Anwar tidak menjawab. Telinganya seperti disempal oleh kapas. Dia geram karena mengetahui kalau Universitas Sriwijaya Palembang sudah menutup pendaftaran bagi mahasiswa baru.
"Anwar.."
Anwar menoleh dengan reaksi seperti terbangun dari tidur, "Iya mi ?"
"Sedang apa kamu sampai umi minta tolong kamu tidak dengar ?"
"Ahh ini..." Anwar mengusap bagian belakang kepalanya. Dia tidak tahu harus bilang apa kepada ayahnya, Rojali, setelah mengetahui dia terlambat untuk mendaftar PTN. Anwar menunjukan pengumuman penutupan pendaftaran itu kepada Jaminah yang membawa mangkuk yang berisikan semur ayam untuk lauk makan malam.
Semur ayam itu ditaruh dan Jaminah hanya bisa memberikan senyuman kepada Anwar. "Lain kali kamu harus lebih teliti lagi war.." tegur Jaminah menasehati.Â
"Soal ayah nanti bagaimana ?"
"Sudah kita rahasiakan saja war. Kamu tidak usah takut.."
Azan maghrib berkumandang, Thalib dan Badarrudin, datang memenuhi meja makan setelah menunaikan sholat maghrib di masjid. Â Keduanya sangat begitu riang. Sekilas Badaruddin memang sudah disebut sebagai remaja, tetapi bagi Anwar mereka adalah adik-adik yang harus dijaga.
Meja makan telah dipenuhi oleh lauk: semur ayam, tumis kangkung, tempe goreng, sambal terasi, dan kerupuk, sudah menjadi hidangan yang mewah dan mahal bagi Anwar. Tidak lama kemudian, pintu rumah terketuk yang menjadi pertanda kalau Rojali telah pulang kerja. Thalib yang sangat begitu riang mendatangi pintu rumah dan membukanya.
"Ayahhh.." ujar Thalib hingga terlihat gigi ompongnya itu.