A. Pendahuluan
Islam merupakan agama yang diciptakan oleh Allah sebagai jalan untuk mendekatkan diri kepada Tuhannya. Islam bersifat abadi kelak hingga akhir zaman. Didalamnya terdapat sumber pedoman utama yakni Al-Qur’an dan hadist. Hadis merupakan sumber rujukan kedua setelah Al-Qur'an.
Al-Qur’an adalah kalam ilahi dalam bentuk tertulis ditujukan sebagai pedoman sekaligus tuntunan bagi umat Islam yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW lewat wahyu, didalamnya berisi tentang cerita orang-orang terdahulu, hokum tasyri’, syariat agama, yang dapat menuntun umat Islam ke jalur yang haq serta diridhoi oleh Allah SWT.
Adapun hadist secara bahasa bermakna al-jadid (sesuatu yang baru) selain itu, hadist juga bermakna al-khabar (berita) yang artinya suatu yang diperbincangkan dan dipindahkan dari satu orang kepada yang lainnya.
Sampai saat ini kajian hadist masih banyak menarik perhatian baik kalangan muslim ataupun orientalis. Perhatian tersebut memunculkan beragam kajian, mulai dari kritik otentisitasnya sampai pada bagaimana cara memahaminya. Menurut Yusuf Al-Qardawi, ada beberapa prinsip dasar saat meneliti suatu hadist. Pertama, meneiliti keshahihan hadist yang mecangkup matan dan sanad hadis yang sesuai dengan kaidah keshahihan hadist menurut ulama hadist. Kedua, harus benar-benar faham bahwa nash-nash tersebut berasal melalui asbabul wurud hadist. Ketiga, memastikan agar tidak berlawanan dengan nash-nash al-qur’an maupun hadist-hadist lain yang memiliki kedudukan lebih kuat.[2]
Dalam memahami suatu hadist tidak bisa hanya dengan pendekatan tekstual saja, melainkan ditinjau dari berbagai dimensi, serta memperhatikan situasi dan kondisi Nabi saat mengemukakan hadist tersebut. Menurut Muhammad Al-Ghazali memahami hadist dengan pandangan yang sempit maka akan menimbulkan problem social. Seperti adanya hadist yang menyatakan bahwa ramalan buruk akan adanya kesialan pada wanita, rumah, dan kuda, yang lebih signifikan lagi jumlahnya sebanyak 48 riwayat hadist. Adapun salah satu bunyi matan hadist tersebut dalam shahih Bukhari sebagai berikut:
حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ، قَالَ: حَدَّثَنِي مَالِكٌ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ حَمْزَةَ، وَسَالِمٍ، ابْنَيْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:(الشُّؤْمُ فِي المَرْأَةِ، وَالدَّارِ، وَالفَرَسِ)[3]
Artinya: Telah menceritakan kepada kami Isma’il ia berkata: telah menceritakan kepadaku Malik dari ibn Syihab dari Hamzah dan Salim keduanya adalah anak Abdillah bin ‘Umar, dari ‘Abdillah bin ‘Umar r.a bahwasanya Rasulullah SAW, bersabda: “adakalanya kesialan itu ada pada perempuan, rumah, dan juga kuda.”
Bagaimana upaya memahami hadist tersebut dengan menggunakan medote pemaknaan hadist mengenai hal tersebut yaitu kesialan pada tiga hal, wanita dewasa (istri), kuda hewan tunggang), dan tempat tinggal rumah).