Dua bocah laki-laki kisaran umur 5-6 tahun tanpa kenal lelah menggenjreng kentrung sambil bernyanyi di bawah terik mentari.Â
Meski tidak ada yang memperhatikan mereka tetap bersemangat dengan pakaian compang-camping, bertelanjang kaki, dan kulit kecokelatan yang mulai mengering terpapar sinar UV.
Yang satu mengenakan kaus kebesaran, lusuh, dan sobek-sobek di beberapa bagian. Satu lagi hanya memakai singlet putih serta celana merah pendek bergambar Spiderman. Warnanya sudah memudar sablon di gambarnya pun nyaris tak terbentuk.
Melihat pemandangan demikian hati kecilku tergerak untuk tak segan-segan mewawancarai keduanya. Hanya sekedar bertanya-tanya perihal latar belakang kehidupan mereka. Sebelum itu aku beri satu perak uang logam.
"Apa kalian tak bersekolah?" tanyaku seraya mensejajarkan tinggi mereka.
Keduanya saling berpandang muka seakan menaruh kecurigaan pada orang asing sepertiku. Betapa bodohnya diriku seharusnya tidak bertanya secara terang-terangan.
Aku menyunggingkan senyum palsu. Kedua telapak tanganku bersamaan mengacak-acak rambut mereka gemas. Rambut yang begitu kaku, panas, tak terawat.
Betapa kasihan dua pengamen cilik itu bertahan hidup di jalan mengabaikan masa-masa paling menyenangkan. Demi mencari uang rela mengorbankan apa saja termasuk kebahagiaan.
Jika anak kecil menghabiskan seluruh waktunya untuk bermain dan bersenang-senang. Lain halnya dengan mereka yang susah payah mengais rezeki di bawah kerasnya dunia. Belum lagi ketika dikejar-kejar oleh petugas keamanan.
"Tidak apa-apa bolehkah kalian menyanyikan sebuah lagu untuk Kakak?"
"Tentu saja!" jawab keduanya antusias.
"Baguslah."
"Lagu apa yang Kakak minta?" tanya salah satunya.
Aku pun meletakkan jemari telunjuk di dagu, sepasang mataku mengarah ke langit-langit, dan bergumam. "Yang kalian bisa saja. Aku tidak mengikuti perkembangan musik jaman sekarang."
"Hei Tomi apa aku bisa menyanyikan lagu itu untuk Kakak ini?" tanya bocah bersinglet putih tak sabaran.
Sementara temannya bernama Tomi itu memberikan tilikan tajam seakan terdapat maksud tersembunyi dari caranya menatap. "Kita tidak boleh menyanyikan lagu yang dilarang, Tama."
Aku pun memandangi keduanya sambil terheran-heran. "Apa yang sedang kalian bicarakan? Memangnya ada lagu khusus yang tidak boleh dinyanyikan oleh pengamen?"
Baik Tomi maupun Tama sama diamnya. Aku mendesah pelan lalu berdiri di hadapan keduanya. "Baiklah jika kalian tidak mau jangan dipaksakan. Aku akan kembali lagi besok."
Seiring langkah kakiku mulai menjauh, tanpa sengaja aku menguping perdebatan mereka. "Sudah kubilang Kakak itu baik, Tomi!"
"Jangan mudah percaya dengan orang dewasa dasar bodoh!"
"Kita tidak punya pilihan lain atau dia akan marah?!"
Aku sempat berhenti sebisa mungkin tak terpancing pertengkaran mereka. Dia? Dia siapa? Apakah ada orang lain yang mengengkang kebahagiaan Tomi dan Tama? Aku menggelengkan kepala cepat. Terlalu lelah sudah untuk mengurusi kedua anak yang tidak tahu asal-muasalnya. Terlebih lagi aku harus berurusan dengan orang-orang gila di kantor.
***
"Kak Mega, bukankah sudah waktunya kau menikah?"
"Benar sekali, umurmu sudah menginjak kepala tiga kan? Tahun ini malah bertambah setahun."
Dua karyawati yang berada di samping kiri-kanan mendatangi meja kerjaku. Mereka ini lima tahun lebih muda dariku yang pasti sudah menikah. Keduanya terlihat bersemangat saat membicarakan segala hal tentang pasangannya. Atau hanya sekedar membuatku iri hati? Dasar dua junior tidak sopan.
"Bukan urusan anda," celetukku sembari fokus pada layar laptop. Setiap pagi selalu saja gosip tentang pria menyebar luas di antara karyawati. Manalagi ketika SPV sedang tidak mengawasi.
"Kasar sekali. Pantas saja tidak ada yang mau mendekatimu."
"Padahal kalau dilihat-lihat kau ini cantik. Kenapa tidak ada yang melirikmu?"
Awalnya kehidupan kerjaku yang biasa-biasa saja berubah. Semenjak kedatangan dua sejoli ini tiada henti-hentinya memergokiku agar segera mencari pasangan. Namanya Lintang dan Vivi.
Aku mendesah. "Memang kalau aku jadi perawan tua ada hal buruk yang menimpa? Enggak kan?"
"Eh Kak akhir-akhir ini ada pamali loh, tetangga sebelahku meninggal dua hari yang lalu karena lebih memilih jadi perawan tua." Lintang mulai membual dengan omong kosongnya.
Kini giliran Vivi yang menimpali sekaligus memprovokasi. "Di internet juga apalagi di Cuitter sampai jadi trending topik ...."
"Dasar penikmat gosip." Aku menggumam. Memangnya jaman sekarang masih ada kutukan atau pamali atau apalah itu terserah! Persetan. Ternyata orang-orang lokal banyak juga yang bertumpuan pada hal-hal supranatural semacam itu.
***
Sehari di tempat kerja rasanya seperti setahun dalam penjara. Tapi itu lebih baik daripada pontang-panting cari lowongan kerja. Walau harus berpikir besok makan apa setidaknya tidak menumpang di rumah orang dan mengemis pada teman. Juga berbanggalah pada hasil keringat sendiri.
"Kakak!" Tama, anak laki-laki yang mengenakan singlet putih serta celana merah bergambar Spiderman itu menyapaku dengan berapi-api.
"Lihat apa yang kubawa untuk kalian!"
Aku mengangkat tinggi-tinggi kantung plastik berisi coklat dan permen. Tama nampak bersemangat. Dia menerima bungkusan itu dengan mata berbinar. Bahkan dari tatapannya mengisyaratkan ketidak sabaran untuk memakan semua sendirian.
Sebelum aku memenuhi janjiku dengan dua pengamen cilik tadi, aku menyempatkan diri mampir ke minimarket terdekat. Membeli beberapa bungkus makanan manis yang disukai anak-anak.
"Bagaimana, aku menepati janji bukan? Coklatnya jangan dimakan sendiri ya harus berbagi sama saudaranya dong."
"Tomi! Sudah kubilang Kakak ini baik! Kenapa tidak kita nyanyikan saja lagu itu!" Tama berseru-seru antusias. Sementara kedua mataku tak lepas dari tatapan tajam Tomi. Seakan-akan dia terusik dengan kehadiranku.
Aku mendesah. "Bukan masalah besar kalau memang tidak bisa. Aku akan kembali lagi ke sini, sampai besok!"
"Tunggu, Kak Mega!" Tomi berhasil menghentikan langkahku. Seketika jantungku berhenti berdetak, bola mataku membulat seperti bola pingpong. Bagaimana dia bisa tahu namaku? Padahal selama pertemuan kami tak sekalipun aku menyebutkan nama.
"Sebagai balasan kebaikan hati Kakak, aku akan menyanyikan lagu yang dilarang itu. Tapi dengan satu syarat ...." Tomi menggantungkan ucapannya.
Tiba-tiba telingaku berdengung, suara di sekitarku lambat laun menghilang, bahkan seiring Tomi menggenjreng kentrung. Ada apa ini? Rohku seolah ditarik oleh sesuatu namun aku tak paham. Mengapa? Sebenarnya kenapa ini? Adakah yang salah dengan diriku?
Benarkah tubuhku dapat menembus ruang dan waktu?
***
"AWAS!!!"
Aku terbeliak kesadaranku ditarik kembali oleh genggaman tangan seseorang yang begitu kuat.
"KAU BISA MATI BODOH!" teriaknya. Saat itu pula aku mematung, seunit truk bermuatan hilang kendali. Truk itu berkecepatan tinggi, menabrak siapa saja yang menghalangi jalannya.
Apa yang terjadi? Batinku dengan seegala pikiran yang kacau. Aku berbalik hendak melihat wajah orang yang menyelamatkan nyawaku. Bahkan aku merasakan airmata itu terbendung.
"Terima kasih," rengekku.
Pria yang baik dengan kaos putih dibalut jas cream serta tas selempangnya berwarna coklat. Dia membawaku ke tepi jalan sembari memberikanku sebotol air mineral. Aku menerimanya dengan senang hati lantaran kuteguk air tersebut sampai habis. Hari ini cuaca panas sekali ya? Ramalan cuaca yang kulihat di televisi tadi pagi mengatakan kalau sekarang mendung. Tapi mengapa aku bisa sehaus ini? Memang tinggal di iklim tropis tak bisa diajak konfirmasi.
"Dulu ada kejadian yang hampir sama denganmu. Sayangnya korban tak terselamatkan hingga nyawanya melayang." Dia mulai bercerita. Aku tak tahu maksudnya tapi siap kudengarkan kapan saja.
"Ah, maaf! Salam kenal aku Juna." Dia mengulurkan tangannya sebagai bentuk ramah tamah.
"Mega."
Juna tersimpul lantaran menengadah. "Baiklah langsung ke intinya saja, jadi kau bertemu dua pengamen cilik itu Tomi dan Tama?"
Aku mengangguk kikuk. Kurasakan desiran aneh yang menjalar di sekitar predaran darah. Sial! Akankah aku terkena jebakan romansa?
"Aku juga sempat bermain dengan mereka. Setiap kali aku pulang kuliah mereka selalu saja menyambutku dengan senyum malaikatnya lalu menghibur hatiku di kala gunda dengan nyanyian mereka."
Desiran menyebalkan itu kusingkirkan segera setelah mendengar ceritanya. "Setelah itu apa yang terjadi?"
"Tama, memaksa saudara kembarnya Tomi untuk menyanyikan lagu terlarang. Sampai hal buruk menimpaku. Lagu itu, lagu itu adalah sebuah kutukan semasa hidup mereka---" Suaranya terdengar bergetar, kedua tangannya mengepal kuat. Juna menggantungkan ucapannya.
Aku terhenyak sejenak. Kejadian Juna hampir serupa denganku. Sampai-sampai aku terjingkat ia memegang kedua bahuku. Dia gemetar hebat, keringat dinginnya menetes-netes, dan alisnya saling bertaut. "Kau harus membantuku Mega sebelum memakan banyak korban!"
"Tunggu, kau bilang memakan banyak korban? Berarti aku sudah---"
"Kau benar Mega, dua hari yang lalu adalah upacara pemakamanmu."
***
Dahulu ada perempuan yang rela memperkerjakan anaknya sendiri demi keuntungan pribadi. Namanya Mbak Dara. Mbak Dara berhasil melahirkan dua orang anak kembar seiras dengan normal. Sayangnya mereka lahir tanpa ayah.
Sampai pada suatu saat, Mbak Dara dibenci satu kampung karena telah melahirkan anak haram. Dan dugaan itu benar, Mbak Dara hamil di luar nikah. Perempuan itu memilih tempat tinggal yang jauh dari desa.
Namun kebutuhan finansialnya tak mencukupi. Sepanjang perjalanan kedua anaknya terus menangis dan menangis. Hingga ia melakukan segala cara agar anak-anaknya tetap hidup.
Ketika usia buah ahtinya menginjak lima tahun. Mbak Dara memperlakukan mereka seperti hewan. Hingga ....
***
"Kita tolong mereka!" Aku sengaja memotong cerita Juna. "Ini seperti film-film horor yang sering aku lihat setiap malam Jum'at. Mereka punya dendam kesumat sampai terjerat di dunia selamanya."
"Aku tahu, Mega, tapi bagaimana caramu meyakinkan orang yang masih hidup? Aku pernah lihat Mbak Dara masih ada sampai sekarang."
Tanpa sengaja aku terseringai. "Mudah saja. Kita memang tidak memiliki wadah tapi kita punya tanda. Kau masih ingat materi pramuka mengenai sandi morse?"
Sontak Juna melompat, wajahnya nampak berseri-seri, dan lekuk di bibirnya lagi-lagi membuat getaran di dada. Manalagi tatkala dia memujiku. "Mega! Kau jenius! Kenapa aku tak memikirkannya sampai ke sana?"
"Makanya kalau kuliah cari ilmu jangan cari ayam mulu!"
Di belakang Juna aku mendapati dua pengamen cilik itu tersenyum sambil melambaikan tangan padaku. Terutama Tomi, dia tak seseram seperti yang kulihat terakhir kali.
"Sama-sama," gumamku pada mereka.
Sementara pria di depanku saat ini, aku tak tahu masih adakah kesempatan bagi para hantu menjalin hubungan cinta? Atau mungkin sudah terlambat bagiku untuk mengakuinya? Andai reinkarnasi itu nyata.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H