Aku sempat berhenti sebisa mungkin tak terpancing pertengkaran mereka. Dia? Dia siapa? Apakah ada orang lain yang mengengkang kebahagiaan Tomi dan Tama? Aku menggelengkan kepala cepat. Terlalu lelah sudah untuk mengurusi kedua anak yang tidak tahu asal-muasalnya. Terlebih lagi aku harus berurusan dengan orang-orang gila di kantor.
***
"Kak Mega, bukankah sudah waktunya kau menikah?"
"Benar sekali, umurmu sudah menginjak kepala tiga kan? Tahun ini malah bertambah setahun."
Dua karyawati yang berada di samping kiri-kanan mendatangi meja kerjaku. Mereka ini lima tahun lebih muda dariku yang pasti sudah menikah. Keduanya terlihat bersemangat saat membicarakan segala hal tentang pasangannya. Atau hanya sekedar membuatku iri hati? Dasar dua junior tidak sopan.
"Bukan urusan anda," celetukku sembari fokus pada layar laptop. Setiap pagi selalu saja gosip tentang pria menyebar luas di antara karyawati. Manalagi ketika SPV sedang tidak mengawasi.
"Kasar sekali. Pantas saja tidak ada yang mau mendekatimu."
"Padahal kalau dilihat-lihat kau ini cantik. Kenapa tidak ada yang melirikmu?"
Awalnya kehidupan kerjaku yang biasa-biasa saja berubah. Semenjak kedatangan dua sejoli ini tiada henti-hentinya memergokiku agar segera mencari pasangan. Namanya Lintang dan Vivi.
Aku mendesah. "Memang kalau aku jadi perawan tua ada hal buruk yang menimpa? Enggak kan?"
"Eh Kak akhir-akhir ini ada pamali loh, tetangga sebelahku meninggal dua hari yang lalu karena lebih memilih jadi perawan tua." Lintang mulai membual dengan omong kosongnya.