Mohon tunggu...
faisal
faisal Mohon Tunggu... Freelancer - belajar nulis

main game dan beli komik

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Tinjauan Yuridis Terhadap Sikap Jaksa Penuntut Umum yang Tidak Mengajukan Upaya Hukum Banding Ketika Putusan Hakim Jauh di Bawah Tuntutan

12 Desember 2024   12:44 Diperbarui: 12 Desember 2024   12:44 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

LATAR BELAKANG

Surat dakwaan disusun oleh Penuntut Umum berdasarkan data dan fakta dalam berkas perkara hasil penyidikan perkara tindak pidana dari penyidik. Surat dakwaan harus jelas memuat semua unsur tindak pidana yang didakwakan dan disamping itu surat dakwaan juga harus merinci secara jelas bagaimana tindak pidana itu dilakukan terdakwa. Bagi hakim surat dakwaan merupakan dasar dan sekaligus membatasi ruang lingkup pemeriksaan dan dasar pertimbangan dalam menjatuhkan putusan. Bagi penuntut umum surat dakwaan merupakan rujukan pembuktian, tuntutan pidana dan penggunaan upaya hukum, sedangkan bagi terdakwa/penasihat hukum terdakwa surat dakwaan merupakan dasar untuk mempersiapkan dan mengajukan keberatan/pembelaan.

Sudikno Martokusumo menyatakan bahwa: "hakim dalam memutus suatu perkara secara kasuisitas, selalu dihadapkan kepada 3 (tiga) asas, yaitu asas kepastian hukum, asas keadilan, dan asas kemanfaatan. Ketiga asas tersebut (asas kepastian hukum, asas keadilan, asas kemanfaatan) harus dilaksanakan secara kompromi, yaitu menerapkan ketiga-tiganya secara berimbang atau proporsional"

Bahwa dalam putusan nomor : 798/Pid. B/2022/PN. Jkt.Sel. menyatakan terdakwa RICHARD ELIEZER PUDIHANG LUMIU terbukti secara sah melakukan tindak pidana "Turut Serta Melakukan Pembunuhan Berencana" dan menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa RICHARD ELIEZER PUDIHANG LUMIU dengan Pidana penjara selama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan sedangkan Penuntut Umum menuntut Terdakwa RICHARD ELIEZER PUDIHANG LUMIU dengan Tuntutan Pidana penjara selama 12 (dua belas) tahun, dengan perintah agar terdakwa segera ditahan, Tetapi Kejaksaan Agung yang diwakili Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Umum memutuskan untuk tidak mengajukan upaya hukum Banding maka  Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, penulis tertarik untuk membahasnya kedalam Kertas Kerja Perorangan dengan judul "TINJAUAN YURIDIS TERHADAP SIKAP JAKSA PENUNTUT UMUM YANG TIDAK MENGAJUKAN UPAYA HUKUM BANDING KETIKA PUTUSAN HAKIM JAUH DI BAWAH TUNTUTAN (Studi Putusan Nomor :798/Pid. B/2022/PN. Jkt.Sel. atas Nama Richard Eliezer Pudihang Lumiu)."

Rumusan Masalah

  • Bagaimana Pertimbangan Hakim memberi putusan jauh dibawah tuntutan Jaksa Penuntut Umum (Studi Putusan nomor :798/Pid.B/2022/PN.Jkt.Sel.) ?
  • Alasan Hukum apa yang tepat bagi Jaksa Penuntut Umum tidak mengajukan upaya hukum banding Ketika Putusan Hakim jauh di bawah tuntutan yang diajukannya ?

Maksud Penulisan

  • Untuk meneliti pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan pidana jauh di bawah tuntutan Penuntut Umum;
  • Untuk meneliti ketentuan hukum Jaksa Penuntut Umum yang tidak mengajukan banding Ketika putusan jauh dibawah tuntutan yang di ajukannya.

Tujuan Penulisan

  • Untuk mengetahui pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan pidana jauh di bawah tuntutan Penuntut Umum;
  • Untuk mengetahui ketentuan hukum Jaksa Penuntut Umum yang tidak mengajukan banding Ketika putusan jauh dibawah tuntutan yang di ajukannya. 

Tugas dan Kewenangan Jaksa

Pada Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia menyatakan, bahwa Kejaksaan adalah Lembaga Pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara, terutama di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan Undang-undang. Pelaksanaan kekuasaan negara tersebut dilaksanakan secara merdeka. Yang dimaksud dengan "secara merdeka" dalam ketentuan ini adalah dalam melaksanakan fungsi, tugas dan wewenangnya Jaksa terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya.[1]  

semua Jaksa menjadi Penuntut Umum karena seorang Jaksa menjadi Penuntut Umum harus dengan adanya suatu Surat Perintah yang diberikan kepadanya.

Pengertian dan perbedaan Jaksa dengan Penuntut Umum termuat dalam Pasal 1 angka 1 dan angka 2 Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh Undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan Undang-undang. Sedangkan Penuntut Umum adalah Jaksa yang diberi wewenang oleh Undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. Maka semua Penuntut Umum adalah Jaksa namun tidak semua Jaksa menjadi Penuntut Umum karena seorang Jaksa menjadi Penuntut Umum harus dengan adanya suatu Surat Perintah yang diberikan kepadanya.

Selanjutnya dalam Pasal 30 Undang-undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, tugas dan wewenang Kejaksaan diantaranya meliputi:

Dibidang Pidana:

  • Melakukan penuntutan;
  • Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
  • Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat;
  • Melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan   Undang-undang;
  • Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.

Di bidang Perdata dan Tata Usaha Negara, Kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak baik didalam maupun diluar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah

Dalam bidang ketertiban dan ketenteraman umum, kejaksaan turut  menyelenggarakan kegiatan:

  • Peningkatan kesadaran hukum masyarakat;
  • Pengamanan kebijakan penegak hukum; 
  • Pengawasan peredaran barang cetakan;
  • Pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan  masyarakat dan negara;
  • Pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama;
  • Penelitian dan pengembangan hukum serta statistik kriminal.

            Dalam bidang pidana Lembaga Kejaksaan sebagai pengendali proses perkara (Dominus Litis), karena hanya institusi Kejaksaan yang dapat menentukan apakah suatu kasus dapat diajukan ke pengadilan atau  tidak berdasarkan alat bukti yang sah menurut Hukum Acara Pidana yang terdapat dalam Pasal 184 KUHAP.  

Pertimbangan Hakim

Pertimbangan hakim akan timbul pada saat hakim dalam agenda pemeriksaan dan pembuktian di persidangan dinyatakan telah selesai, yang kemudian majelis hakim yang akan mengadakan musyawarah guna mendapatkan putusan yang berkepastian, berkeadilan dan kemanfaatan hukum sesuai dengan tujuan hukum. Terdapat hal penting yang hendaknya di perhatikan oleh Majelis hakim dalam pertimbangannya, yaitu bagaimana hakim harus memperhatikan Actus reus dan mens rea dengan rasionya dan hati nuraninya untuk mendapatkan keyakinan atas perkara yang diterimanya dan berdasarkan pemeriksaan di persidangan hakim dapat mengungkap fakta-fakta di dalam persidangan dengan cara mencari, menggali, menemukan dan menerapkan hukum yang tepat sesuai dengan kepastian hukum, keadilan hukum dan kemanfaatan hukum.[1]  

Masih banyak sekali aspek-aspek yang harus dipertimbangkan oleh Majelis hakim pada putusannya baik itu dari aspek yuridis ataupun dari aspek non yuridisnya. pada praktiknya di persidangan aspek yuridis merupakan suatu hal yang sangat penting karena pertimbangan yuridis tersebut timbul atas fakta di persidangan dan oleh Undang-undang ditetapkan sebagai hal yang harus dimuat dalam putusannya. pembuktian unsur-unsur dari suatu tindak pidana juga merupakan aspek penting apakah terdakwa bersalah telah melakukan delik pidana seperti yang di dakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum atau tidak sama sekali.[1]  
 
Pertimbangan Hakim Bersifat Yuridis, merupakan pertimbangan hakim yang didasarkan pada faktor-faktor yang terungkap dalam pemeriksaan di persidangan dan oleh undang-undang telah ditetapkan sebagai hal yang harus dimuat di dalam putusan. Pertimbangan yang bersifat yuridis di antaranya:

  • Dakwaan Jaksa Penuntut Umum, dakwaan merupakan surat atau akta yang disusun oleh Jaksa penuntut umum dan memuat rumusan suatu tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa yang merupakan sebuah kesimpulan dan sebuah uraian-uraian yang didapat dari hasil pemeriksaan di tingkat penyidikan, dan merupakan dasar bagi hakim untuk melakukan pemeriksaan di persidangan.[1]
  • Tuntutan pidana, pada umumnya menyebutkan secara jelas dan obyektif mengenai jenis dan beratnya pidana atau jenis tindak pidana yang dituntut oleh penuntut umum agar dijatuhkan pidana kepada terdakwa oleh Majelis Hakim, berdasakan hasil pemeriksaan di depan persidangan mengenai tindak pidana yang telah terbukti menurut jaksa penuntut umum melalui surat tuntutan tersebut.[2]
  • Unsur pasal yang di dakwakan, pada putusannya Majelis hakim juga mencantumkan dan mempertimbangkan unsur-unsur dalam ketentuan pasal dalam dakwaan jaksa penuntut umum.[3] Pertimbangan ini tidak serta-merta mencantumkan unsur-unsur hukum seperti apa yang telah undang-undang jelaskan mengenai pasal yang di dakwakan akan tetapi juga mencantumkan dari aspek teoritis dan praktek, pandangan doktrin, yurisprudensi dan kasus posisi yang sedang ditangani, kemudian dari hal tersebut hakim menetapkan pendiriannya dalam memberikan pertimbangan sehingga terdakwa dapat dinyatakan telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan suatu perbuatan pidana.
  • Nota Pembelaan / Pledoi, adalah nota yang dibuat oleh terdakwa atau penasihat hukumnya dan merupakan hak dari terdakwa untuk menanggapi surat tuntutan dari jaksa penuntut umum baik itu yang akan disampaikan langsung oleh terdakwa maupun yang akan disampaikan oleh penasehat hukum terdakwa baik secara tertulis ataupun secara lisan di depan persidangan yang berisi sanggahan atau jawaban atas surat tuntutan Jaksa Penuntut umum.[4]
  • Keterangan saksi, merupakan salah satu dari alat bukti dalam suatu perkara tindak pidana yang memuat keterangan dari para saksi mengenai suatu peristiwa tindak pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu. Keterangan saksi juga termasuk dalam alat bukti Sejauh mana keterangan itu mengenai suatu peristiwa tindak pidana yang di dengar sendiri, di lihat sendiri dan di alami sendiri, dan harus disampaikan dalam sidang pengadilan dengan dibawah sumpah.[5] 
  • Keterangan terdakwa, pada ketentuan Pasal 184 Ayat (1) huruf e KUHAP, keterangan atau pernyataan terdakwa juga termasuk sebagai alat bukti. Keterangan terdakwa merupakan apa yang dinyatakan terdakwa dalam agenda pemeriksaan di depan persidangan mengenai suatu perbuatan yang dilakukannya atau yang ia mengetahui sendiri atau yang ia alami sendiri, ketentuan ini diatur dalam Pasal 189 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Keterangan oleh terdakwa juga merupakan hasil jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh Jaksa penuntut umum, hakim maupun penasehat hukum guna menggali kebenaran yang sebenar-benarnya.[6]
  • Barang bukti, merupakan salah satu alat bukti berdasarkan pasal 184 KUHAP. Barang tersebut merupakan barang yang digunakan oleh terdakwa dalam melakukan perbuatan pidana atau hasil yang didapat dari suatu perbuatan pidana. Barang-barang tersebut disita oleh penyidik untuk dijadikan sebagai bukti di persidangan.[7]

Upaya Hukum Banding

Pendelegasian Kewenangan Upaya Hukum

  • Sesuai  Sesuai asas dominus litis dan een en ondelbaar, Jaksa Agung selaku penuntut umum tertinggi memiliki kewenangan untuk menetapkan kebijakan perlu tidaknya dilakukan Upaya hukum terhadap putusan pengadilan.
  • Kepala Kejaksaan Negeri atau Kepala Cabang Kejaksaan Negeri sebagai pengendali operasional penanganan perkara pidana berwenang untuk memutuskan perlu tidaknya dilakukan Upaya hukum terhadap semua putusan pengadilan, kecuali terhadap putusan pengadilan yang pengendalian tuntutannya merupakan kewenangan dari Jaksa Agung atau Kepala Kejaksaan Tinggi, maka kebijakan perlu tidaknya dilakukan upaya hukum merupakan kewenangan Jaksa Agung cq Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum atau Kepala Kejaksaan Tinggi yang mengendalikan tuntutan pidana perkara tersebut.
  • Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum berwenang untuk menentukan perlu tidaknya dilakukan Upaya hukum atas semua putusan pengadilan yang pengendalian tuntutan pidananya merupakan kewenangan Jaksa Agung.
  • Perlu tidaknya dilakukan Upaya hukum atas putusan pengadilan tidak didasarkan karena adanya perbedaan besar kecilnya pidana yang dijatuhkan dan/atau pasal yang diterapkan oleh hakim, atau penetapan status barang bukti yang termuat dalam putusan pengadilan dengan tuntutan yang diajukan oleh penuntut umum, tetapi merupakan kewenangan Kepala Kejaksaan Negeri atau Kepala Cabang Kejaksaan Negeri yang didasarkan pada rasa keadilan Masyarakat sesuai dengan kearifan lokal/kondisi daerah.
  • Dalam memutuskan kebijakan perlu tidaknya dilakukan Upaya hukum atas putusan pengadilan, Kepala Kejaksaan Negeri atau Kepala Cabang Kejaksaan Negeri mempertimbangkan pendapat penuntut umum yang menyidangkan perkara tersebut. Untuk itu, penuntut umum membuat nota pendapat yang berisi antara lain:
  • latar belakang dilakukannya tindak pidana oleh terdakwa;
  • pernah atau tidaknya terdakwa dijatuhi pidana;
  • rasa keadilan yang berkembang dalam Masyarakat, dan
  • alasan dan pertimbangan penuntut umum perlu tidaknya dilakukan Upaya hukum terhadap putusan pengadilan.
  • Dalam hal kebijakan perlu tidaknya dilakukan Upaya hukum terhadap putusan pengadilan yang pengendalian tuntutan pidananya merupakan kewenangan Jaksa Agung, agar Kepala Kejaksaan Negeri atau Kepala Cabang Kejaksaan Negeri melaporkan putusan pengadilan tersebut secara berjenjang kepada Jaksa Agung melalui Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum pada kesempatan pertama, untuk meminta petunjuk perlu tidaknya dilakukan Upaya hukum, dengan melampirkan nota pendapat penuntut umum.
  • Terhadap putusan pengadilan atas tuntutan pidana yang pengendaliannya merupakan kewenangan Kepala Kejaksaan Tinggi, agar diajukan kepada Kepala Kejaksaan Tinggi untuk meminta petunjuk perlu tidaknya dilakukan Upaya hukum.

Putusan perlu tidaknya dilakukan Upaya hukum diberikan secara tertulis oleh Kepala Kejaksaan Negeri/Kepala Cabang Kejaksaan Negeri diatas nota pendapat penuntut umum, atau diberikan secara tertulis oleh Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum/Kepala Kejaksaan Tinggi atas usulan Kepala Kejaksaan Negeri/Kepala Cabang Kejaksaan Negeri sesuai dengan kewenangan pengendalian tuntutan pidana.  

Upaya Hukum Banding

  • Untuk kepentingan penyusunan memori banding atau kontra memori banding, penuntut umum dalam waktu 1 x 24 jam meminta Salinan putusan pengadilan kepada Ketua Pengadilan Negeri secara tertulis.
  • Permintaan Salinan putusan sebagaimana dimaksud diatas bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis pertimbangan majelis hakim dalam putusannya, sebagai bahan penyusunan argumentasi penuntut umum dalam memori banding yang akan diajukan.
  • Dalam Menyusun memori banding agar Penuntut umum menuangkan alasan diajukannya banding terhadap putusan tersebut dengan mempertimbangkan rasa keadilan Masyarakat atas putusan pidana yang dijatuhkan hakim terhadap terdakwa.
  • Pengajuan banding terhadap putusan pengadilan tidak semata-mata karena putusan pidana yang dijatuhkan lebih rendah dari tuntutan yang diajukan, tetapi harus didasarkan pada rasa keadilan, kecuali apabila terdakwa mengajukan banding, maka penuntut umum wajib mengajukan banding dengan membuat memori banding dan kontra memori banding.
  • Sekalipun putusan yang dijatuhkan hanya (satu per dua) atau kurang dari (satu per dua) tuntutan yang diajukan, penuntut umum dengan persetujuan Kepala Kejaksaan Negeri/Kepala Cabang Kejaksaan Negeri dapat tidak mengajukan Upaya hukum banding, kecuali terhadap perkara :
  • Pencurian dengan kekerasan yang disertai dengan pemberatan;
  • Tindak pidana pembunuhan berencana;
  • Tindak pidana pengedar narkotika/bandar besar;
  • Tindak pidana yang dilakukan secara terorganisir atau berkelompok;
  • Tindak pidana yang mengandung sentiment, perlakuan diskriminatif, pelecehan, atau penggunaan kekerasaan terhadap orang berdasarkan identitas, keturunan, agama, kebangsaan-kesukuan, atau golongan tertentu;
  • Pencurian tas atau bagasi yang terjadi di bandara, kereta api, bus dan kapal penumpang;
  • Kekerasan seksual terhadap anak maupun Perempuan;
  • Tindak pidana dengan modus pembiusan dan/atau hipnotis;dan/atau
  • Tindak pidana yang berdampakpada kerugian yang sangat besar.
  • Dalam hal perkara yang pasalnya dinyatakan terbukti dan dijatuhi hukuman pidana oleh hakim berbeda dengan pasal yang dibuktikan penuntut umum maka penuntut umum tidak wajib mengajukan banding.
  • Dalam hal putusan pidana yang dijatuhkan atau Tindakan yang dikenakan oleh hakim dalam perkara anak berbeda dengan tuntutan pidana atau Tindakan yang diajukan penuntut umum maka penuntut umum tidak wajib mengajukan Upaya hukum kecuali jika hakim tidak mempertimbangkan asas proporsional dan kepentingan terbaik anak.
  • Dalam hal putusan pengadilan tidak mengabulkan Sebagian atau seluruh permintaan restitusi yang diajukan penuntut umum dalam tuntutannya maka penuntut umum dapat mengajukan Upaya hukum terhadap restitusi mengingat restitusi merupakan hak reparasi korban tindak pidana yang mewajibkan pelaku mengganti penderitaan/kerugian korban dalam perkara pidana (penal character)

Kasus Posisi

Bahwa Penuntut Umum telah membacakan Surat Tuntutan REG. PERK. No.PDM-246/JKTSL/10/2022, tertanggal 18 Januari 2023 yang pada pokoknya menuntut Terdakwa sebagai berikut:

Menyatakan Terdakwa RICHARD ELIEZER PUDIHANG LUMIU dengan identitas tersebut diatas, terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana merampas nyawa orang secara Bersama-sama sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Dakwaan Primair melanggar Pasal 340 jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana;

Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa RICHARD ELIEZER PUDIHANG LUMIU dengan pidana penjara selama 12 (dua belas) Tahun, dengan perintah agar Terdakwa segera ditahan;

Dst..

Bahwa Hakim memutus Mengadili:

Menyatakan Terdakwa RICHARD ELIEZER PUDIHANG LUMIU terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana,"Turut Serta Melakukan Pembunuhan Berencana"

Menjatuhkan pidana terhadap RICHARD ELIEZER PUDIHANG LUMIU dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan

Menetapkan penangkapan dan lamanya masa penahan yang telah dijalani Terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;

Menetapkan Terdakwa tetap berada dalam tahanan;

Menetapkan Terdakwa sebagai Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collaborator:

Dst...  

Bahwa Bapak Jaksa Agung Muda Bagian Pidana Umum dalam konferensi persnya tanggal 16 Februari 2023 menyatakan "Saudara RICHARD ELIEZER PUDIHANG LUMIU yang telah berterus terang, Kooperatif dari awal, itu merupakan contoh bagi Penegak Hukum yang mau membongkar peristiwa Pidana, Jadi bahan pertimbangan juga bagi Kejaksaan Agung untuk tidak menyatakan banding dalam perkara ini maka inkrahlah putusan ini sehingga mempunyai hukum tetap dengan pertimbangan-pertimbangan korban Ikhlas dan sudah diwujudkan dalam pernyataan-pernyataan orang tua dari pada Almarhum Joshua, itu yang bisa saya sampaikan dalam penjelasan saya pada hari ini mudah-mudahan dapat dterima oleh semuanya karena mewujudkan keadilan itu memang sudut pandang berbeda itu hal yang biasa tetapi Ketika Masyarakat, Ketika korban menerima itu sudah lebih dari cukup untuk hal perwujudan hal subtantif."

Fakta

Terdakwa RICHARD ELIEZER PUDIHANG LUMIU didakwakan Penuntut Umum dalam Dakwaan Primair dan terbukti melanggar Pasal 340 jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.

Bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan, Oleh karena telah ternyata Terdakwa melakukan tindak pidana serta tidak ditemukan adanya alasan pembenar maupun pemaaf maka Terdakwa harus bertanggungjawab atas perbuatan yang telah dilakukannya;

Bahwa selanjutnya Tim Penasihat Hukum Terdakwa di persidangan telah mengajukan permohonan agar Terdakwa ditetapkan sebagai saksi pelaku yang bekerjasama (Justice Collaborator), permohonan mana dilampiri rekomendasi LPSK tertanggal 11 Januari 2023 perihal Rekomendasi Pemberian Hak dan Penanganan Khusus sebagai saksi pelaku yang bekerjasama (Justice Collaborator);

Bahwa Majelis perlu lebih dahulu menentukan apakah Tindak Pidana yang dilakukan Terdakwa termasuk bagian Tindak Pidana yang bagi pelakunya dapat memperoleh status saksi pelaku yang bekerja sama (Justice Collaborator);

Bahwa Hal-hal yang Memberatkan Terdakwa RICHARD ELIEZER PUDIHANG LUMIU

Hubungan yang akrab dengan korban tidak dihargai Terdakwa sehingga akhirnya korban meninggal dunia

Bahwa Hal-hal yang Meringankan Terdakwa RICHARD ELIEZER PUDIHANG LUMIU 

Terdakwa adalah sebagai Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice collaborator )

Terdakwa bersikap sopan dipersidangan;

Terdakwa belum pernah dihukum;

Terdakwa masih muda diharapkan mampu memperbaiki perbuatannya di kelak kemudian hari;

Terdakwa menyesali perbuatannya dan berjanji tidak akan mengulangi lagi;

Keluarga korban Nofriansyah Yosua Hutabarat telah memaafkan perbuatan Terdakwa  

Analisa Yuridis

Pertimbangan Hakim memberi putusan jauh di bawah tuntutan Jaksa Penuntut Umum

Bahwa dalam SEMA nomor 4 tahun 2011, Mahkamah Agung telah memberi pedoman tindak pidana yang pelakunya dapat memperoleh status saksi pelaku yang bekerja sama dengan syarat-syarat yang ditetapkan;

Bahwa angka 9 huruf a SEMA nomor 4 tahun 2011, menentukan seseorang sebagai saksi pelaku yang bekerjasama (Justice Collaborator ) adalah sebagai berikut :

Yang bersangkutan merupakan salah satu pelaku tindak pidana tertentu sebagaimana dimaksud dalam SEMA ini, mengakui kejahatan yang dilakukannya bukan pelaku utama dalam kejahatan tersebut serta memberikan keterangan sebagai saksi di dalam proses peradilan;

 Bahwa yang dimaksud dengan tindak pidana tertentu dalam SEMA No. 4 tahun 2011 adalah tindak pidana tertentu yang bersifat serius, seperti tindak pidana korupsi, terorisme, tindak pidana narkotika, tindak pidana pencucian uang, perdagangan orang, maupun tindak pidana lainnya yang bersifat terorganisir, telah menimbulkan masalah dan ancaman yang serius terhadap stabilitas dan keamanan Masyarakat, sehingga meruntuhkan Lembaga serta nilai-nilai demokrasi, etika dan keadilan serta membahayakan Pembangunan berkelanjutan dan supremasi hukum

Bahwa lahirnya SEMA No. 4 tahun 2011 didasarkan pada ketentuan dalam Undang-undang No. 13 tahun 2006, dimana meskipun telah mengatur Perlindungan terhadap Pelapor Tindak Pidana (Whistle Blower ) dan saksi Pelaku yang bekerjasama (Justice Collaborator) dalam pasal 10 UU No. 13 tahun 2006, disadari masih perlu pedoman lebih lanjut di dalam penerapannya;

Bahwa setelah meneliti dengan seksama SEMA Nomor 4 tahun 2011 tersebut, perlindungan yang diberikan baik kepada Pelapor Tindak Pidana (Whistle Blower ) dan saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collaboratoe ) adalah pada, "tindak pidana tertentu", sedangkan Pelapor Tindak Pidana (Whistle Blower)   dan saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collaborator) yang didasarkan pada, "tindak pidana dalam kasus tertentu", belum merupakan bagian dalam SEMA Nomor 4 tahun 2011 tersebut;

Bahwa seiring berjalannya waktu telah disahkan dan berlaku Undang-Undang Nomor 31 tahun 2014 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, dimana pedoman sebagaimana ditentukan dalam SEMA 4 2011 sudah terakomodir, lebih lanjutMajelis melihat perkembangan keadilan dalam Masyarakat menghendaki Pelapor Tindak Pidana (Whistle Blower) dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collaborator) tidak semata-mata didasarkan pada, "tindak pidana tertentu" sebagaimana dalam SEMA 4 tahun 2011, akan tetapi juga mengacu pada, "tindak pidana dalam kasus tertentu", sebagaimana ditentukan  UU No.31 tahun 2014 tentang perubahan UU No. 13 tahun 2006;

Bahwa sesuai pasal 28 ayat (2) huruf a UU No. 31 Tahun 2014 tentang Perubahan UU Nomor 13 tahun 2006, perlindungan LPSK terhadap saksi pelaku diberikan dengan syarat : Tindak pidana yang akan diungkap merupakan tindak pidana dalam kasus tertentu sesuai dengan keputusan LPSK sebagaiman dimaksud dalam pasal 5 ayat (2);

Bahwa pasal 5 ayat (2) pada dasarnya isinya sama dengan pasal 28 ayat (2) huruf a, dimana dalam penjelasan pasal 5 ayat (2) menjelaskan apa yang dimaksud ,"tindak pidana tertentu ", antara lain, tindak pidana korupsi, tindak pidana narkotika/psikotoprika, tindak pidana terorisme, dan tindak pidana lain yang mengakibatkan posisi saksi dan korban dihadapkan pada situasi yang sangat membahayakan jiwanya;

Bahwa oleh karena itu adanya pasal 28 ayat (2) huruf a jo. Pasal 55 ayat (2) UU LPSK pembentuk Undang-undang Nomor 31 tahun 2014 menegaskan adanya perlindungan yang diberikan kepada saksi/korban tindak pidana dalam kasus tertentu sesuai dengan keputusan LPSK, sedangkan yang termasuk, "tindak pidana dalam kasus tertentu,"... tindak pidana lain yang mengakibatkan posisi saksi dan korban dihadapkan pada situasi yang sangat membahayakan jiwanya"

Bahwa mengingat pembentuk undang-undang telah menghendaki Lembaga Perlindungan Saksi dan korban (LPSK) diberikan kewenangan memutuskan adanya tindak pidana kasus tertentu yang antara lain,"... tindak pidana lain yang mengakibatkan posisi saksi dan korban dihadapkan pada situasi yang sangat membahayakan jiwanya", maka sesuai rekomendasi LPSK tertanggal 11 Januari 2023 kepada Terdakwa Richard Eliezer tindak pidana yang dihadapi Terdakwa dapat dikategorikan termasuk dalam pengertian," tindak pidana dalam kasus tertentu", sebagaimana dimaksudkan dalam UU no.31 tahun 2014 tentang perubahan Undang-Undang no. 13 tahun 2006 tentang Perlindungan saksi dan Korban;

Bahwa syarat untuk dapat ditetapkan sebagai pelaku yang bekerjasama (justice collaborator) Terdakwa bukanlah sebagai pelaku utama;

Bahwa mengingat dalam Undang-Undang No.31 tahun 2014 tentang perubahan Undang-undang Nomor 13 tahun 2006 menentukan syarat Justice collaborator adalah bukan pelaku utama, sedangkan dalam KUHP sendiri istilah pelaku utama dalam ajaran penyertaan/deelneming tidak dikenal dan hanya menyebutkan siapa yang termasuk sebagai pelaku/dader, oleh karenanya siapa yang dimaksud sebagai pelaku utama diserahkan paraktek pengadilan;

Bahwa telah ternyata Terdakwa merupakan orang yang Turut serta melakukan/medeplegen, sedangkan dalam Turut serta Melakukan/medeplegen tidaklah semua yang turut serta melakukan tidaklah semua yang turut serta melakukan harus memenuhi rumusan delik.

Bahwa untuk itu berdasarkan apa yang telah dipertimbangkan serta adanya kebenaran fakta penyebab meninggalnya korban Yosua telah dikepung berbagai pihak yang mengakibatkan gelapnya perkara sehingga kebenaran dan keadilan nyaris muncul terbalik, maka kejujuran, keberanian dan keteguhan Terdakwa dengan berbagai resiko telah menyampaikan kejadian sesungguhnya, sehingga layak Terdakwa ditetapkan sebagai saksi pelaku yang bekerja sama (justice collaborator) serta berhak mendapatkan penghargaan sebagaimana ditentukan dalam pasal 10 A Undang-Undang No. 31 tahun 2014 tentang perubahan Undang-Undang Nomor13 tahun 2006

Pertimbangan Jaksa  Penuntut Umum tidak Banding berdasarkan Press Release Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum tanggal 16/2/2023

Bahwa Bapak Jaksa Agung Muda Bagian Pidana Umum dalam konferensi persnya tanggal 16 Februari 2023 menyatakan "Saudara RICHARD ELIEZER PUDIHANG LUMIU yang telah berterus terang, Kooperatif dari awal, itu merupakan contoh bagi Penegak Hukum yang mau membongkar peristiwa Pidana, Jadi bahan pertimbangan juga bagi Kejaksaan Agung untuk tidak menyatakan banding dalam perkara ini maka inkrahlah putusan ini sehingga mempunyai hukum tetap dengan pertimbangan-pertimbangan korban Ikhlas dan sudah diwujudkan dalam pernyataan-pernyataan orang tua dari pada Almarhum Joshua, itu yang bisa saya sampaikan dalam penjelasan saya pada hari ini mudah-mudahan dapat dterima oleh semuanya karena mewujudkan keadilan itu memang sudut pandang berbeda itu hal yang biasa tetapi Ketika Masyarakat, Ketika korban menerima itu sudah lebih dari cukup untuk hal perwujudan hal subtantif."

Berdasarkan Pedoman 24 Tahun 2021 Tentang penanganan Perkara Tindak Pidana Umum Jaksa dapat tidak mengajukan Upaya hukum banding, kecuali terhadap perkara :

Pencurian dengan kekerasan yang disertai dengan pemberatan;

Tindak pidana pembunuhan berencana;

Tindak pidana pengedar narkotika/bandar besar;

Tindak pidana yang dilakukan secara terorganisir atau berkelompok;

Tindak pidana yang mengandung sentiment, perlakuan diskriminatif, pelecehan, atau penggunaan kekerasaan terhadap orang berdasarkan identitas, keturunan, agama, kebangsaan-kesukuan, atau golongan tertentu;

Pencurian tas atau bagasi yang terjadi di bandara, kereta api, bus dan kapal penumpang;

Kekerasan seksual terhadap anak maupun Perempuan;

Tindak pidana dengan modus pembiusan dan/atau hipnotis;dan/atau

Tindak pidana yang berdampakpada kerugian yang sangat besar.

Dapat digaris bawahi bahwa alasan Jaksa Penuntut Umum tidak mengajukan banding adalah pertimbangan bahwa Terdakwa RICHARD ELIEZER PUDIHANG LUMIU yang telah berterus terang, Kooperatif dari awal, keluarga telah Ikhlas menerima. Artinya jaksa Penuntut Umum tidak memakai alasan yuridis untuk tidak mengajukan banding karena Tindak Pidana Pembunuhan Berencana Jika putusan dibawah tuntutan Jaksa Penuntut Umum termasuk berdasarkan Pedoman 24 Tahun 2021 Tentang penanganan Perkara Tindak Pidana Umum Jaksa perkara yang harus diajukan Banding.  

KESIMPULAN

Hakim memutus perkara Putusan nomor : 798 / Pid.B / 2022 / PN.Jkt.Sel. atas nama terdakwa RICHARD ELIEZER PUDIHANG LUMIU dengan putusan yang jauh dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum dengan dasar hukum dan keyakinan Hakim bahwa Terdakwa Memenuhi kriteria sebagai Saksi pelaku yang bekerja sama (Justice Collaborator), bersifat sopan di persidangan, terdakwa belum pernah dihukum, terdakwa masih muda dan diharap mampu memperbaiki perbuatannya, terdakwa menyesali perbuatannya, keluarga korban memaafkan.

Pasal 1 angka 2 UU No.11 Tahun 2021 tentang Perubahan atas UU No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI (Undang-Undang Kejaksaan) menafsirkan Jaksa sebagai pegawai negeri sipil dengan jabatan fungsional yang memiliki kekhususan dan melaksanakan tugas, fungsi, dan kewenangannya berdasarkan Undang-Undang. Sebagai aparat penegak hukum, penting untuk Jaksa mempertimbangkan berbagai hal selama mengemban tugasnya, termasuk diantaranya ialah mempertimbangkan aspek hati nurani. Bahwa Berdasarkan Pedoman 24 Tahun 2021 Tentang Penanganan Perkara Tindak Pidana Umum, Jaksa Penuntut Umum tidak mengajukan banding bukan karena dasar Yuridis.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun