Mohon tunggu...
Rita Mf Jannah
Rita Mf Jannah Mohon Tunggu... Freelancer - Pelaku Pasar Modal, Pengamat Pendidikan, Jurnalis, Blogger, Writer, Owner International Magazine

Menulis sebagai sebuah Kebahagiaan dan Kepuasan, bukan Materi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pria Misterius Rumah Opa Robert

21 Juli 2024   08:54 Diperbarui: 21 Juli 2024   11:32 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Malam sunyi senyap. Kulangkahkan kakiku perlahan ke halaman rumah. Tak kujumpai siapa pun disana, padahal beberapa saat lalu sayup-sayup kudengar seseorang memanggil namaku. Namun kini, hening, gelap pekat, tak ada siapa pun, hanya suara lolongan serigala di kejauhan

Telah hampir sepekan aku menempati rumah warisan dari kakekku, Robert Van Lenderg. Meneer kaya-raya  berdarah Belanda di desa Kemuning. Bukan aku yang menjuluki kakekku  kaya-raya, tapi oenduduk desa ini. Dan memang rumah peninggalan kakek yang diwariskan kepadaku sebagai cucu satu satunya tidak main-main. Megah dan besar, hanya saja, kuno!

Sebetulnya aku kurang menyukai rumah tua warisan kakek. Sebab selain berarsitektur kuno, rumah ini kabarnya angker. Apalagi selain telah lelah sibuk mengurusi perusahaan kakek di kota, aku juga tak ingin lagi disibukkan dengan urusan mistik dan menggidikkan bulu kuduk.

Tetapi Opa Robert, demikian aku memanggil kakekku, tetap menunjukku sebagai pewaris satu-satunya dari rumah itu. Sementara ayahku sebgai anak tunggal opa, mewarisi sekaligus mengelola perusahaan di kota. 

Entah apa maksud opa, yang menurutku sangat tidak adil. Sebab sebagai anak muda, tentu saja aku lebih suka hiruk-pikuk kota dengan gemerlapnya. Namun opa tetap opa .Wasiatnya tidak akan bisa ditentang oleh siapa pun. 

Hingga akhirnya, dengan berat hati kukemasi barang-barangku meninggalkan kota, beranjak ke desa. Namun satu hal yang masih membangkitkan semangatku adalah kepemilikan sahamku di perusahaan opa, yang kini ditambah tiga puluh persen. Itu berarti, selain  bisa menikmati udara desa dan rumah opa sambil ongkang-ongkang kaki, aku juga akan tetap dapat memperoleh sejumlah uang pemasukan tiap bulan.

*****

Aku tidak tinggal sendiri di rumah opa. Ada lima pembantu yang turut diwariskan  Opa Robert, membuatku tak perlu lelah mengurusi rumah itu sendiri.

Pembantu pertama bernama Bik Imah. Perempuan paruh baya yang siap mengolah beragam makanan lezat untukku. Apalagi ia sangat istimewa. Selain mampu memasak beragam masakan Western food, ia juga ahli meramu Chinese food

.

Pembantu kedua, Pak Rukijo. Seorang tukang kebun renta namun sangat mahir mengelola taman bunga. Sehingga tak heran bila halaman rumah opa bak taman surgawi, penuh semerbak wangi bunga, terutama mawar. Tak heran, Pak Rukijo menjadi pembantu kesayangan opa. 

Pembantu ketiga adalah Pak Parmin. Sopir pribadi sigap yang siap mengantarkanku betkeliling ke seluruh pelosok desa.

Keempat, Mak Cepot. Wanita tua bersahaja yang selalu cekatan menjaga kebersihan rumah, termasuk mengganti tirai beserta bunga-bunga di vas tiap ruangan.

Terakhir, Wiranti, anak perempuan Mak Cepot. Usianya sekitar empat puluh tahun, namun masih gadis karena tak ingin menikah dalam hidupnya.  Ia  sangat rajin membantu segala tetek bengek pekerjaan emaknya. Bahkan tak segan-segan membantu Bik Imah menyiapkan makanan di dapur.

Bagiku, mereka pembantu yang sangat menyenangkan lagi santun. Betul-betul gambaran orang desa yang selalu penuh pengabdian.

*****

Setelah kejadian suara yang memanggiku namaku namun tak ada sosoknya tadi malam. Maka pagi itu aku mengumpulkan seluruh pembantu. Mencoba menanyakan adanya tamu kemarin malam. Tapi semua menggelengkan kepala.

Tak ada jawaban berarti yang kudapatkan. Dan aku berusaha memakluminya, sebab rumah opa berlantai tiga serta sangat luas. Wajar bila para pembantu tak mendengar suara itu.

Aku bersiap untuk sarapan pagi. Langkahku ke meja makan melewati koridor panjang, seketika terhenti saat kulihat seikat bunga mawar merah muda berpita biru. Aku memungutnya perlahan. "Hmm.. siapa ceroboh meletakkan bunga di tengah jalan?" batinku dalam hati.

"Mak Cepooot.....!" Teriakku memanggil. Siapa tahu bunga itu terjatuh saat akan disiapkan untuk mengisi vas di ruang tengah.

"Iya noon....." Mak Cepot datang tergopoh-gopoh sambil mengangkat kebayanya yang lusuh.

Kubetikan mawar itu kepadanya. Bukannya berterimakasih, justru Mak Cepot terlihat pucat pasi dan sangat terkejut. 

Aku melihat perubahan wajahnya. "Kenapa Mak?" tanyaku. "Itu bunga yang mau dipasang di vas kan?" lanjutku.

Tanpa banyak suara Mak Cepot cepat meraih bunga di tanganku dan segera bergegas meninggalkanku.

Semenjak kejadian pagi itu, hampir setiap hari aku menemukan rangkaian bunga mawar pink. Entah di koridor, balkon tingkat dua, bahkan tingkat tiga. Aku makin tak habis pikir, kenapa Mak Cepot selalu teledor meletakkan bunga.

*****

Malam itu, sayup-sayup aku kembali mendengar suara pria memanggil namaku. Kali ini di balkon kamar tingkat dua. Kulirik jam di dinding, telah menunjukkan jam 12 malam.

"Jam 12 malam ada yang memanggilku di balkon, aneh?!?" gumamku dalam hati. 

Bulu romaku terasa bergidik. Suara itu kembali memanggil namaku, yang tentu saja, pasti bukan arwah opa. 

Kuraih ujung tirai, aku mengintio dari sudut pintu kamar. Tampak di balkon berdiri tegap sesosok pria bettubuh tinggi besar. Cahaya rembulan menyinari kulit puih dan hidung mancungnya. "Malam begini ada pria di atas balkon, lewat mana?" tanyaku dalam hati.

Seakan tahu aku sedang mengamatinya dari balik tirai pintu kaca, ia mengembangkan senyumnya melangkah ke arah pintu. Bulu romaku kian merinding, kulihat kakinya berpijak di atas  tanah, tak mungkin dia hantu. Tampak sepatu hitam mengkilatnya terus melangkah. Aku segera menutup tirai tanpa bisa berkata apa-apa.

Penasaran, kubuka kembali tirai di depanku. Betapa terkejutnya aku, pria itu tak ada di sana lagi. Namun di depan pintu kamarku tampak seikat bunga mawar pink berbalut pita biru. Sama persis seperti yang kutemukan di koridor rumah opa. Aku tercenung, kembali menutup tirai rapat-rapat dan berlari ke tempat tidur. Berusaha memejamkan mataku.

*****

Pagi menjelang, suara kicau burung membangunkanku. Kubuka tirai pintu kamar. Kemudian melangkah perlahan keluar. Hampir aku jatuh saat kakiku terantuk sesuatu,.Dan..... rangkaian mawar pink berpita biru masih ada di sana.

Bunga mawar berwarna merah muda, sepintas masih baru dipetik tadi malam. Bau harumnya tak berbeda seperti rangkaian bunga yang biasa kutemukan di koridor rumah opa.

Dari atas balkon, pandanganku jatuh ke arah taman di halaman rumah opa. Tampak sebagian bunga mawarnya habis dipetik. Entah oleh Mak Cepot, atau mungkin, pria tadi malam yang misterius.

*****

Malam itu hujan turun dengan lebatnya. Seusai makan malam aku bergegas ke kamar atas, menuju peraduan sebab kantuk membayangiku. Sepintas kupandang jam dinding kuno di tembok, hampir mendekati jam sembilan malam.

Sambil menahan kantuk, jemariku sibuk memeriksa pesan di gawaiku. Sinyal di desa ini "putus nyambung." Membuatku sulit berkomunikasi dengan teman-teman di kota. Dan tiba tiba aku terlelap tanpa menyadari keadaan di sekelilingku lagi.

Jam dinding tua berdentang duabelas kali mengejutkanku. Hujan tampaknya belum reda, kian lebat dan memaksaku meringkuk dalam selimutku. Aku terkejut ketika kakiku menyentuh kaki lain di dalam selimut.

Dalam remang malam kusibak selimutku dengan cepat. Tampak sepasang kaki tersembunyi dalam selimutku. Mataku menelusuri bawah kaki hingga ke atas, terlihat sosok pria yang sedang tidur lelap. Ia tak memakai piyama, namun memakai setelan jas lengkap beserta dasi merah.

Aku terkejut, segera melompat dari tempat tidur, meraih saklar lampu kamar dan segera menyalakannya. Tetapi aku tak menjumpai siapa pun di kamar ini.

Aku menghela nafas panjang. Mungknkah sosok pria tadi hanya halusinasiku dalam gelap akibat udara malam disertai hujan yang terlampau dingin menusuk tulang?

Kembali menguap, aku berusaha bersikap masa bodo dengan hal yang baru saja terjadi, sebab mungkin benar hanya sebuah ilusi. Kumatikan lampu, dan kemudian aku terlelap lagi.

Dentang lonceng tua kembali mengusik lelap tidurku. "Oh jam dua malam," batinku. Kembali kupejamkan mata, tapi betapa terkejutnya, ternyata aku tidak sedang tidur sendiri. Samar-samar aku merasakan sesosok tubuh memelukku sangat kuat.

Aku tersentak, antara ketakutan dan kengerian. "Ternyata benar rumah opa menyimpan banyak cerita horor," ucapku dalam hati.

Bulu kudukku berdiri. Tubuhku terasa gemetar dan lemas, namun aku tetap  berusaha melepaskan diri dari dekapan sosok pria itu, tapi aku tak berhasil, ia makin erat memelukku. Semakin aku berusaha melepaskannya, maka semakin kuat ia mendekapku.

Aku berusaha tenang, kuambil nafas panjang. Kupandang wajah pria itu dalam keremangan malam. Sesosok pria kulit putih dengan wajah sangat rupawan. Kerupawanan yang sangat mengagumkan. Tak pernah kujumpai ketampanan sesempurna itu dalam hidupku. Tapi... bukankah pemilik wajah itu adalah pria misterius yang berada di balkon beberapa malam lalu?

Pria itu memaksaku lelap dalam pelukannya. Aku diam tak bergerak di dadanya yang bidang. Aroma tubuhnya harum, sebuah keharuman khas yang sering kujumpai dari buket mawar pink berpita biru yang sering kujumpai di koridor dan juga, balkon depan  pintu kamar tingkat dua.

Aku tak dapat menikmati tidurku lagi. Aku gelisah, jantungku berdegub sangat kencang. Ketakutanku menyeruak saat membayangkan bila tiba- tiba pria itu berubah menjadi vampir menakutkan yang menghisap darahku.

Aku berusaha berteriak, tapi suaraku tercekat di tenggorokan. Tak ada yang dapat kulakukan selain diam pasrah dan berusaha tenang meski tanganku gemetaran. Pria itu mengenggam jemariku dengan kembut. Bunyi nafasnya menandakan bahwa ia telah tertidur lelap. Kembali aku berusaha melepaskan diri, namun tetap gagal. Aku tak berhasil lepas dari pelukannya.

*****

Suara kicau burung mengejutkanku. Rupanya aku tertidur. Tak ada lagi sosok pria yang mendekapku paksa tadi malam. Aku segera melompat dari tempat tidur, bersyukur berhasil lepas dari dekapan yang menakutkanku tadi malam.

Sinar matahari pagi menyeruak masuk dalam kamarku. Kurapikan lingerie kusut masaiku. Memeriksa pintu kamar ke arah bakon. Tak ada randa-tanda kerusakan. "Darimana datangnya pria itu,?"tanyaku dalam hati.

Aku berjalan ke toilet. "Jangan-jangan pria itu sedang bersembunyi di sana?" kembali aku bertanya-tanya. Namun tak ada siapa jua di sana. Langit-langit pun tak menunjukkan tanda-tanda kerusakan. 

Tiba-tiba mataku tertumbuk padai rangkaian bunga mawar merah muda berpita biru yang ditata indah di atas bath up. Tampaknya pria misterius tadi malam memberiku bunga kembali.

*****

Kureguk chicken soup dari mangkok secara perlahan. Kehangatannya membuat pikiranku agak tenang. Kupanggil Mak Cepot untuk duduk bersamaku di meja makan. Lalu aku menceritakan buket mawar pink, pria misterius dan kejadian yang kualami.

Mak Cepot tampak terkejut, wajahnya pucat pasi, "Sudah saya duga non....," bisiknya lirih.

"Memang kenapa Mak?" Tanyaku penasaran.

Mata Mak Cepot menerawang jauh. Ia mulai bercerita, "Begini non........" Dengan lancar ia menceritakan bahwa sebetulnya ayahku memiliki saudara perempuan bernama Venny. 

Saat menginjak remaja, Venny jatuh cinta dengan seorang pria tampan berdarah Inggris bernama Brams, yang tinggal di kampung sebelah. Namun kakek tak menyetujui hubungan mereka karena perbedaan usia  yang terlampau jauh.

Tapi tampaknya mereka dibutakan oleh cinta. Brams mengajak Venny kawin lari. Saat mereka berusaha lari dari balkon kamar tingkat dua, opa memergokinya. Dengan kemarahan luar biasa, opa menembak Brams hingga meninggal seketika.

Di tengah hembusan nafas terakhirnya, Brams bersumpah akan menghantui kehidupan kakek dan keturunannya. Akibat kejadian itu, Venny menjadi gila dan bunuh diri meloncat dari atas balkon dalam nestapa. 

Semenjak hari itu, Venny dihapus dari daftar keluarga opa. Semua diperintahkan menutup peristiwa itu rapat-rapat. Pantas saja tak ada yang menceritakan peristiwa itu kepadaku, bahkan ayah. Hingga akhirnya aku menganggap ayahku sebagai anak tunggal opa.

Mak Cepot menghela nafas panjang,  "Brams meninggal dimana Mak? Tanyaku.

"Di kamar tempat nona biasa tidur,"ujar Mak Cepot lirih. "Lalu dikejar Meneer hingga lari ke sepanjang koridor, lalu tertembak di taman bunga halaman depan non...," lanjut wanita itu.

Aku terhenyak, "Kenapa Emak tidak pernah bercerita sebelumnya!?, tukasku.

"Maaf non, Meneer berwasiat agar saya tidak menceritakan," jawab Mak Cepot sambil menunduk dalam.

Kuhela nafas oanjang, Ternyata  aku yang menjadi tumbal dari kejadian masa lalu. Tampaknya arwah Brams menyukaiku. Bukan hanya memanggil namaku setiap malam, namun juga selalu memberiku bunga mawar pink berpita biru. Hingga kemarin malam, ia memaksa mendekapku dalam tidur.

Tak ada pilihan yang harus kulakukan, "Aku harus pergi...." gumamku dalam hati.

Sesampai di kamar, segera kukemasi semua barang-barangku dalam lemari. "Pak Parmiiin....!!"teriakku dari atas balkon saat melihat pria itu di taman bunga halaman depan.

"Iya noooon........!" Jawabnya setengah berteriak.

"Siapkan mobil, aku mau kembali ke kota!", ucapku dengan nyaring.

Pak Parmin tampak sangat terkejut. Belum sempat ia menjawab, aku bergegas masuk ke kamar. Berdiri di depan lemari pakaian untuk memilih baju terbaik untuk kembali ke kota.

Tapi tiba-tiba, seseorang mendekapku dari belakang. "Jangan pergi...." bisinya lirih. Kulepaskan dekapan itu dan berbalik ke belakang untuk melihat siapa yang berani memelukku dengan kurang ajar. Betapa terkejutnya aku, ternyata Brams!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun