Aku melihat perubahan wajahnya. "Kenapa Mak?" tanyaku. "Itu bunga yang mau dipasang di vas kan?" lanjutku.
Tanpa banyak suara Mak Cepot cepat meraih bunga di tanganku dan segera bergegas meninggalkanku.
Semenjak kejadian pagi itu, hampir setiap hari aku menemukan rangkaian bunga mawar pink. Entah di koridor, balkon tingkat dua, bahkan tingkat tiga. Aku makin tak habis pikir, kenapa Mak Cepot selalu teledor meletakkan bunga.
*****
Malam itu, sayup-sayup aku kembali mendengar suara pria memanggil namaku. Kali ini di balkon kamar tingkat dua. Kulirik jam di dinding, telah menunjukkan jam 12 malam.
"Jam 12 malam ada yang memanggilku di balkon, aneh?!?" gumamku dalam hati.Â
Bulu romaku terasa bergidik. Suara itu kembali memanggil namaku, yang tentu saja, pasti bukan arwah opa.Â
Kuraih ujung tirai, aku mengintio dari sudut pintu kamar. Tampak di balkon berdiri tegap sesosok pria bettubuh tinggi besar. Cahaya rembulan menyinari kulit puih dan hidung mancungnya. "Malam begini ada pria di atas balkon, lewat mana?" tanyaku dalam hati.
Seakan tahu aku sedang mengamatinya dari balik tirai pintu kaca, ia mengembangkan senyumnya melangkah ke arah pintu. Bulu romaku kian merinding, kulihat kakinya berpijak di atas  tanah, tak mungkin dia hantu. Tampak sepatu hitam mengkilatnya terus melangkah. Aku segera menutup tirai tanpa bisa berkata apa-apa.
Penasaran, kubuka kembali tirai di depanku. Betapa terkejutnya aku, pria itu tak ada di sana lagi. Namun di depan pintu kamarku tampak seikat bunga mawar pink berbalut pita biru. Sama persis seperti yang kutemukan di koridor rumah opa. Aku tercenung, kembali menutup tirai rapat-rapat dan berlari ke tempat tidur. Berusaha memejamkan mataku.
*****