Pagi itu, suasana sekolah terasa berbeda. Langit yang biasanya cerah kini sedikit diselimuti awan mendung, seolah hujan sebentar lagi akan turun. Nadine, si sekretaris OSIS sekaligus jurnalis sekolah, selalu serius dalam menjalankan tugasnya. Ia sedang duduk di bangku panjang dekat perpustakaan, mengerjakan beberapa laporan tentang acara Sumpah Pemuda yang akan digelar. Tangannya sibuk mencatat, sementara matanya sesekali melirik sekitar, memastikan tidak ada yang terlewat.
Tiba-tiba, Veronica, temannya yang merupakan Bendahara OSIS sekaligus fotografer dokumentasi, datang menghampirinya. "Nad, kamu harus segera mewawancarai Nathan, ketua panitia acara hiburan Sumpah Pemuda. Dia itu orang sibuk kayak kamu, jadi kesempatan ini nggak boleh dilewatkan. Kebetulan dia lagi senggang sekarang!" kata Veronica dengan sedikit panik.
Nadine terkejut. "Sekarang? Tapi aku belum siap, Ver!" ujarnya, merasa belum mempersiapkan pertanyaan.
"Come on, Nad! Ini kesempatan langka! Siapa tahu wawancaranya bisa jadi artikel yang menginspirasi," dorong Veronica, tersenyum penuh harapan.
"Emang selama ini artikelku gak ada yang menginspirasi, ya?" tanya Nadine dengan kikuk.
Nadine pun menarik napas dalam, merapikan catatan seadanya, dan mengikuti Veronica menuju lapangan belakang sekolah, tempat Nathan dan panitia sedang menyiapkan panggung acara. Di dalam hatinya, Nadine sudah tahu siapa Nathan---mereka sering bertemu di berbagai rapat OSIS---tapi pertemuan ini terasa berbeda, karena untuk pertama kalinya, dia akan mewawancarai Nathan dalam suasana yang lebih formal.
Saat tiba di lapangan, suasana terlihat sibuk. Para siswa sedang mengatur panggung, memasang bendera, dan menata bangku untuk para penonton. Nathan tampak sibuk memberikan instruksi kepada beberapa anggota panitia. Nadine menghela napas, mengumpulkan keberanian, dan mendekati Nathan yang baru saja selesai berbicara dengan salah satu panitia.
Veronica memberi tanda agar Nadine segera memulai. Dengan langkah pasti, Nadine menghampiri Nathan. "Hai, Nathan," sapa Nadine dengan nada formal namun sopan.
Nathan menoleh, sedikit terkejut. "Oh, iya! Ada apa?"
"Ingin mewawancaraimu."
"Oh, iya. Maaf, aku lupa. Veronica bilang kamu mau mewawancarai aku, ya?" jawabnya, meski nada suaranya masih terdengar sedikit gugup.
Nadine tersenyum tipis. "Ya, benar. Kalau kamu ada waktu sekarang, aku harap kita bisa memulainya. Ini sebenarnya mendadak, tapi aku rasa ini kesempatan yang tepat, kan?"
Nathan mengangguk. "Nggak apa-apa, aku juga sedang nggak terlalu sibuk saat ini. Yuk, kita cari tempat duduk yang lebih tenang."
Mereka pun duduk di bangku kayu di pinggir lapangan, di bawah pohon rindang yang teduh. Veronica sudah siap dengan kameranya di belakang mereka, mendokumentasikan setiap momen dengan cermat.
"Jadi, kita mulai saja, ya. Perkenalkan dulu dirimu, Nathan, meski aku tahu kamu adalah ketua panitia acara hiburan Sumpah Pemuda. Tapi, mungkin pembaca perlu tahu lebih detail," kata Nadine sambil mengeluarkan buku catatannya.
Nathan tersenyum, sedikit salah tingkah karena formalitas itu. "Baiklah. Nama lengkapku Jonathan Wirakusuma, tapi teman-teman lebih sering memanggilku Nathan. Saat ini, aku sedang menjabat sebagai ketua panitia hiburan dalam acara perayaan Sumpah Pemuda di sekolah kita. Tugasku lebih banyak mengurus bagian acara hiburan seperti pentas seni, musik, dan segala sesuatu yang bersifat non-formal."
Nadine mengangguk, mencatat dengan serius. "Bagaimana perasaanmu saat dipercaya mengemban tanggung jawab besar ini? Apalagi, acara ini termasuk salah satu yang penting dan ramai di sekolah."
Nathan sedikit menggaruk kepalanya, gugup. "Jujur, awalnya aku merasa beban besar. Ini acara yang skalanya besar, dan ekspektasi dari siswa lainnya juga tinggi. Tapi, setelah mulai bekerja sama dengan tim, aku merasa lebih tenang. Kami saling mendukung, dan akhirnya aku bisa menikmati prosesnya."
Nadine tersenyum kecil, mencatat setiap kata. "Berarti kamu merasa peran tim sangat berpengaruh, ya?"
"Iya, pastinya. Karena tanpa tim, aku nggak mungkin bisa mengerjakan semuanya sendiri. Terutama di acara besar seperti ini, semua peran itu penting," jawab Nathan dengan lebih percaya diri.
Meskipun Nathan berusaha tetap tenang, Nadine bisa melihat ada sedikit kegugupan dalam caranya bicara. Matanya sesekali mencuri pandang ke arah Nadine, namun dengan cepat kembali fokus pada jawaban yang ia berikan.
Veronica di belakang mereka menahan tawa kecil. "Ayo, lebih santai lagi, Nathan. Nggak usah terlalu serius," celetuk Veronica, sambil memotret ekspresi kaku Nathan.
Nathan tertawa gugup. "Iya, aku agak tegang. Maklum, baru pertama kali diwawancara secara mendadak gini."
Nadine tertawa kecil, mencoba mencairkan suasana. "Nggak apa-apa, aku juga mendadak sekali datang ke sini. Tapi kamu udah jawab dengan baik, kok. Pertanyaan selanjutnya, apa tantangan terbesar yang kamu hadapi selama menyiapkan acara ini?"
Nathan berpikir sejenak, mencoba merangkai kata. "Tantangan terbesarnya mungkin masalah waktu, ya. Beberapa anggota panitia sering kali kesulitan membagi waktu antara belajar dan persiapan acara. Ada juga yang belum terbiasa bekerja di bawah tekanan. Tapi, kita semua saling membantu dan mencoba untuk tetap semangat meskipun ada hambatan."
Nadine menulis dengan cepat, berusaha menangkap esensi dari setiap jawaban yang diberikan Nathan. "Lalu, bagaimana cara kamu memotivasi mereka? Pastinya kamu sebagai ketua harus punya trik khusus, dong?"
Nathan menghela napas sebelum menjawab. "Aku selalu bilang ke mereka kalau acara ini bukan cuma hiburan. Ini adalah momen penting buat kita semua, untuk menunjukkan semangat pemuda. Aku kasih semangat terus ke mereka bahwa acara ini adalah cara kita memperlihatkan siapa kita. Meski capek, melihat teman-teman terlibat bikin aku makin semangat juga."
Veronica, yang sedang mengambil gambar dari berbagai sudut, menyela lagi dengan nada bercanda. "Kalian berdua kelihatannya cocok banget, deh. Sama-sama punya semangat yang tinggi buat OSIS."
Nadine hanya tersenyum canggung, sementara Nathan terlihat sedikit salah tingkah. "Ah, iya... mungkin karena kita sama-sama sibuk di OSIS jadi punya banyak tanggung jawab yang mirip," balas Nathan, mencoba menyembunyikan rasa kikuknya.
Wawancara berlanjut dengan pertanyaan-pertanyaan seputar teknis acara dan harapan Nathan mengenai suksesnya perayaan Sumpah Pemuda. Meskipun ada beberapa momen di mana Nathan terlihat gugup, wawancaranya berjalan lancar. Veronica terus mengambil foto-foto dokumentasi, menangkap momen penting antara Nadine dan Nathan.
Setelah wawancara selesai, Veronica meminta mereka berdua berpose untuk foto penutup. "Ini untuk arsip OSIS nanti," katanya. Nathan, yang masih sedikit gugup, berdiri di samping Nadine sambil berusaha menjaga jarak.
"Ayo, senyum yang natural!" seru Veronica sambil memotret mereka.
Saat sesi foto berakhir, Nadine membereskan catatannya, merasa lega karena wawancaranya berjalan lebih baik dari yang ia duga. "Terima kasih, Nathan. Aku rasa ini akan jadi artikel yang menarik," katanya sambil tersenyum.
"Terima kasih juga udah mau repot-repot mewawancaraiku. Dan, ya, kapan-kapan kita bisa ngobrol lagi," jawab Nathan, sedikit ragu.
Setelah mereka berpisah, hujan yang tadi hanya gerimis berubah menjadi lebih deras. Nadine dan Veronica memutuskan untuk berteduh di dekat tribun lapangan. Saat mereka duduk, tiba-tiba Rixen, ketua OSIS, datang menghampiri. "Nadine, aku dengar kamu habis wawancara Nathan?" tanyanya dengan nada penuh perhatian.
Nadine mengangguk, masih teringat jelas momen-momen saat wawancara. "Ya, tadi baru selesai. Kenapa?"
"Aku cuma penasaran. Bagaimana kesannya?" Rixen tersenyum hangat, namun ada nada cemburu yang samar terdengar.
Nadine tertawa kecil. "Biasa aja. Wawancara formal, kok."
Rixen menatap Veronica, yang hanya mengangkat bahu. "Kamu sibuk, nggak? Mungkin kita bisa ngobrol lebih lanjut tentang acara Sumpah Pemuda nanti," lanjut Rixen, mencoba mengalihkan topik. Nadine merasa sedikit ragu, mengingat Nathan juga menawarkan hal yang serupa. Namun sebelum dia bisa menjawab, Nathan muncul kembali, membawa beberapa perlengkapan yang tertinggal. "Oh, Rixen! Kamu di sini juga?" sapanya, senyum ramah terpancar di wajahnya.
"Ya, baru saja mau ngobrol dengan Nadine tentang acara," jawab Rixen, mencoba menjaga sikap.
Suasana tiba-tiba terasa canggung, meski hujan terus turun dengan derasnya di luar. Nathan dan Rixen, dua orang yang berbeda tapi sama-sama penting bagi Nadine , kini berdiri di hadapannya.
Hari Sumpah Pemuda pun tiba, dan cuaca cerah setelah hujan semalam menambah semarak suasana. Aula sekolah dipenuhi dengan bendera merah putih yang berkibar anggun, sementara semangat kebangsaan mengalir seperti arus yang tak terputus. Nathan tampil di atas panggung dengan percaya diri, memimpin acara dengan semangat yang menular, menciptakan atmosfer yang memukau.
Saat Nathan berpidato, Nadine tidak bisa menahan diri untuk terpesona. Setiap kata yang keluar dari bibir Nathan mengandung energi yang memikat, seolah merangkul setiap pendengar untuk bersatu dalam semangat pemuda. “Selamat datang semuanya! Mari kita rayakan semangat pemuda!” seru Nathan, dan sorakan riuh menggema di seluruh aula, mengisi ruang dengan kekuatan kolektif.
Setelah acara selesai, Nadine merasa bangga dengan pencapaian mereka. Nathan tampak lelah namun bahagia, senyum di wajahnya mencerminkan kepuasan atas kerja keras yang terbayar. Nadine mendekatinya, penuh semangat. “Kamu luar biasa di atas panggung. Acara ini sangat sukses!” puji Nadine, merasakan jantungnya berdebar-debar.
“Terima kasih, Nadine! Senang melihat kamu di sini. Kita harus ngobrol lebih banyak lain kali,” kata Nathan, senyum manisnya membuat Nadine merasa hangat dalam dekapan harapan.
“Aku juga senang, Nathan. Mungkin kita bisa merencanakan untuk bertemu lagi,” jawab Nadine, merasakan keterhubungan yang semakin mendalam di antara mereka.
Namun, di tengah kebahagiaan itu, Bagas datang menghampiri mereka. “Nad, mau pergi bersamaku? Kita bisa merayakan keberhasilan acara ini,” tawar Bagas, menawarkan tangan untuk menarik Nadine. Nadine terjebak dalam dilema, antara persahabatan dan perasaan yang baru mulai tumbuh. “Tapi, aku…,” Nadine tergagap, menatap Nathan yang terlihat canggung.
“Aku boleh ikut? Lebih ramai lebih seru 'kan?” kata Nathan, berusaha menunjukkan ketulusan meski hatinya berdesir oleh rasa cemburu.
Ketiganya akhirnya pergi bersama, meski Nadine merasakan ketegangan yang menggelora di dalam hati. Di satu sisi, Nadine merasa bersyukur memiliki dua teman yang peduli padanya. Namun, di sisi lain, hatinya terombang-ambing antara rasa suka yang mulai tumbuh untuk Nathan dan rasa nyaman yang selalu ada dengan Bagas.
Saat mereka bertiga berjalan menuju kafe terdekat, suasana terasa canggung. Nadine mencoba mencairkan ketegangan dengan mengajukan beberapa topik obrolan ringan. “Jadi, setelah semua ini, apa rencana kalian? Mungkin bisa jadi perayaan kecil untuk OSIS?” tanyanya, senyum di wajahnya.
“Rencananya, kami mau mengadakan pesta kecil di rumahku. Kalian berdua diundang, ya!” jawab Bagas, terlihat bersemangat. Dia melirik Nadine, berharap agar perayaan itu menjadi momen berharga untuk berdua.
“Sounds fun! Aku pasti datang,” balas Nadine, merasa senang. Dia kemudian menoleh ke Nathan. “Bagaimana denganmu, Nathan?”
“Aku juga akan datang. Ini kesempatan bagus untuk bersantai setelah semua kerja keras,” jawab Nathan, meski dalam hatinya, dia berharap bisa lebih dekat dengan Nadine di momen itu.
Kafe itu dipenuhi aroma kopi yang menggugah selera, ditambah dengan hiasan yang hangat. Ketiganya memesan minuman dan duduk di meja dekat jendela, mengamati orang-orang yang berlalu lalang. Nadine mengalihkan perhatian ke luar, merasakan angin sejuk yang berhembus lembut.
“Jadi, Nadine, bagaimana rasanya jadi sekretaris OSIS? Pastinya banyak tantangan, ya?” tanya Nathan, berusaha untuk kembali mengajak Nadine berbicara lebih banyak.
“Ya, benar. Tapi aku suka tantangannya. Setiap kegiatan selalu membuatku belajar banyak hal baru, termasuk mengenal orang-orang hebat seperti kalian,” jawab Nadine, senyum di wajahnya semakin lebar saat melihat kedua sahabatnya.
“Bisa dibilang, kita semua berkontribusi untuk membuat sekolah kita lebih baik,” kata Bagas, senyumnya tampak bangga. “Tapi jangan lupakan waktu untuk bersenang-senang juga, ya?”
Nadine mengangguk setuju. “Iya, aku setuju. Kadang-kadang kita terlalu fokus pada pekerjaan dan lupa menikmati hidup. Mungkin setelah acara nanti, kita bisa merencanakan liburan kecil-kecilan?”
Nathan menyetujui dengan antusias. “Aku suka ide itu! Kita bisa pergi ke pantai atau sekadar piknik di taman. Bagaimana?” sarannya, sambil mengamati reaksi Nadine.
“Piknik di taman terdengar menyenangkan!” balas Nadine, tidak bisa menyembunyikan kegembiraannya. Namun, saat menoleh ke arah Bagas, dia melihat kerutan di dahi temannya, seolah Bagas merasa tersisih.
“Kalau begitu, kita atur semuanya setelah pesta di rumahku. Bisa jadi saat yang seru untuk saling mengenal lebih baik,” tawar Bagas, berusaha menyeimbangkan situasi.
Percakapan mereka terus mengalir, tetapi Nadine tidak bisa mengabaikan perasaan di dalam hatinya. Dia merasa tertarik pada Nathan, namun persahabatan yang telah terjalin dengan Bagas membuatnya bingung.
Seiring berjalannya waktu, ketiganya menikmati kebersamaan. Nadine melihat Nathan yang berbicara dengan antusias, dan hati kecilnya bergetar. Dia tahu Jonathan adalah sosok yang tidak hanya tampan, tetapi juga memiliki visi dan semangat yang sama sepertinya.
Setelah selesai, mereka memutuskan untuk berjalan-jalan santai di taman terdekat. Suasana sore itu terasa indah, dan langit mulai dihiasi warna oranye keemasan. Nadine merasa nyaman berjalan di antara Nathan dan Bagas, merasakan kehangatan persahabatan yang terjalin. Saat berada di taman, Nathan mengajak mereka berfoto. “Ayo, kita ambil foto bersama! Ini momen yang harus diabadikan,” serunya, mengangkat kamera Veronica. Nadine berdiri di antara Nathan dan Bagas, merasakan ketegangan di antara mereka. Saat Nathan menyentuh bahunya untuk mengatur posisi, jantung Nadine berdebar lebih cepat. Dia berusaha tersenyum meski hati kecilnya berkonflik.
“Say cheese!” seru Veronica, dan klik! Momen itu terabadikan. Namun, saat mereka melihat foto hasil tangkapan, Nadine merasa seperti ada sesuatu yang lebih dari sekadar foto. Ekspresi wajah mereka mencerminkan perasaan yang belum terungkap.
Setelah berfoto, mereka melanjutkan perjalanan sambil berbincang-bincang tentang berbagai hal—mulai dari hobi, film favorit, hingga rencana masa depan. Nadine merasa semakin dekat dengan Nathan, tetapi Bagas tetap di sampingnya, memberi perhatian yang tulus.
Ketika malam tiba, Nadine dan Nathan harus berpisah dengan Bagas yang masih ingin menghabiskan waktu bersamanya. Nathan menatap Nadine dengan tatapan penuh arti. “Aku senang bisa menghabiskan waktu denganmu. Aku berharap kita bisa terus berkomunikasi dan saling mendukung,” ucap Nathan, senyumnya menawan.
“Jadi, ini adalah awal dari persahabatan yang lebih dekat?” tanya Nadine, berusaha memastikan perasaan yang ada.
“Ya, dan mungkin lebih dari itu,” jawab Nathan, merasakan harapan dalam hatinya.
Sementara itu, Bagas memperhatikan mereka dari kejauhan, merasakan perasaannya yang sulit dijelaskan. Di satu sisi, dia ingin mendukung Nadine, tetapi di sisi lain, dia tidak ingin kehilangan kesempatan untuk menjadi yang terdepan di hatinya.
“Semoga kita semua bisa tetap bersahabat, ya?” kata Bagas, berusaha menyeimbangkan suasana. “Jangan ragu untuk menghubungi aku jika butuh bantuan.”
Nadine tersenyum, merasakan keraguan di antara mereka. Dia tahu bahwa langkah selanjutnya akan menentukan arah hubungan mereka—apakah akan menjadi sekadar teman, atau mungkin lebih dari itu. Dia mengangkat tangan, memberi salam perpisahan kepada Nathan dan Bagas.
Saat pulang, pikiran Nadine berputar, merasakan ketegangan dan kegembiraan yang menggelora. Momen itu bukan hanya tentang persahabatan, tetapi juga tentang cinta yang perlahan mulai tumbuh di antara mereka. Apakah dia siap untuk mengambil langkah itu? Waktu yang akan menjawabnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H