"Serius, dong. Kapan Tante bohongin kamu? Ya udah, sekarang kamu siap-siap aja soalnya nanti kita bakal langsung ke rumah Tante."
"Mala tanya dulu ke Ibu ya, Tan," jawabnya.
"Terserah kalau soal itu. Udah ya, Tante sama Om mau siap-siap dulu. Asalamualaikum." Dalam sekejap sambungan telepon itu sudah terputus.
Waalaikumsalam, batin Mala.
Kini Mala dilanda kebingungan. Pertama, ia tidak tahu hal sepenting apa yang akan dibicarakan oleh Tante Kirana kepadanya nanti. Kedua, apakah ibunya akan mengizinkannya pergi sepagi ini. Ketiga, ia masih memusingkan soal Amel yang kemarin. Hidup ini memang benar-benar membingungkan. Terlampau banyak teka-teki yang harus dihadapi.
Bukannya bergegas menemui sang ibu untuk meminta izin, Mala justru duduk tercenung di tepian ranjang tidurnya memikirkan banyak hal. Segala harapan sekaligus ketakutan. Mendadak ia teringat dengan bayangan wajah almarhum ayahnya. Wajah yang terakhir kali ia lihat delapan tahun silam, tepatnya pada 3 Agustus 2010.
Setitik butiran bening yang meluncur begitu saja dari netra cantiknya. Begitu banyak hal yang menghantui pikirannya. Cita-cita ayahnya yang belum mampu ia wujudkan, hubungannya dengan sang ibu yang tak kunjung membaik, juga teman-temannya yang tak henti merundung dirinya sampai kini.
Tok! Tok! Tok!
Terdengar bunyi ketukan pintu cukup nyaring menyadarkan Mala dari lamunannya. Ia cepat-cepat menghapus jejak air netra yang masih tertinggal di pipinya. Kemudian ia beranjak keluar kamar untuk menemui ibunya. Namun, ternyata sang ibu sudah berada di ruang tamu bersama Kirana juga Hasan.
"Ngapain kamu ke sini?" ketus ibu Mala yang sontak membuat Mala terkejut bukan main.
"Oh jelas, saya ke sini mau jemput Mala. Saya mau bawa dia ke rumah saya. Nanti sore saya antar lagi," jelas Kirana tanpa basa-basi.