Setelah acara selesai, Nadine merasa bangga dengan pencapaian mereka. Nathan tampak lelah namun bahagia, senyum di wajahnya mencerminkan kepuasan atas kerja keras yang terbayar. Nadine mendekatinya, penuh semangat. “Kamu luar biasa di atas panggung. Acara ini sangat sukses!” puji Nadine, merasakan jantungnya berdebar-debar.
“Terima kasih, Nadine! Senang melihat kamu di sini. Kita harus ngobrol lebih banyak lain kali,” kata Nathan, senyum manisnya membuat Nadine merasa hangat dalam dekapan harapan.
“Aku juga senang, Nathan. Mungkin kita bisa merencanakan untuk bertemu lagi,” jawab Nadine, merasakan keterhubungan yang semakin mendalam di antara mereka.
Namun, di tengah kebahagiaan itu, Bagas datang menghampiri mereka. “Nad, mau pergi bersamaku? Kita bisa merayakan keberhasilan acara ini,” tawar Bagas, menawarkan tangan untuk menarik Nadine. Nadine terjebak dalam dilema, antara persahabatan dan perasaan yang baru mulai tumbuh. “Tapi, aku…,” Nadine tergagap, menatap Nathan yang terlihat canggung.
“Aku boleh ikut? Lebih ramai lebih seru 'kan?” kata Nathan, berusaha menunjukkan ketulusan meski hatinya berdesir oleh rasa cemburu.
Ketiganya akhirnya pergi bersama, meski Nadine merasakan ketegangan yang menggelora di dalam hati. Di satu sisi, Nadine merasa bersyukur memiliki dua teman yang peduli padanya. Namun, di sisi lain, hatinya terombang-ambing antara rasa suka yang mulai tumbuh untuk Nathan dan rasa nyaman yang selalu ada dengan Bagas.
Saat mereka bertiga berjalan menuju kafe terdekat, suasana terasa canggung. Nadine mencoba mencairkan ketegangan dengan mengajukan beberapa topik obrolan ringan. “Jadi, setelah semua ini, apa rencana kalian? Mungkin bisa jadi perayaan kecil untuk OSIS?” tanyanya, senyum di wajahnya.
“Rencananya, kami mau mengadakan pesta kecil di rumahku. Kalian berdua diundang, ya!” jawab Bagas, terlihat bersemangat. Dia melirik Nadine, berharap agar perayaan itu menjadi momen berharga untuk berdua.
“Sounds fun! Aku pasti datang,” balas Nadine, merasa senang. Dia kemudian menoleh ke Nathan. “Bagaimana denganmu, Nathan?”
“Aku juga akan datang. Ini kesempatan bagus untuk bersantai setelah semua kerja keras,” jawab Nathan, meski dalam hatinya, dia berharap bisa lebih dekat dengan Nadine di momen itu.
Kafe itu dipenuhi aroma kopi yang menggugah selera, ditambah dengan hiasan yang hangat. Ketiganya memesan minuman dan duduk di meja dekat jendela, mengamati orang-orang yang berlalu lalang. Nadine mengalihkan perhatian ke luar, merasakan angin sejuk yang berhembus lembut.