Seekor monyet seukuran monyet dewasa, turun dengan gesit di atap pondokan Putri Purbasari.
“Maafkan hamba Tuan putri.. inilah wujud hamba..mohon dimaafkan bila mengganggu tuan putri..” Monyet tersebut sekali lagi melompat di dekat kaki Putri Purbasari.
“Oh, ternyata kau seekor lutung.. sang maha kuasa pasti sangat menyayangimu hingga engkau dapat berbicara layaknya manusia..” Putri Purbasari tersenyum sambil memandang lutung yang meloncat-loncat dengan riang di dekatnya.
“Terima kasih putri..maukah putri menjadi temanku?”
“Tentu saja lutung yang lucu.. aku akan senang sekali menjadi temanmu…apakah engkau memiliki nama?”
“Tidak tuan putri..hamba tidak memiliki nama, hamba berada di hutan ini karena tersesat..”
“Oh..begitu rupanya, baiklah karena engkau seekor lutung lucu yang tersesat, aku akan memberimu nama: Lutung Kasarung, yang artinya Lutung yang tersesat..”
“Horee… terima kasih..Putri.. sebagai hadiah pertemanan kita, saya akan mengambil sebuah mangga segar untuk tuan putri.. “ Si lutung dengan gesit mengambil buah mangga yang bergelantungan di samping pondokan Putri Purbasari.
Sejak saat itu, Putri Purbasari dan Lutung Kasarung menjadi teman yang akrab, mereka sering berjalan-jalan di sekitar pondok untuk melihat bunga dan mengambil buah-buahan segar, dan Purbasari menjadi tidak kesepian lagi di dalam hutan yang lebat itu. Hari demi hari, Putri Purbasari semakin gembira dan bercerita tentang masa lalunya kepada si lutung. Tentang keluarganya di Kerajaan Pasir Batang di tatar Pasundan, tentang saudara-saudarnya; Purbararang, Purbadewata, Purbaendah, Purbakancana, Purbamanik, Purbaleuih, dan dirinya sebagai anak bungsu dari tujuh bersaudara, putri –putri dari Prabu Tapa Agung, dan tentu saja peristiwa ketika sang kakak Purbararang yang dengan kejam mencelakainya, hingga dirinya diasingkan oleh kakaknya sendiri di dalam hutan.
Lutung memandang putri Purbasari dengan sedih.
“Tuan Putri seharusnya menjadi Ratu di kerajaan Pasir Batang, bukan kakak tuan putri, Purbararang yang kejam.. dan tuan putri seharusnya duduk di singgasana yang megah, bukan di batu dan di bawah pohon ini bersama hamba..”