Pembantu ketiga adalah Pak Parmin. Sopir pribadi sigap yang siap mengantarkanku betkeliling ke seluruh pelosok desa.
Keempat, Mak Cepot. Wanita tua bersahaja yang selalu cekatan menjaga kebersihan rumah, termasuk mengganti tirai beserta bunga-bunga di vas tiap ruangan.
Terakhir, Wiranti, anak perempuan Mak Cepot. Usianya sekitar empat puluh tahun, namun masih gadis karena tak ingin menikah dalam hidupnya.  Ia  sangat rajin membantu segala tetek bengek pekerjaan emaknya. Bahkan tak segan-segan membantu Bik Imah menyiapkan makanan di dapur.
Bagiku, mereka pembantu yang sangat menyenangkan lagi santun. Betul-betul gambaran orang desa yang selalu penuh pengabdian.
*****
Setelah kejadian suara yang memanggiku namaku namun tak ada sosoknya tadi malam. Maka pagi itu aku mengumpulkan seluruh pembantu. Mencoba menanyakan adanya tamu kemarin malam. Tapi semua menggelengkan kepala.
Tak ada jawaban berarti yang kudapatkan. Dan aku berusaha memakluminya, sebab rumah opa berlantai tiga serta sangat luas. Wajar bila para pembantu tak mendengar suara itu.
Aku bersiap untuk sarapan pagi. Langkahku ke meja makan melewati koridor panjang, seketika terhenti saat kulihat seikat bunga mawar merah muda berpita biru. Aku memungutnya perlahan. "Hmm.. siapa ceroboh meletakkan bunga di tengah jalan?" batinku dalam hati.
"Mak Cepooot.....!" Teriakku memanggil. Siapa tahu bunga itu terjatuh saat akan disiapkan untuk mengisi vas di ruang tengah.
"Iya noon....." Mak Cepot datang tergopoh-gopoh sambil mengangkat kebayanya yang lusuh.
Kubetikan mawar itu kepadanya. Bukannya berterimakasih, justru Mak Cepot terlihat pucat pasi dan sangat terkejut.Â