Mohon tunggu...
Faiq Aminuddin
Faiq Aminuddin Mohon Tunggu... Guru - Guru

pelayan pelajar Irsyaduth Thullab dan penulis lepas

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tidak Sengaja

13 Oktober 2024   16:45 Diperbarui: 13 Oktober 2024   16:53 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tidak Sengaja

Cerita anak oleh Faiq Aminuddin

Namaku Ani. Lengkapnya Lisa Maharani. Sekarang aku sudah kelas lima. Aku baru saja pindah ke desa. Sekarang aku, ibu dan bapakku tinggal di desa Sumberejo. Desanya lumayan dekat dengan pantai. Bapak bekerja di PT Windu Jaya. Tempat kerjanya di ujung desa Sumberrejo.

Hari ini, pagi-pagi sekali bapak sudah berangkat kerja. Bapak minta maaf belum sempat mendaftarkan Ani ke sekolah yang baru. Bapak tidak mau terlambat apalagi di hari pertama. Ibu juga masih sibuk merapikan rumah. Barang-barang masih banyak yang menumpuk di ruang tamu. Tadi aku membantu ibu sebentar. Sepertinya ibu tahu kalau aku ingin bermain.

“Ani boleh bermain dulu lho. Nanti kalau mau, bantu ibu lagi ya …” Tawaran ibu ini langsung aku manfaatkan.

“Terima kasih, Bu. Ani mau naik sepeda lihat-lihat sekitar dulu.”
“Iya, hati-hati. Ohya. Jangan lupa pakai topi dan bawa air minum.”

“Siap, Bu.”

Kukayuh sepedaku ke arah barat. Kata bapak, di sebelah barat ada sungai. Di seberang sungai itu ada persawahan. Aku tidak yakin mau melihat sungai dan sawah. Aku hanya mengayuh sepeda pelan-pelan. Kunikmati udara segar pedesaan. Ada banyak pohon asem, randu dan trembesi di kanan-kiri jalan yang aku lalui.

Aku berhenti sejenak di dekat gerbang sekolah. Halamannya lumayan luas. Ada pohon trembesi besar di kanan kiri gerbang masuk. Mungkin besok, aku didaftarkan di sekolahan ini. Kulihat halaman sekolah sudah sudah sepi. Hari sudah mulai siang. Murid-murid tentu sudah masuk kelas dan mulai pelajaran.

Kulanjutkan mengayuh sepeda ke arah barat. Tidak lama kemudian sudah sampai di sungai yang ceritakan bapak. Ternyata letaknya tidak begitu jauh dari rumah. Aku berhenti di bawah pohon randu. Di bawah pohon randu ada sepeda yang roboh. Entah sepeda siapa. Aku coba menengok ke kanan dan kiri. Tidak kulihat ada orang. Aku lihat ke depan dan belakang, juga tidak ada orang.

Sebenarnya aku ingin mendekat ke sungai. Menurutku lumayan berbahaya kalau bermain sendirian di sungai. Apalagi aku tidak bisa berenang. Entah mengapa suasana yang sepi ini tiba-tiba membuatku khawatir. Maka aku segera minum tiga teguk air dari botol. Aku memutar sepedaku ke arah timur dan segera mengayuhnya.

Aneh. Sepedaku tidak mau melaju. Aku turun dari sepeda. Aku perhatikan roda sepedaku. Kedua roda itu terlihat normal. Kuperhatikan rantainya … Oh ternyata rantainya lepas. Aku coba memperbaikinya tapi lepas lagi. Kucoba lagi tapi masih lepas lagi.

“Boleh aku bantu?”

Suara bocah perempuan itu mengejutkanku. Ya mengejutkan tapi juga melegakan.

“Tentu saja. Terima kasih sudah mau membantu,” Jawabku sambil tersenyum senang.

“Belum. Aku belum membantu lho …”

Kami pun tertawa bersama.

Namanya Siti. Siti seumuran denganku.

“Maaf, kamu tidak masuk sekolah?” tanyaku penasaran.

Siti menggeleng. Wajahnya tiba-tiba berubah jadi sedih.

Ternyata, Siti sama denganku. Tahun ini Siti kelas lima. Siti tidak sekolah karena ada masalah. Beberapa bulan yang lalu, Siti dan teman-teman bermain sepeda bersama. Mereka bersepeda di halaman sekolah. Sebenarnya halaman sekolah kurang cocok untuk bermain sepeda. Selain kurang luas, halaman sekolah juga dipenuhi beberapa pohon, pot bunga, tiang bendera, dan tempat sampah. Hany Siti yang bisa mengayuh sepeda dengan kencang di halaman sekolah. Siti memang terkenal sebagai pembalap sepeda. Rumah Siti di ujung desa sebelah timur. Jadi, setiap hari Siti naik sepeda untuk berangkat dan pulang sekolah. Jadi, Siti sangat mahir bersepeda.

Saat bermain sepeda bersama, tidak sengaja sepeda Siti menabrak Kino. Kino adalah adik kelas Siti. Sayangnya Kino sakit dan harus dirawat di rumah sakit. Ternyata tulang kaki Kino patah. Sepulang dari rumah sakit, Kino harus berjalan menggunakan bantuan kruk.

Siti dan keluarga sudah minta maaf kepada Kino dan keluarga. Bapak Siti juga bersedia ikut menanggung biaya pengobatan Kino. 

“Tapi tidak banyak. Bapakku bukan orang kaya…”

Kulihat mata Siti berkaca-kaca. Sepertinya Siti sangat sedih mengingat kejadian itu. Dan ternyata cerita selanjutnya lebih menyedihkan.

Sejak kejadian itu, Siti sering ditegur oleh ibu-ibu wali murid yang mengantar anaknya ke sekolah. Apalagi ibu Kino. Setiap kali melihat Siti, Ibu Kino langsung emosi dan marah-marah.

Kamu kok masih sekolah di sini?

Kamu kok masih berani naik sepeda?

Nanti kalau ada yang ketabrak lagi bagaimana?

Pertanyaan-pertanyaan itu membuat Siti sedih dan tidak mau berangkat sekolah.

“Kamu mau main ke rumahku?” Aku coba mencari cara agar Siti tidak sedih.

Kami pun bersepeda bersama ke arah timur.

Sampai di rumah, Siti aku kenalkan pada ibu. Melihat ibu sedang sibuk merapikan barang-barang, Siti langsung menawarkan bantuan. Badan Siti memang gagah. Mungkin bolehlah disebut Siti si perempuan perkasa. Bagaimana tidak perkasa? Siti aku ajak mengangkat satu kardus bukuku tapi malah diangkat sendiri.

“Siti, kami kok kuat sekali? Seperti laki-laki …”

Siti tertawa. “Ah kamu bisa saja. Kata bapakku. Perempuan juga boleh kuat kok. Yang kuat tidak harus laki-laki.”

“Setuju, ” jawabku sambil mengacungkan jempol. Kami menuju kamarku. Kami membongkar kardus buku itu dan menatanya ke rak buku.

Ternyata Siti suka membaca buku. Melihat tumpukan buku cerita, Siti langsung membaca judul-judulnya. Sesekali melihat daftar isi beberapa buku.

“Maaf, Aku boleh baca buku ini?”

Aku mengangguk. “Tentu saja, Sitiku, Sayang …”

Kami pun tertawa.

“Kamu mau sekolah lagi?”

Siti masih diam. Sepertinya Siti masih asyik membaca. Atau … mungkin Siti memang masih ragu. Aku yakin Siti masih ingin sekolah.

“Kamu tidak mau sekolah lagi?” Aku mengulangi pertanyaan.

“Entahlah …” Jawab Siti. Tidak lama kemudian Siti pamit pulang.

Malam harinya aku cerita pada ibu dan bapak tentang Siti dan masalahnya. Bapak mengangguk-anggukan kepala.

“Kasihan Siti …” kata ibu pelan.

“Menurut bapak, kamu harus menemani Siti. Ajak main atau belajar bersama. Jangan biarkan dia sendirian.”

“Siap, Pak!” Jawabku sambil tersenyum.

Kami pun segera istirahat dan tidur.

Suara kokok ayam jago tetangga membangunkanku. Setelah mandi, bapak memintaku memakai seragam sekolah. Sementara aku pakai seragam sekolah lama. Aku berharap seragam sekolah di desa ini tidak berbeda dengan sekolah lamaku.

Pagi itu, bapak mengantarku ke sekolah Sumberrejo. Bapak juga sempat bertanya tentang masalah Siti. Ternyata Siti masih boleh sekolah.

“Tidak mungkin kami melarang murid bersekolah, Pak. Mereka semua berhak mendapat pendidikan. Tapi kami juga memaklumi bu Kino yang mungkin masih terbawa emosi dan marah-marah. Kami berharap semua bisa saling memaafkan.” Begitu jawaban pak kepala sekolah.

Bapak mengangguk-anggukan kepala.

“Maaf, bila sudah cukup, saya mau minta pamit, Pak Guru.”
“Iya sudah cukup, Pak. Nak Ani biar nanti diantar pak Bakri ke kelasnya.”

Bapak segera pamit dan berangkat ke tempat kerja.

Pulang dari sekolah, aku sengaja bermain ke rumah Siti. Rumah Siti sangat sederhana. Dindingnya masih kayu biasa, bukan tembok. Ternyata Siti sedang membaca buku pelajaran. Aku pun bercerita tentang pelajaran yang tadi diterangkan pak Bakri di kelas lima. Ternyata pak Bakri adalah guru idolanya Siti.

“Ohya, tadi pak Bakri titip salam lho. Beliau berpesan kalau kita harus selalu belajar. Baik di sekolah maupun di rumah.”

Siti tersenyum senang. “Benarkah?”

Aku mengangguk. “Apakah aku terlihat berbohong?”

Siti menggeleng.

“Besok berangkat sekolah ya?” Ajakku.

Siti diam.

“Besok aku jemput ya?”
Siti malah tertawa. “Rumahku kan lebih timur. Ya lucu kalau kamu yang jemput aku.”

“Kalau begitu, besok aku tunggu di rumahku. Kamu jemput aku.”

Siti mengangguk. “Tapi … nggak janji lho …”

“Kalau besok kamu tidak datang, maka aku tidak berangkat sekolah. Aku mau menemanimu saja di rumah.” Aku pura-pura mengancam.

“Lho jangan begitu dong. Kamu harus sekolah. Kamu kan murid baru. Jangan tidak masuk sekolah. Apalagi gara-gara aku. Nanti aku disalahkan lagi …”

“Makanya, besok kami harus berangkat!”

Siti mengangguk.

Hatiku senang sekali. Semoga besok pagi, Siti benar-benar mau berangkat sekolah lagi. Semoga tidak ada lagi yang menegurnya dengan kasar. Kalau pun masih ada, aku berharap Siti bisa tetap kuat. Aku jadi teringat pesan pak kepala sekolah. “Semoga semua bisa saling memaafkan.”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun