Melihat kebahagiaan dari putra bungsunya itu, Rojali, menggendong Thalib dan menaruh tas jinjingnya itu di ruang keluarga. Rojali langsung duduk di meja makan yang berada di tengah menghadap sang istri, Jaminah, yang sedang membagikan piring kepada para jagoannya itu.
"Ayo nak Thalib, duduk sebelah Anwar sana.." perintah Rojali.
Keluarga itu menyantap makanan dengan begitu lahap dan riang. Pembicaraan mengarah pada cerita anak-anak selama hari itu. Mulai dari sekolah hingga bermain dengan rekan sejawat. Thalib dan Badaruddin sangat begitu antusiasi dengan ceritanya itu. Mereka bercerita soal marbot masjid yang terpeleset gara-gara mengejar kucing yang masuk ke dalam masjid selepas dibersihkan. "Lantai itu licin bi.. , jadi dia terpeleset hingga pinggangnya terpingkal" ujar Badaruddin dengan memperagakan kejadian itu. Mereka semua tertawa, tetapi tidak pada Anwar. Dia masih merasa bersalah karena tidak begitu jeli memperhatikan soal penutupan pendaftaran Universitas Sriwijaya itu.
"War dari tadi kamu diam saja. Ada apa ?" tanya Rojali, dia merasa curiga kalau putra sulungnya itu sedang terjerat masalah.
"Tidak bi, hanya saja soal sekolah tadi. Bapak Soleh, guru sejarah favoritku, harus pensiun" Anwar beralibi.
Rojali mengambil nasi kembali, dia  menambah porsi karena belum makan sejak siang tadi, "Ya ampun war. Namanya juga beliau sudah tua, perlu istirahat jadi dia memutuskan pensiun. Toh juga banyak guru lain yang bisa menggantikannya. Kamu gak perlu murung seperti itu" Rojali menasehati.
"Kakak tidak perlu murung..." Thalib dengan polos mengikuti.
Rojali menatap Jaminah dengan tatapan keras. Dia tahu kalau Anwar berbohong, terlebih lagi Rojali yang bekerja sebagai Hakim Pengadilan Militer memahami tiap kelakar alibi yang dikeluarkan oleh seseorang, seperti yang dilakukan oleh Anwar sekarang.
Santapan makan malam telah usai. Bukan berarti ruang makan menjadi sepi. Sudah pukul 21.00 WIB, Thalib dan Badaruddin, telah tertidur di ranjang mereka masing-masing, hanya Anwar yang masih melek dengan Komik Naruto di tangannya. Kesunyian hanya terjadi di luar rumah, tetapi tidak di dalam. Terdengar dari arah ruang makan, perdebatan terjadi antara Rojali dan Jamilah.
"Kamu itu, bagaimana sih ini gimana kalau anak kita tidak kuliah nanti ?!" tunjuk Rojali pada sebuah tajuk koran yang menerangkan bahwa pendaftaran Universitas Sriwijaya telah ditutup.
Jamilah mencoba menenangkan Rojali yang sudah naik pitam dengan wajah memerah itu, "Tenang sayang, nanti kita cari solusinya. Untuk sekarang kita istirahat dulu, anak-anak juga sudah tidur. Tidak enak mereka bangun gara-gar---" ujar Jamilah dengan dada berdegup kencang, dia takut kalau Rojali akan hilang kontrol diri.