Bulan dan Mawar
"Kalian lucu banget, sih. Pacaran, ya?" Celetuk Puspa membuat kedua temannya yang sedang berdebat langsung menghentikan perdebatan mereka. Kedua anak yang berbeda jenis kelamin itu menoleh, dan salah satu dari mereka menyahut, "Idihh, ngapain aku pacaran sama dia? Mending pacaran sama Akmal," cetus Kalina. "Hahahaha, Akmal aja nggak mau ngelirik kamu sama sekali, pede banget," Kale tak mau kalah. "Kale jangan gitu, dong. Nanti ditinggal Kalina jadian sama Akmal kamu nangis," goda Puspa. "Enggak, lah. Ya kali si Kalina pacaran sama Akmal beneran," sahut Kale. "Lho, jadi kamu nggak terima kalau Kalina pacaran sama Akmal?" Puspa masih belum menyerah. "Apa sih, biasa aja tuh," tukas Kale sebelum beranjak pergi
Sebenarnya, Puspa hanya ingin mengajak Kalina untuk pergi ke kantin. Tetapi, di perjalanan mereka bertemu Kale -siswa yang suka mengganggu Kalina- dan akhirnya terjadilah perdebatan diantara mereka. Puspa curiga, sepertinya Kale menyukai Kalina, hanya saja dia gengsi untuk mengatakannya, dan hanya berani mengganggu Kalina jika mereka bertemu. "Kale itu suka sama kamu, Lin," Puspa mulai lagi. "Enggak mungkin, Pus. Kalau dia suka sama aku, ngapain dia ganggu aku setiap hari?" tanya Kalina heran. "Justru itu. Memangnya kamu pernah lihat Kale gangguin siswi lain selain kamu? Dia itu cuma caper, Lin. Biar kamu ngelirik dia," jelas Puspa. "Kalau misalnya Kale beneran suka sama aku, serem banget, Pus,"
"Kenapa?"
"Enggak tahu, deh. Serem aja bayangin dia yang suka ganggu aku setiap hari, tiba-tiba jadi pacarku,"
"Awas aja nanti kalau pacaran beneran, aku ketawa paling kencang, hahaha"
"Nggak mungkin, jangan berharap, deh,"
Ketika bel pulang sekolah berbunyi, semua siswa langsung berhamburan keluar kelas, tidak terkecuali Kalina dan Puspa. "Lin, aku duluan, ya," pamit Puspa. "Iya, hati-hati di jalan, Pus," ucap Kalina.
"Kalinaaaaaaa," ada seseorang yang memanggil Kalina, tetapi ketika ia menoleh ke belakang, tidak ada seorang pun di sana. "Tadi kayak ada yang manggil aku, apa aku salah dengar, ya?" ucap Kalina sebelum melanjutkan langkahnya. Ketika ia berbalik arah, "Dor!" Teriakan Kale mengejutkan Kalina. "Eh... Ayam ayam. Kale, ya ampun aku kaget!" teriak Kalina tidak kalah kencang. Kale langsung menutup kedua telinganya.
"Ada apa, Le? Ngapain kamu bikin acara ngagetin aku? Ya ampun, jantugku masih belum bisa berdetak dengan normal," kata Kalina hiperbola. "Kenapa? Kamu deg-degan, ya, lihat laki-laki setampan aku?" Kalina hanya diam dan menatap Kale malas. "Cepat sedikit bisa nggak? Aku lagi buru-buru ini" ucap Kalina. "Sebelumnya, aku mau tanya, Lin. Kamu punya sahabat pena nggak?" tanya Kale. "Engga."
"Kirain punya. Nih, ada surat"
"Dari siapa?"
"Buka dulu, nanti juga tahu sendiri. Ya sudah, aku duluan, ya. Dadah!" Kale langsung berlari meninggalkan Kalina. Sedangkan Kalina hanya diam dan melambaikan tangannya.
Karena penasaran, Kalina langsung membuka suratnya di rumah. Ternyata, isi surat tersebut adalah surat pengakuan Kale tentang perasaannya, dan permintaan maaf karena sudah mengganggu Kalina selama ini.
Keesokan harinya di sekolah, Kalina menghampiri Puspa. "Puspaaaa, kamu cenayang, ya?" tanya Kalina tiba-tiba.
"Enggak, ada apa?"
"Kale... Dia beneran suka sama aku," Kalina berbisik tepat di telinga Puspa.
"Serius?!" Puspa berteriak sangat kencang. Kalina langsung membekap mulut Puspa. Lalu, Kalina mengangguk pelan.
"Kan... Tebakanku yang kemarin ada benarnya," lanjut Puspa.
"Tapi..." ucap Kalina ragu.
"Tapi apa, Lin?" Puspa sangat penasaran.
"Kalau Kale gangguin aku, atau dia berada di dekatku aku ngerasa ada yang beda gitu, bukan cinta, sih. Tapi kayak... ada keterikatan antara aku sama dia," jelas Kalina.
"Alah... Kamu suka sama dia, kan? Tapi nggak mau ngaku aja," sanggah Puspa.
"Beneran, Pus. Aku merasa kayak ada keterikatan sama dia, tapi bukan cinta," Kalina tidak mau kalah.
"Lalu apa?"
"Mungkin... Seseorang dari masa lalu?"
"Kamu ngomong gitu kayak pernah punya pacar aja, hahaha" ejek Puspa.
"Waduh, jleb banget. Tapi benar juga, sih..." Kalina hanya bisa tersenyum.
"Kalina! Ada yang nyari, tuh!" Tiba-tiba Esa memanggil Kalina dari dekat pintu kelas mereka.
"Siapa?"
"Kale mungkin, hahaha," tebak Puspa. Kemudian, Kalina menghampirinya. Dan benar, itu Kale.
"Hai, Ayin." Sapa Kale. Kalina hanya mengerutkan dahi.
"Ada apa, Le?" Kalina tidak ingin basa-basi.
"Nanti nonton, yuk!"
"Di mana?"
"Bioskop. Kamu sibuk nggak hari ini?" Kale memastikan.
"Nggak juga, sih,"
"Jadi, mau ya? Ya ya ya?" Kalina mengangguk mengiyakan.
"Asik! terima kasih, Ayin. Nanti jam empat aku jemput, ya!" ucap Kale terlalu bersemangat. Kalina belum sempat menjawab, tetapi Kale sudah hilang dari pandangannya. Mungkin karena terlalu bersemangat.
Ayin......
Pukul 16.00, Kale sudah sampai di depan rumah Kalina. "Bunda, aku izin keluar sama Kale, ya." pamit Kalina kepada Bundanya. "Iya, hati-hati. Jangan pulang terlalu malam." Pesan Bunda Kalina. Bunda mengantar sampai depan rumah, sambil mengamati anak laki-laki yang mengajak Kalina pergi.
Di bioskop, mereka menikmati film yang sedang ditayangkan. Dengan memanfaatkan kesempatan yang ada, Kale mulai mencari keberadaan tangan Kalina, lalu menggenggamnya.
"Tanganmu halus banget, Yin," celetuk Kale tiba-tiba. Samar-samar Kalina mendengarnya, pipinya memerah tanpa ia sadari. Ia tidak tahu harus merespon seperti apa. Jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya.
Setelah film selesai, Kale mengajak Kalina untuk duduk bersantai di taman kota, sambal menikmati street food yang mereka beli di sekitar taman tersebut.
"Yin..." Kale memulai topik pembicaraan. Kalina berdeham menjawab panggilan Kale.
"Kamu sadar, nggak?"
"Enggak,"
"Dih, belum juga ngomong!"
"Hehehe. Sadar apa, Le?"
"Kita itu banyak banget kemiripannya. Mulai dari nama, tanggal lahir, terus... muka kita agak mirip nggak, sih? Apa jangan-jangan kita beneran jodoh, ya?'
"Hahaha, bisa aja kamu, Le. Memangnya kita mirip?"
"Iya, Yin. Teman-temanku banyak yang ngomong gitu"
"Kan itu menurut teman-temanmu, Le. Belum tentu benar juga,"
"Jadi, kamu nggak terima kalau dimiripin sama aku? Padahal aku tampan gini, lho"
"Pfft, HAHAHAHAH Kale Kale,"
"Ya sudah. Pulang, yuk! Sudah jam 8 nanti Bunda khawatir," ajak Kale. Kalina menurut.
Di perjalanan pulang, mereka diam saja. Tidak ada yang memulai pembicaraan. Hanya suara motor Kale yang terdengar.
"Teman laki-lakimu yang tadi, namanya siapa, Nak?" Tanya Bunda Kalina ketika ia sudah sampai di rumah, dan Kale sudah pulang.
"Kale, Bun,"
"Iya, bunda tahu kalau Namanya Kale. Maksud bunda nama lengkapnya siapa?"
"Kale Menyuar Vardit. Kenapa, Bun?"
Mendengar nama tersebut, Bunda Kalina langsung membeku. Ia tidak menjawab pertanyaan putrinya.
"Bun?" Kalina melambaikan tangannya di depan wajah bundanya, untuk memastikan bahwa bundaya baik-baik saja.
"Ah, iya Kale. Dia baik, kan?"
"Baik, Bun. Tenang aja, dia nggak bakal berani berbuat macam-macam. Kalau berani, nanti aku keluarin jurus rasenganku, hahaha."
Bunda hanya tersenyum melihat tingkah Kalina.
"Kalian pacaran?" Tanya Bunda, lagi.
"Sudah ditembak, Bun. Tapi belum aku jawab,"
"Bagus. Jangan pacaran sama dia, ya"
Kalina terkejut, "Tapi kenapa, Bun? Kale baik, Kale rajin, Kale bisa menghargai perempuan, Kale itu mendekati sempurna, Bun. Kenapa aku nggak boleh pacaran sama dia?"
Bunda malah tersenyum dan tidak menjawab pertanyaan Kalina, lagi. Kalina yang pasrah hanya terdiam, lalu masuk ke kamarnya.
"Kenapa nggak boleh, ya?" Gumam Kalina.
"Kok kayak ada yang patah, ya? Masa aku suka sama Kale beneran, sih? Nggak mungkin. Tapi kok sakit, ya... Tapi kan aku nggak suka sama Kale. Tapi... tapi..." L
Keesokan harinya di sekolah, Kalina termenung di bangkunya. Puspa menghampiri.
"Hayo, kamu lagi galau, Lin?"
"Nggak"
"Ckckck, nggak usah nyangkal, aku tahu kok."
"Memangnya kamu tahu apa?"
"Aku Tahu Sumedang, xixixi ngakak abiezzz"
"Nggak lucu, Pus."
"Hehehe maaf. Makanya cerita, dong!"
"Iya nanti cerita."
Seperti biasa, ketika waktu istirahat telah tiba Puspa mengajak Kalina ke kantin. Tapi, entah mengapa kali ini Kalina tidak ingin pergi ke kantin. Ia malah mengajak Puspa ke perpustakaan sekolah.
"Tumben ke perpustakaan, Lin. Biasanya nggak pernah," ucap Puspa sedikit heran.
"Aku mau cerita di sini saja. Jadi gini, Pus. Kemarin aku diajak Kale nonton film di bioskop. Bunda tahu kalau itu Kale. Terus, Bunda bilang aku nggak boleh pacaran sama dia. Bagaimana ya, Pus? Sepertinya aku sudah mulai jatuh..." jelas Kalina Panjang lebar.
Puspa terdiam sejenak sambil mendengarkan cerita Kalina. "Ya ampun, nggak dibolehin Bunda, ya. Tapi kamu udah tanya Bunda apa belum, kenapa kamu nggak dibolehin Bunda pacarana sama Kale?" Kalina hanya menggeleng lesu.
"Aku sendiri juga nggak tahu kenapa."
Semenjak hari itu, Kale menjadi lebih sering menghampiri Kalina ke kelasnya. Mereka banyak menghabiskan waktu berdua. Dan kini, hubungan mereka semakin dekat. Kalina sedikit khawatir ia akan jatuh terlalu dalam. Karena bagaimana pun, Bunda tidak pernah mengizinkannya untuk berpacaran dengan Kale, meski sudah dibujuk beberapa kali.
Suatu hari ketika Bunda Kalina tidak di rumah, Kalina berniat membersihkan kamar Bundanya. Tetapi, ketika ia membersihkan laci, ia menemukan berkas yang membuatnya terkejut, dan melongo. Tanpa disadari, Kalina mulai menitikkan air mata. Ia sesenggukan, dan akhirnya hancur juga benteng pertahanannya. Suara tangisnya makin kencang, ia merasa rapuh. Tanpa sepengetahuan Bunda, Kalina mengambil berkas-berkas tersebut dan menyimpannya di kamar Kalina.
"Kale, kayaknya kita harus bicara empat mata," di sekolah, pada saat istirahat tiba-tiba Kalina menghampiri Kale.
"Wah, ada apa, Lin?"
"Ini tentang kita."
"Sepertinya serius sekali, ya?" Kalina mengangguk. Kemudian, ia mengeluarkan beberapa berkas yang ia ambil tempo hari di kamar Bunda.
"Le... Kita ini sebenarnya... Saudara kembar," lirih Kalina, ia sudah tidak kuat untuk mengatakan apapun. Kale segera mengambil berkas tersebut. Setelah membaca beberapa berkas itu, muka Kale merah padam. Ia bingung, ingin menangis tapi ingin marah juga. Tapi, ia tidak bisa menunjukkannya di depan Kalina. Kale kembali membaca berkas-berkas tersebut seakan tidak percaya bahwa apa yang tertulis di kertas-kertas ini adalah kenyataan.
"Ini nyata, ya, Lin? Aku nggak percaya."
"Tapi Le, coba lihat lagi. Tanggal lahirmu 5 Juni aku 6 Juni. Orang tua kita, sama... Terus kemarin aku juga nemu surat cerai di kamar Bunda. Wajah kita juga hampir mirip, kan?"
Mereka terdiam untuk waktu yang cukup lama. "Jujur aku nggak tahu harus gimana, Lin," cicit Kale. "Kenapa semesta sejahat ini, ya? Kalau kita memang saudara kembar, kenapa kita nggak pernah saling kenal? Kenapa waktu kita bertemu, kita malah jadi dua orang asing yang saling suka?" lanjutnya. "Memangnya aku suka kamu, ya?" goda Kalina. "Jangan bercanda dulu, Lin. Kamu suka sama aku, kan?"
"Ya."
Mendengar jawaban tersebut, Kale tersenyum tipis. Tapi lama-lama, senyum itu menjadi pilu.
"Sekarang kamu mau gimana, Lin?" tanya Kale hati-hati. "Ya, selesai? Atau kita tetap dekat tapi bersikap selayaknya saudara kembar."
"Dua-duanya sulit, Lin. Aku nggak mau selesai sama kamu, dan aku juga nggak bisa kalau harus bersikap selayaknya saudara kembar."
"Kita coba dulu, Le. Pelan-pelan, pasti bisa."
"Lin, sakit..."
"Sama, Le. Tapi kita harus."
Semenjak hari itu, Kale tidak lagi menghampiri Kalina ke kelasnya. Kale juga tidak pernah mengganggu Kalina lagi. Ia butuh waktu, ia tidak bisa jika harus berpura-pura dan bersikap selayaknya saudara kembar di hadapan kalina. Mungkin saat ini, ia hanya butuh waktu untuk berdamai dengan dirinya sendiri. Ia akan menemui Kalina lagi jika ia sudah siap.
Di sisi lain, Kalina sedikit merindukan Kale. Tapi ia sadar, ia tidak boleh seperti ini terus. Ia harus kembali menjalani hidupnya seperti biasa. Walaupun berat, Kalina yakin, dia pasti bisa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H