Saat sesi foto berakhir, Nadine membereskan catatannya, merasa lega karena wawancaranya berjalan lebih baik dari yang ia duga. "Terima kasih, Nathan. Aku rasa ini akan jadi artikel yang menarik," katanya sambil tersenyum.
"Terima kasih juga udah mau repot-repot mewawancaraiku. Dan, ya, kapan-kapan kita bisa ngobrol lagi," jawab Nathan, sedikit ragu.
Setelah mereka berpisah, hujan yang tadi hanya gerimis berubah menjadi lebih deras. Nadine dan Veronica memutuskan untuk berteduh di dekat tribun lapangan. Saat mereka duduk, tiba-tiba Rixen, ketua OSIS, datang menghampiri. "Nadine, aku dengar kamu habis wawancara Nathan?" tanyanya dengan nada penuh perhatian.
Nadine mengangguk, masih teringat jelas momen-momen saat wawancara. "Ya, tadi baru selesai. Kenapa?"
"Aku cuma penasaran. Bagaimana kesannya?" Rixen tersenyum hangat, namun ada nada cemburu yang samar terdengar.
Nadine tertawa kecil. "Biasa aja. Wawancara formal, kok."
Rixen menatap Veronica, yang hanya mengangkat bahu. "Kamu sibuk, nggak? Mungkin kita bisa ngobrol lebih lanjut tentang acara Sumpah Pemuda nanti," lanjut Rixen, mencoba mengalihkan topik. Nadine merasa sedikit ragu, mengingat Nathan juga menawarkan hal yang serupa. Namun sebelum dia bisa menjawab, Nathan muncul kembali, membawa beberapa perlengkapan yang tertinggal. "Oh, Rixen! Kamu di sini juga?" sapanya, senyum ramah terpancar di wajahnya.
"Ya, baru saja mau ngobrol dengan Nadine tentang acara," jawab Rixen, mencoba menjaga sikap.
Suasana tiba-tiba terasa canggung, meski hujan terus turun dengan derasnya di luar. Nathan dan Rixen, dua orang yang berbeda tapi sama-sama penting bagi Nadine , kini berdiri di hadapannya.
Hari Sumpah Pemuda pun tiba, dan cuaca cerah setelah hujan semalam menambah semarak suasana. Aula sekolah dipenuhi dengan bendera merah putih yang berkibar anggun, sementara semangat kebangsaan mengalir seperti arus yang tak terputus. Nathan tampil di atas panggung dengan percaya diri, memimpin acara dengan semangat yang menular, menciptakan atmosfer yang memukau.
Saat Nathan berpidato, Nadine tidak bisa menahan diri untuk terpesona. Setiap kata yang keluar dari bibir Nathan mengandung energi yang memikat, seolah merangkul setiap pendengar untuk bersatu dalam semangat pemuda. “Selamat datang semuanya! Mari kita rayakan semangat pemuda!” seru Nathan, dan sorakan riuh menggema di seluruh aula, mengisi ruang dengan kekuatan kolektif.