Mohon tunggu...
Fahrunnisa
Fahrunnisa Mohon Tunggu... Guru - mahasiswa

hobi saya main bola

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Konsep Dasar Sosial-Emosional ,Determinasi (faktor yang memengaruhi) perkembangan sosial-emosionaldl dan konsep lainnya

17 Januari 2025   19:41 Diperbarui: 17 Januari 2025   19:41 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

{A} . Konsep Dasar Sosial-Emosional

Sosial-emosional adalah aspek perkembangan individu yang mencakup kemampuan untuk memahami, mengelola, dan mengekspresikan emosi secara sehat, serta membangun hubungan sosial yang positif dengan orang lain. Konsep ini melibatkan keseimbangan antara aspek emosional (internal) dan sosial (eksternal).

Komponen Utama Sosial-Emosional:

1. Kesadaran Diri

Kemampuan mengenali emosi, nilai, dan potensi diri.

Menyadari kekuatan dan kelemahan pribadi.

2. Pengelolaan Diri

Mengendalikan emosi, stres, dan dorongan hati.

Menetapkan dan mencapai tujuan secara bertanggung jawab.

3. Kesadaran Sosial

Kemampuan untuk memahami perspektif orang lain.

Menunjukkan empati kepada orang-orang dari berbagai latar belakang.

4. Keterampilan Relasi

Membangun hubungan yang sehat dan saling mendukung.

Berkomunikasi secara efektif, bekerja sama, dan menyelesaikan konflik.

5. Pengambilan Keputusan yang Bertanggung Jawab

Membuat pilihan yang etis dan konstruktif.

{B}  .Determinasi (faktor yang memengaruhi) perkembangan sosial-emosional

Perkembangan sosial-emosional seseorang dipengaruhi oleh beberapa faktor berikut:

  1. Keluarga

Pola asuh orang tua (otoritatif, permisif, atau otoriter).

Hubungan antara anak dan orang tua (keterikatan emosional).

Kehadiran konflik keluarga atau keharmonisan dalam rumah tangga.

  2. Lingkungan Sosial

Interaksi dengan teman sebaya yang membentuk kemampuan sosial seperti kerja sama, empati, dan komunikasi.

Kehadiran dukungan sosial, seperti guru, mentor, atau teman dekat.

  3. Pendidikan

Peran sekolah dalam memberikan pendidikan karakter dan pengembangan keterampilan sosial.

Guru sebagai model perilaku sosial-emosional yang baik.

  4. Kondisi Ekonomi

Kesejahteraan ekonomi keluarga yang memengaruhi stabilitas emosional anak.

Keterbatasan finansial dapat memicu stres dan menghambat perkembangan sosial-emosional.

  5. Budaya dan Nilai Sosial

Nilai-nilai budaya yang diajarkan, seperti norma kesopanan, empati, dan kerja sama.

Perbedaan budaya dapat memengaruhi cara seseorang mengekspresikan emosi dan berinteraksi sosial.

  6. Pengalaman Masa Kecil

Pengalaman positif seperti kasih sayang dan perhatian membangun dasar emosional yang sehat.

Trauma masa kecil, seperti kekerasan atau penelantaran, dapat menghambat perkembangan sosial-emosional.

  7. Pengaruh Media

Media sosial dan hiburan dapat membentuk pola pikir dan perilaku sosial.

Konten positif dapat mendukung perkembangan, sedangkan konten negatif dapat merusak.

   8. Kesehatan Fisik dan Mental

 Kondisi kesehatan yang baik       membantu  anak lebih fokus pada     pembelajaran sosial-emosional.

Gangguan mental seperti kecemasan atau depresi dapat menghambat kemampuan sosial-emosional.

{C}.  Teori Lev Vygotsky dan Piaget tentang perkembangan sosial dan kognitif

    Teori Lev Vygotsky dan Jean Piaget tentang Perkembangan Sosial dan Kognitif

1. Teori Lev Vygotsky

Vygotsky menekankan bahwa perkembangan sosial dan kognitif manusia sangat dipengaruhi oleh interaksi sosial dan lingkungan budaya. Teorinya dikenal sebagai Teori Sosial-Kultural.

Konsep Utama dalam Teori Vygotsky:

Zona Perkembangan Proksimal (Zone of Proximal Development - ZPD):

Merujuk pada jarak antara apa yang dapat dilakukan anak secara mandiri dan apa yang dapat dicapai dengan bantuan dari orang dewasa atau teman sebaya yang lebih kompeten.

Contoh: Seorang anak belajar membaca lebih cepat dengan bimbingan guru dibandingkan mencoba sendiri.

Scaffolding (Bantuan Bertahap):

Proses pemberian dukungan oleh orang dewasa atau teman sebaya hingga anak mampu menyelesaikan tugas secara mandiri.

Contoh: Guru memberikan petunjuk bertahap ketika mengajarkan keterampilan baru, lalu mengurangi bantuan seiring waktu.

Bahasa dan Perkembangan Kognitif:

Vygotsky menekankan bahwa bahasa adalah alat utama untuk berpikir dan belajar. Bahasa membantu anak memahami dunia dan membangun konsep-konsep baru.

Budaya dan Lingkungan Sosial:

Lingkungan sosial dan budaya menentukan cara anak belajar dan berpikir. Pengetahuan ditransfer melalui interaksi sosial.

2. Teori Jean Piaget

Piaget menekankan bahwa perkembangan kognitif anak terjadi melalui proses adaptasi terhadap lingkungannya. Teorinya dikenal sebagai Teori Tahapan Perkembangan Kognitif.

Tahapan Perkembangan Kognitif Piaget:

1. Tahap Sensorimotor (0--2 tahun):

Anak memahami dunia melalui pancaindra dan tindakan fisik.

Konsep utama: Permanensi objek (objek tetap ada meskipun tidak terlihat).

Contoh: Anak mencari mainan yang disembunyikan di balik bantal.

2. Tahap Praoperasional (2--7 tahun):

Anak mulai berpikir simbolis tetapi masih egosentris.

Contoh: Anak menggunakan kotak sebagai "mobil" saat bermain pura-pura.

3. Tahap Operasional Konkret (7--11 tahun):

Anak mulai berpikir logis tentang hal-hal konkret, tetapi kesulitan dengan konsep abstrak.

Konsep utama: Konservasi (pemahaman bahwa jumlah tetap sama meskipun bentuk berubah).

4. Tahap Operasional Formal (11 tahun ke atas):

Anak mampu berpikir secara abstrak dan hipotetis.

Contoh: Anak dapat membayangkan solusi untuk masalah tanpa harus mencobanya secara langsung.

Perbandingan Vygotsky dan Piaget

Kesimpulan:

Vygotsky: Perkembangan sosial dan kognitif bergantung pada interaksi sosial dan dukungan lingkungan.

Piaget: Perkembangan kognitif terjadi melalui tahapan yang berurutan, berdasarkan eksplorasi dan pengalama

{D}.  Teori psikososial Erik Erikson

   Teori perkembangan psikososial yang dikemukakan oleh Erik Erikson menjelaskan bahwa perkembangan manusia berlangsung melalui delapan tahap yang masing-masing ditandai oleh konflik atau krisis tertentu yang harus diselesaikan individu untuk mencapai perkembangan yang sehat. Setiap tahap berfokus pada aspek psikososial tertentu dan memiliki dampak signifikan terhadap kepribadian individu. Berikut adalah ringkasan dari delapan tahap tersebut:

1. Trust vs. Mistrust (Kepercayaan vs. Ketidakpercayaan): Tahap ini terjadi pada usia 0-18 bulan, di mana bayi belajar untuk mempercayai pengasuh mereka dalam memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan dan kasih sayang. Keberhasilan dalam tahap ini akan membentuk rasa aman dan kepercayaan terhadap dunia sekitar. 

2. Autonomy vs. Shame and Doubt (Otonomi vs. Malu dan Ragu): Berlaku pada usia 18 bulan hingga 3 tahun, anak mulai mengembangkan kemandirian dan kemampuan untuk melakukan hal-hal sendiri. Dukungan dari orang tua dalam memberikan pilihan dan kebebasan akan mendorong rasa otonomi, sedangkan kontrol yang berlebihan dapat menimbulkan rasa malu dan ragu. 

3. Initiative vs. Guilt (Inisiatif vs. Rasa Bersalah): Terjadi pada usia 3-5 tahun, anak mulai mengambil inisiatif dalam bermain dan berinteraksi dengan teman sebaya. Jika inisiatif mereka didukung, anak akan merasa kompeten; namun, jika terlalu dibatasi, mereka mungkin merasa bersalah dan kurang percaya diri. 

4. Industry vs. Inferiority (Kerajinan vs. Inferioritas): Pada usia 5-12 tahun, anak mulai mengembangkan rasa bangga atas prestasi dan keterampilan mereka. Keberhasilan dalam tugas-tugas sekolah dan sosial akan menumbuhkan rasa kompetensi, sedangkan kegagalan dapat menyebabkan perasaan rendah diri. 

5. Identity vs. Role Confusion (Identitas vs. Kebingungan Peran): Muncul pada usia 12-18 tahun, remaja mulai mencari jati diri mereka dengan mengeksplorasi nilai-nilai, kepercayaan, dan tujuan hidup. Keberhasilan dalam tahap ini akan menghasilkan identitas yang kuat, sementara kegagalan dapat menyebabkan kebingungan peran dan ketidakpastian tentang masa depan. 

6. Intimacy vs. Isolation (Keintiman vs. Isolasi): Terjadi pada usia 18-40 tahun, individu berusaha membentuk hubungan yang erat dan intim dengan orang lain. Keberhasilan dalam menjalin hubungan akan menghasilkan keintiman dan keterikatan, sedangkan kegagalan dapat menyebabkan isolasi dan kesepian. 

7. Generativity vs. Stagnation (Generativitas vs. Stagnasi): Berlaku pada usia 40-65 tahun, individu berfokus pada kontribusi kepada masyarakat melalui pekerjaan, keluarga, dan komunitas. Keberhasilan akan menimbulkan rasa produktivitas dan makna hidup, sementara kegagalan dapat menyebabkan stagnasi dan perasaan tidak berguna. 

8. Integrity vs. Despair (Integritas vs. Keputusasaan): Tahap ini terjadi pada usia 65 tahun ke atas, di mana individu merenungkan kehidupan mereka. Penerimaan atas kehidupan yang telah dijalani akan menghasilkan rasa integritas dan kepuasan, sedangkan penyesalan dapat menimbulkan keputusasaan dan ketakutan terhadap kematian. 

Memahami delapan tahap perkembangan psikososial Erikson membantu kita mengenali tantangan dan tugas perkembangan yang dihadapi individu pada setiap fase kehidupan, serta pentingnya dukungan sosial dan lingkungan dalam mencapai 

perkembangan yang optimal.

{E}.  Teori Emotional Intelligence (EI) dari Daniel Goleman 

   menjelaskan kemampuan seseorang untuk mengenali, memahami, mengelola, dan memengaruhi emosi, baik pada dirinya sendiri maupun orang lain. Goleman mempopulerkan konsep ini dalam bukunya Emotional Intelligence: Why It Can Matter More Than IQ (1995). Ia membagi kecerdasan emosional ke dalam lima komponen utama:

1. Kesadaran Diri (Self-Awareness)

Kemampuan untuk mengenali dan memahami emosi diri sendiri serta bagaimana emosi tersebut memengaruhi pikiran dan perilaku. Orang yang memiliki kesadaran diri yang tinggi mampu mengevaluasi kekuatan, kelemahan, dan dorongan mereka sendiri.

2. Pengelolaan Diri (Self-Management)

Kemampuan untuk mengendalikan emosi, menyesuaikan diri dengan perubahan, serta tidak bertindak impulsif. Ini mencakup kemampuan untuk tetap tenang di bawah tekanan dan menghadapi situasi sulit dengan tenang.

3. Kesadaran Sosial (Social Awareness)

Kemampuan untuk memahami emosi, kebutuhan, dan perhatian orang lain. Ini termasuk empati, kemampuan membaca dinamika kelompok, dan memahami perasaan serta perspektif orang lain.

4. Keterampilan Relasi (Relationship Management)

Kemampuan untuk membangun dan memelihara hubungan yang baik, mempengaruhi orang lain, menyelesaikan konflik, serta bekerja sama dengan orang lain secara efektif.

5. Motivasi Diri (Intrinsic Motivation)

Dorongan internal untuk mencapai tujuan, bukan karena insentif eksternal. Orang dengan motivasi tinggi cenderung memiliki tujuan yang jelas, bersemangat

{F}.  Teori belajar sosial Albert bandur

Teori belajar sosial yang dikemukakan oleh Albert Bandura menekankan bahwa pembelajaran terjadi melalui observasi, peniruan, dan pemodelan perilaku orang lain. Bandura menunjukkan bahwa manusia tidak hanya belajar melalui pengalaman langsung, tetapi juga melalui pengamatan terhadap lingkungan sosial mereka. Teori ini menjadi landasan dalam memahami bagaimana perilaku individu dipengaruhi oleh interaksi sosial.

Komponen Utama Teori Belajar Sosial

  1. Observasi (Pengamatan)

    • Seseorang dapat mempelajari perilaku baru hanya dengan mengamati perilaku orang lain, tanpa harus mengalaminya sendiri. Orang yang diamati disebut model.
  2. Proses Pemodelan
    Bandura menjelaskan bahwa untuk belajar melalui pengamatan, ada empat tahap penting:

    • Atensi (Attention): Individu harus memperhatikan perilaku model.
    • Retensi (Retention): Individu harus mengingat perilaku tersebut.
    • Reproduksi (Reproduction): Individu harus memiliki kemampuan untuk meniru perilaku yang diamati.
    • Motivasi (Motivation): Individu harus memiliki alasan untuk meniru perilaku tersebut, yang sering dipengaruhi oleh imbalan atau hukuman yang diterima model.
  3. Reinforcement (Penguatan)

    • Belajar melalui observasi juga dipengaruhi oleh penguatan positif atau negatif. Contohnya, jika seseorang melihat bahwa perilaku tertentu dihargai, ia lebih cenderung menirunya.
  4. Self-Efficacy

    • Bandura memperkenalkan konsep self-efficacy atau kepercayaan diri individu terhadap kemampuannya untuk berhasil dalam melakukan suatu tindakan. Semakin tinggi self-efficacy, semakin besar kemungkinan individu untuk mencoba dan berhasil meniru perilaku.

Contoh Praktis

  • Anak-anak belajar perilaku agresif setelah melihat tindakan kekerasan di media atau dalam kehidupan sehari-hari (seperti eksperimen terkenal Bandura, Bobo Doll Experiment).
  • Seseorang termotivasi untuk belajar keterampilan baru setelah melihat teman sejawatnya berhasil dan mendapat penghargaan.

Relevansi Teori

Teori ini sangat penting dalam dunia pendidikan, psikologi, dan pembentukan perilaku sosial. Bandura menekankan bahwa lingkungan, perilaku, dan proses kognitif individu saling memengaruhi dalam membentuk pembelajaran (konsep ini dikenal sebagai reciprocal determinism).

Jika ada bagian yang perlu diperjelas, silakan tanyakan!

{G}.  Teori empati dari Martin hoffimah

Teori Empati Martin Hoffman berfokus pada perkembangan empati sebagai kemampuan emosional dan moral yang memungkinkan seseorang untuk memahami serta merasakan emosi orang lain. Hoffman, seorang psikolog perkembangan, menjelaskan bahwa empati berkembang seiring dengan usia dan pengalaman seseorang melalui proses biologis dan sosial.

Tahapan Perkembangan Empati Menurut Hoffman

  1. Empati Global (Usia Bayi)

    • Pada tahap ini (sekitar usia 0--1 tahun), bayi merasakan kesedihan atau ketidaknyamanan ketika melihat orang lain dalam keadaan emosional tertentu. Namun, bayi belum bisa membedakan antara emosi orang lain dan dirinya sendiri. Contohnya, bayi menangis ketika mendengar bayi lain menangis.
  2. Empati Egosenstris (Usia 1--2 Tahun)

    • Anak mulai memahami bahwa orang lain memiliki emosi yang terpisah dari dirinya. Namun, anak masih cenderung memberikan respons empati yang egosentris, seperti mencoba membantu orang lain dengan cara yang sesuai dengan kebutuhannya sendiri (misalnya, memberikan mainannya untuk menenangkan orang lain).
  3. Empati untuk Perasaan Orang Lain (Usia 2--7 Tahun)

    • Anak-anak mulai memahami bahwa orang lain memiliki perspektif, kebutuhan, dan emosi yang berbeda. Pada tahap ini, empati menjadi lebih terarah dan mereka dapat merespons dengan cara yang lebih relevan terhadap situasi emosional orang lain.
  4. Empati untuk Kondisi Hidup Orang Lain (Usia 8 Tahun ke Atas)

    • Pada tahap ini, individu mampu memahami bahwa emosi orang lain dapat disebabkan oleh kondisi hidup atau pengalaman jangka panjang. Mereka mulai menunjukkan empati terhadap kelompok atau situasi yang lebih luas, seperti ketidakadilan sosial atau penderitaan kelompok tertentu.

Elemen Utama Teori Hoffman

  1. Empati sebagai Proses Emosional dan Kognitif

    • Hoffman menekankan bahwa empati melibatkan penggabungan antara emosi yang dirasakan secara intuitif dan pemahaman kognitif terhadap situasi orang lain.
  2. Pengaruh Sosialisasi

    • Orang tua, guru, dan lingkungan sosial berperan besar dalam membentuk empati. Misalnya, melalui pengajaran nilai-nilai moral, pemberian contoh perilaku empatik, dan penghargaan terhadap tindakan yang menunjukkan perhatian terhadap orang lain.
  3. Peran Empati dalam Moralitas

    • Hoffman menekankan bahwa empati adalah dasar penting untuk pengembangan moralitas. Empati memotivasi seseorang untuk membantu, mencegah tindakan yang merugikan orang lain, dan mendukung keadilan sosial.

Contoh Aplikasi

  • Anak yang melihat temannya jatuh akan mencoba membantu atau memberikan dukungan emosional, karena ia bisa memahami bahwa temannya merasa kesakitan atau sedih.
  • Orang dewasa yang peduli terhadap isu-isu sosial, seperti kemiskinan atau bencana, menunjukkan empati pada tingkat yang lebih luas.

{H}.  Teori attahcment yang di kemukakan oleh mary Answorth dan Jhon Bowbli

   Teori Attachment (Teori Kelekatan) dikembangkan oleh John Bowlby dan kemudian diperluas oleh Mary Ainsworth. Teori ini menjelaskan hubungan emosional yang kuat antara seorang anak dan pengasuh utamanya (biasanya ibu) yang memengaruhi perkembangan emosional, sosial, dan psikologis anak

Teori Kelekatan John Bowlby

Bowlby, seorang psikoanalis, percaya bahwa kelekatan adalah kebutuhan biologis anak untuk bertahan hidup. Ia mengemukakan bahwa anak-anak memiliki dorongan bawaan untuk mencari kedekatan dengan pengasuh mereka, terutama dalam situasi stres atau bahaya. Bowlby menekankan beberapa poin penting:

1. Kelekatan sebagai Sistem Adaptif

Kelekatan membantu anak merasa aman dan terlindungi. Ketika pengasuh responsif, anak merasa aman dan dapat mengeksplorasi lingkungannya dengan percaya diri.

2. Model Kerja Internal

Anak mengembangkan internal working model berdasarkan pengalaman dengan pengasuh. Model ini menjadi dasar bagaimana anak memandang dirinya, orang lain, dan hubungan di masa depan.

3. Tahapan Kelekatan

Bowlby membagi perkembangan kelekatan menjadi empat tahap:

Pra-Kelekatan (0--6 minggu): Bayi menunjukkan respons emosional, seperti menangis atau tersenyum, tetapi belum memiliki preferensi terhadap pengasuh tertentu.

Kelekatan Awal (6 minggu--6 bulan): Bayi mulai mengenali pengasuh utamanya dan lebih memilihnya dibandingkan orang lain.

Kelekatan yang Jelas (6 bulan--2 tahun): Anak menunjukkan separation anxiety (kecemasan saat berpisah) dan mencari kedekatan dengan pengasuh.

Kelekatan yang Terorganisir (2 tahun ke atas): Anak mulai memahami bahwa hubungan dengan pengasuh tetap ada meskipun mereka tidak bersama.

{I} .  Teori perkembangan moral yang di kemukakan levrence kohlberg

menjelaskan bagaimana individu berkembang dalam berpikir dan membuat keputusan moral. Kohlberg mengembangkan teorinya berdasarkan penelitian yang menggunakan dilema moral, seperti "Dilema Heinz", dan menyusun teori ini dalam tiga tingkat utama dengan masing-masing dua tahap, yang mencerminkan kompleksitas pemikiran moral seseorang.

Tingkatan dan Tahapan Perkembangan Moral Kohlberg

1. Tingkat Prakonvensional (Pre-Conventional Level)

Pada tingkat ini, moralitas didasarkan pada konsekuensi langsung dari tindakan (hukuman atau hadiah). Biasanya terjadi pada anak-anak.

Tahap 1: Orientasi Hukuman dan Kepatuhan (Obedience and Punishment Orientation)

Individu memandang tindakan sebagai benar atau salah berdasarkan kemungkinan menerima hukuman.

Contoh: "Saya tidak akan mencuri karena saya akan dihukum."

Tahap 2: Orientasi Keuntungan Pribadi (Self-Interest Orientation)

Tindakan dianggap benar jika memberikan manfaat atau imbalan pribadi. Fokusnya adalah "apa untungnya bagi saya?"

Contoh: "Saya akan membantu teman saya jika saya mendapatkan sesuatu sebagai balasannya.

2. Tingkat Konvensional (Conventional Level)

Pada tingkat ini, moralitas didasarkan pada norma sosial dan harapan orang lain. Biasanya berkembang pada remaja atau dewasa muda.

Tahap 3: Orientasi "Anak Baik" (Interpersonal Concordance Orientation)

Individu bertindak untuk mendapatkan persetujuan dari orang lain dan menjaga hubungan baik. Fokusnya adalah pada niat baik dan harapan sosial.

Contoh: "Saya tidak akan mencuri karena saya ingin orang lain menganggap saya baik."

Tahap 4: Orientasi Hukum dan Ketertiban (Law and Order Orientation)

Moralitas didasarkan pada pemenuhan kewajiban sosial, menghormati otoritas, dan mematuhi aturan hukum.

Contoh: "Saya tidak akan mencuri karena melanggar hukum, dan hukum harus dihormati."

3. Tingkat Pascakonvensional (Post-Conventional Level)

Pada tingkat ini, moralitas didasarkan pada prinsip etika universal dan nilai-nilai abstrak. Hanya sebagian kecil orang mencapai tahap ini.

Tahap 5: Orientasi Kontrak Sosial (Social Contract Orientation)

Individu memahami bahwa aturan dan hukum dibuat untuk kepentingan bersama, tetapi aturan dapat diubah jika tidak adil. Fokusnya adalah pada keadilan dan kesejahteraan masyarakat.

Contoh: "Mencuri mungkin salah, tetapi jika itu untuk menyelamatkan nyawa, itu bisa dibenarkan."

Tahap 6: Prinsip Etika Universal (Universal Ethical Principles Orientation)

Moralitas didasarkan pada prinsip-prinsip universal seperti keadilan, martabat manusia, dan hak asasi, bahkan jika melanggar hukum atau norma sosial.

Contoh: "Saya akan melanggar hukum jika hukum tersebut tidak adil terhadap hak asasi manusia."

Ciri-Ciri Utama Teori Kohlberg

1. Berdasarkan Pemikiran Kognitif:

Pemikiran moral berkembang melalui interaksi sosial dan kematangan kognitif.

2. Universalitas:

Semua manusia melewati tahapan ini secara bertahap, meskipun tidak semua mencapai tingkat tertinggi (pascakonvensional).

3. Penekanan pada Penalaran Moral:

Kohlberg menilai perkembangan moral seseorang

 berdasarkan alasan di balik tindakan, bukan tindakan itu sendiri.

{J}.  Peran lingkungan dan budaya dalam perkembangan sosial-Emosional

  sangat penting karena keduanya membentuk bagaimana individu memahami, mengelola, dan mengekspresikan emosi, serta bagaimana mereka berinteraksi dengan orang lain. Berikut adalah penjelasan tentang peran lingkungan dan budaya


1. Peran Lingkungan

Lingkungan mencakup keluarga, teman sebaya, sekolah, dan masyarakat tempat individu tinggal. Berikut adalah pengaruh lingkungan terhadap perkembangan sosial-emosional:

a. Keluarga

Attachment (Kelekatan): Hubungan yang aman dan responsif dengan pengasuh utama (seperti orang tua) memberikan dasar bagi anak untuk mengembangkan rasa percaya diri dan kemampuan menjalin hubungan.

Dukungan Emosional: Orang tua yang mendukung perkembangan emosi anak dengan respons yang tepat membantu anak belajar mengenali dan mengatur emosinya.

Modeling: Anak belajar dari perilaku orang tua, seperti bagaimana menangani konflik atau mengekspresikan empati.

b. Teman Sebaya

Interaksi dengan teman sebaya membantu anak belajar berbagi, bekerja sama, menyelesaikan konflik, dan memahami perspektif orang lain.

Dukungan dari teman sebaya yang positif dapat meningkatkan keterampilan sosial dan rasa harga diri, sementara lingkungan teman yang negatif dapat menimbulkan masalah emosional, seperti rendahnya kepercayaan diri atau kecemasan.

c. Sekolah

Guru dan sistem pendidikan memainkan peran penting dalam membangun kemampuan sosial-emosional melalui interaksi, pelatihan pengelolaan emosi, dan pemberian nilai-nilai sosial.

Program pendidikan karakter sering dirancang untuk membantu siswa belajar keterampilan seperti empati, komunikasi, dan pengelolaan stres.

d. Masyarakat

Lingkungan masyarakat yang aman, inklusif, dan mendukung memfasilitasi perkembangan sosial-emosional yang sehat.

Sebaliknya, paparan terhadap kekerasan, diskriminasi, atau kemiskinan dapat memengaruhi kesehatan emosional individu secara negatif.

2. Peran Budaya

Budaya memengaruhi bagaimana emosi dirasakan, diekspresikan, dan diatur, serta bagaimana interaksi sosial dipahami. Berikut adalah beberapa pengaruh budaya:

a. Nilai-Nilai Budaya

Budaya kolektivistik (misalnya, di Asia dan Afrika): Menekankan hubungan sosial, harmoni kelompok, dan empati. Dalam budaya ini, individu diajarkan untuk menempatkan kepentingan kelompok di atas kepentingan pribadi.

Budaya individualistik (misalnya, di Barat): Menekankan otonomi, ekspresi diri, dan kemandirian. Emosi sering diekspresikan secara langsung, dan keberhasilan individu menjadi prioritas.

b. Ekspresi Emosi

Budaya memengaruhi cara emosi diekspresikan. Misalnya, di beberapa budaya, emosi seperti marah atau sedih mungkin ditekan untuk menjaga harmoni sosial, sedangkan di budaya lain, ekspresi emosi dianggap penting untuk kejujuran.

c. Peran Sosial

Peran gender yang ditentukan oleh budaya juga memengaruhi perkembangan sosial-emosional. Contohnya, dalam beberapa budaya, laki-laki mungkin diajarkan untuk menekan emosi tertentu (seperti menangis), sedangkan perempuan lebih bebas mengekspresikan emosi.

d. Praktik PengasuhanBudayamenentukan bagaimana anak dibesarkan. Misalnya, pengasuhan yang berbasis pada disiplin ketat di beberapa budaya dapat menghasilkan anak yang menghargai otoritas, sementara pendekatan permisif di budaya lain mungkin mendorong kreativitas dan ekspresi emosi.

{K}. gangguan dalam perkembangan sosial-Emosional

dapat terjadi ketika individu mengalami kesulitan dalam membentuk hubungan yang sehat, mengelola emosi, atau berinteraksi secara efektif dengan orang lain. Gangguan ini dapat disebabkan oleh faktor biologis, lingkungan, atau kombinasi keduanya, dan seringkali memengaruhi kehidupan pribadi, akademik, dan sosial seseorang.

*Penyebab Gangguan Sosial-Emosional

1. Faktor Biologis:

Gangguan otak atau sistem saraf (misalnya, autisme, ADHD).

Faktor genetik atau riwayat keluarga dengan gangguan psikologis.

Masalah kesehatan fisik kronis.

2. Faktor Lingkungan:

Kekerasan dalam rumah tangga atau masyarakat.

Pola pengasuhan yang tidak konsisten atau kurang mendukung.

Kehilangan orang tua atau trauma emosional.

3. Faktor Psikologis:

Trauma emosional akibat pelecehan atau penelantaran.

Kurangnya keterampilan mengelola stres dan emosi.

4. Faktor Sosial:

Bullying atau penolakan dari teman sebaya.

Diskriminasi atau stigma sosial.

*Dampak Gangguan Sosial-Emosional

1. Pada Anak-Anak:

Kesulitan dalam belajar dan berpartisipasi di kelas.

Masalah perilaku, seperti agresi atau isolasi.

Penurunan kepercayaan diri.

2. Pada Remaja:

Risiko terlibat dalam perilaku berisiko (misalnya, penggunaan zat terlarang).

Gangguan hubungan dengan teman sebaya dan keluarga.

Masalah kesehatan mental, seperti depresi atau kecemasan.

3. Pada Orang Dewasa:

Hambatan dalam hubungan profesional dan pribadi.

Kesulitan dalam pengelolaan emosi dan pengambilan keputusan.

Risiko gangguan kese

hatan mental jangka panjang.

*Penanganan Gangguan Sosial-Emosional

1. Intervensi Psikologis:

Terapi perilaku kognitif (CBT): Membantu individu mengelola emosi dan memperbaiki pola pikir negatif.

Terapi bermain: Cocok untuk anak-anak, menggunakan permainan untuk membantu mereka mengekspresikan emosi.

2. Pendekatan Pendidikan:

Program pendidikan emosional dan sosial di sekolah.

Pelatihan keterampilan sosial untuk meningkatkan interaksi dengan orang lain.

3. Dukungan Keluarga:

Pelibatan keluarga dalam terapi untuk menciptakan lingkungan yang suportif.

Pendidikan bagi orang tua tentang pengasuhan yang mendukung perkembangan emosi.

{L}.  Program Peer Support, Bimbingan Konseling, dan Layanan Psikososial

  adalah bentuk intervensi yang dirancang untuk membantu individu mengatasi masalah emosional, sosial, atau psikologis. Ketiganya memiliki fokus dan pendekatan yang berbeda, namun saling melengkapi untuk mendukung kesehatan mental dan perkembangan sosial-emosional.

1. Program Peer Support

Program ini melibatkan dukungan yang diberikan oleh rekan sebaya kepada individu yang membutuhkan bantuan emosional atau sosial. Pendekatan ini memanfaatkan hubungan sejajar (peer-to-peer) untuk menciptakan rasa nyaman, keterbukaan, dan empati.

Tujuan:

Memberikan dukungan emosional.

Meningkatkan rasa keterhubungan dan mengurangi isolasi sosial.

Membantu individu mengembangkan keterampilan sosial dan problem solving.

Manfaat:

Meningkatkan rasa percaya diri dan empati pada peserta.

Membantu individu merasa didengar oleh orang yang memahami mereka secara langsung.

Menurunkan stigma terhadap isu kesehatan mental.

2. Bimbingan Konseling

Bimbingan konseling adalah layanan profesional yang membantu individu memahami dan mengatasi masalah pribadi, sosial, akademik, atau karier melalui interaksi dengan konselor.

Tujuan:

Membantu individu mengenali dan memahami dirinya.

Meningkatkan kemampuan individu untuk mengambil keputusan yang sehat.

Memberikan dukungan untuk mengatasi tantangan emosional dan sosial.

3. Layanan Psikososial

Layanan psikososial adalah pendekatan holistik yang mencakup dukungan psikologis dan sosial untuk membantu individu menghadapi stresor yang memengaruhi kesejahteraan mental dan sosial mereka.

Tujuan:

Memberikan dukungan emosional bagi individu yang mengalami trauma, krisis, atau tekanan hidup.

Meningkatkan kemampuan adaptasi dan resilien individu.

Memperkuat hubungan sosial dan dukungan komunitas.

Manfaat Layanan Psikososial:

Membantu individu mengatasi trauma dan mengembangkan strategi koping.

Meningkatkan hubungan interpersonal melalui dukungan sosial.

Memfasilitasi pemulihan dan integrasi sosial bagi mereka yang menghadapi tantangan psikologis.

{M}.  Isu Isu sosial - emosional di sekolah dasar, seperti bullying, masalah disiplin dan internet sosial di kelas

Isu Sosial-Emosional di Sekolah Dasar sangat penting untuk dipahami karena dapat memengaruhi perkembangan pribadi dan akademik siswa. Beberapa isu utama yang sering ditemukan di sekolah dasar meliputi bullying, masalah disiplin, dan penggunaan media sosial di kelas. Setiap isu ini dapat berdampak besar pada kesejahteraan emosional dan sosial anak.

1. Bullying (Perundungan)

Bullying adalah perilaku agresif yang dilakukan oleh satu atau lebih individu terhadap korban yang lebih lemah atau lebih rentan. Di sekolah dasar, bullying dapat terjadi dalam berbagai bentuk, baik fisik, verbal, maupun sosial.

Dampak Bullying:

Kesehatan Emosional: Korban bullying cenderung mengalami stres, kecemasan, depresi, dan rendahnya kepercayaan diri.

Perkembangan Sosial: Bullying dapat mengganggu kemampuan anak untuk membentuk hubungan sosial yang sehat.

Kinerja Akademik: Anak yang dibuli mungkin merasa tertekan dan kehilangan motivasi untuk belajar, yang berdampak negatif pada prestasi akademik mereka.

Solusi untuk Bullying:

Pendidikan Sosial-Emosional: Mengajarkan empati, keterampilan sosial, dan pentingnya menghormati orang lain.

Pendekatan Sekolah: Membentuk kebijakan anti-bullying dan memastikan adanya pelaporan yang aman bagi korban.

Pelibatan Orang Tua: Mengedukasi orang tua tentang tanda-tanda bullying dan bagaimana mereka dapat mendukung anak-anak mereka.

2. Masalah Disiplin

Masalah disiplin di sekolah dasar mencakup tindakan-tindakan yang tidak sesuai dengan aturan sekolah atau norma sosial, seperti berbicara keras, tidak mengerjakan tugas, atau mengganggu teman-teman di kelas.

Penyebab Masalah Disiplin:

Keluarga: Pola asuh yang tidak konsisten atau kurangnya perhatian orang tua terhadap perilaku anak.

Lingkungan Sekolah: Ketidakharmonisan antara guru dan siswa atau kurangnya pengelolaan kelas yang efektif.

Kondisi Emosional Anak: Stres, kecemasan, atau masalah sosial yang menyebabkan anak merasa tidak nyaman dan menunjukkan perilaku tidak disiplin.

Dampak Masalah Disiplin:

Gangguan Pembelajaran: Anak yang sering melanggar aturan dapat mengganggu fokus dan pembelajaran teman-teman sekelas.

Kesulitan Sosial: Anak yang tidak mengikuti aturan mungkin mengalami kesulitan dalam berinteraksi dengan teman sebaya.

Hubungan dengan Guru: Masalah disiplin dapat merusak hubungan antara siswa dan guru, mengurangi kualitas pengalaman belajar.


3. Pengaruh Internet Sosial: Pengaruh internet sosial di kelas semakin meningkat dengan akses teknologi yang lebih mudah. Anak-anak mulai terpapar pada platform media sosial sejak usia dini, yang dapat mempengaruhi interaksi sosial mereka. Penggunaan internet sosial yang tidak bijak bisa menyebabkan masalah seperti kecanduan, gangguan emosional, atau bahkan cyberbullying. Sekolah perlu mengedukasi siswa tentang penggunaan teknologi yang aman dan bertanggung jawab, serta melibatkan orang tua dalam memantau penggunaan internet anak-anak mereka.

{N} .  SEL(sosial emosional learning)CASEL(collaborative academic sosial emosional learning)

SEL (Social and Emotional Learning) adalah proses pendidikan yang membantu individu dalam mengenali dan mengelola emosi mereka, membangun hubungan positif dengan orang lain, serta membuat keputusan yang bertanggung jawab. SEL juga mengajarkan keterampilan yang penting dalam kehidupan sosial dan pribadi, yang dapat meningkatkan kesejahteraan emosional, akademis, dan sosial seseorang.

CASEL (Collaborative for Academic, Social, and Emotional Learning) adalah organisasi yang mempromosikan pengembangan dan penerapan pembelajaran sosial-emosional di sekolah-sekolah. CASEL mengembangkan kerangka kerja yang digunakan untuk mengintegrasikan SEL dalam pendidikan, dengan tujuan membantu siswa untuk sukses tidak hanya di bidang akademik tetapi juga dalam kehidupan sosial mereka.

Kompetensi dalam SEL menurut CASEL:

CASEL mengidentifikasi lima kompetensi sosial-emosional utama yang penting bagi perkembangan siswa:

1. Kesadaran Diri (Self-Awareness): Kemampuan untuk mengenali dan memahami perasaan serta pengaruhnya terhadap perilaku dan pemikiran.

2. Pengelolaan Diri (Self-Management): Kemampuan untuk mengelola emosi, mengatasi stres, serta mengendalikan impuls dan perilaku yang tidak diinginkan.

3. Kesadaran Sosial (Social Awareness): Kemampuan untuk memahami perspektif orang lain, serta menunjukkan empati terhadap mereka.

4. Keterampilan Hubungan (Relationship Skills): Kemampuan untuk membangun dan mempertahankan hubungan yang sehat dan konstruktif, berkomunikasi secara efektif, dan menyelesaikan konflik.

5. Pengambilan Keputusan yang Bertanggung Jawab (Responsible Decision-Making): Kemampuan untuk membuat pilihan yang sehat dan etis, serta mempertimbangkan konsekuensi dari setiap keputusan.

Pendekatan CASEL:

CASEL berfokus pada integrasi pembelajaran sosial-emosional dalam sistem pendidikan dengan pendekatan berbasis sistem. Hal ini mencakup:

Kurikulum: Menyediakan materi yang mengajarkan keterampilan SEL kepada siswa.

Kebijakan dan Praktik: Menyusun kebijakan yang mendukung pengembangan SEL dalam sekolah.

Pelatihan Guru dan Staf: Memberikan pelatihan kepada guru untuk dapat mengajarkan dan mendukung SEL secara efektif di kelas.

Partisipasi Komunitas: Melibatkan orang tua, komunitas, dan pemangku kepentingan lainnya dalam implementasi SEL untuk menciptakan lingkungan yang mendukung perkembangan sosial-emosional siswa.

Dengan implementasi SEL yang efektif melalui kerangka kerja CASEL, siswa tidak hanya akan berkembang secara emosional dan sosial tetapi juga akan dapat mencapai keberhasilan akademis yang lebih baik.


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun