Jika  diingat-ingat, saya mulai meninggalkan gim ketika beranjak SMA. Karena  menjalani program akselerasi, kegiatan mulai padat sehingga saya tidak  punya keinginan lagi untuk bermain gim sesering dulu. Kalaupun bermain  gim, mungkin tidak sampai 30 menit atau 1 jam sehari.
Ketika beranjak kuliah, saya sudah lepas dari gim karena pola yang terbentuk semasa SMA.
Pengalaman  ini mungkin bermanfaat untuk membantu menyelami fenomena ini dari sudut pandang orang yang bermain gim, digabung dengan beberapa konsep psikologi perilaku.
1. Gim terasa seperti dunia alternatif
Gim  memberikan pengalaman sensori audiovisual yang kaya dan melibatkan  fungsi kognitif yang masif. Akibatnya, pemain melalui alam bawah sadarnya akan mengalami fenomena "imersi" atau "presensi spasial".
Dirinya merasa berada (presens) di alam gim (spasial). Singkatnya, pemain akan tenggelam dalam zona imajinatif gim.
Inilah mengapa, jika terjadi koneksi putus, koneksi macet, seseorang bisa sampai marah-marah. Hal itu memutus zonasi dirinya dengan dunia gim secara mendadak tanpa seizinnya.
Gim juga diiringi alunan suara yang tematis. Seperti suara menyenangkan  ketika senang, suara menegangkan ketika tegang, dan alunan suara heroik di momen kemenangan. Faktor ini memengaruhi emosi. Emosi punya pengaruh kuat bagi kecondongan orang terhadap sesuatu.
Tidak  ada kan, alunan suara terompet kemenangan ketika seorang anak selesai  membaca buku atau membuat esai, misalnya. Tidak ada juga kan, ucapan "Selamat! Kamu selesai membaca buku ini. Sekarang, kamu naik level!"
Nah, hal ini membawa kita ke poin kedua.
2. Ada apresiasi dari gim sekecil apa pun hasil dan usaha pemain (konsep diri yang positif)