahnya seperti hendak menerjang. "Hentikan !" Juliana berteriak dan mencoba menahan laju Anwar. "Mau apa kamu ?!" sebaliknya Rojali juga mencoba memberikan perlawanan.

Malam itu adalah mimpi buruk yang ingin dihilangkan oleh Anwar. Dia ingin melupakan semua kekhilafan yang telah dirinya lakukan semua itu, tetapi peristiwa itu selalu hinggap di dalam pikirannya. Dalam benaknya melawan masa lalu itu, dia mencoba mencari pembelaan agar dapat menenangkan rasa kegundahan dalam pikirannya itu. Namun itu semua sia-sia.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun