"Tidak umi." Jawabku lemah. Aku memandang wajah umi yang teduh dan tetap tenang, ada kecewa yang tersembunyi di balik wajahnya yang bersih.
"Lalu apa? Pernikahanmu tinggal besok sayang."
"Umi." Panggilku lirih, "apakah umi akan tetap menyanyangi Fatih meskipun seburuk kenyataan Fatih?"
"Pertanyaan macam apa itu Fatih? Tak ada seorang ibu yang tak sayang terhadap anak-anaknya. Fatih adalah anak umi yang sangat umi sayangi."
"Umi, dia sholih umi."
"Iya, umi tahu."
"Dia adalah lelaki yang pertama yang menarik hati Fatih dari sekian pemuda yang datang ke rumah."
"Lalu, kenapa harus di batalkan?"
"Dia seperti pangeran Surga yang akan membawa Fatih menuju cinta-Nya, ia bertanggungjawab, bacaan Al-Qur'annya merdu, shalatnya selalu berjama'ah. Fatih yakin, ia adalah seorang laki-laki yang sholih, bisa menjadi ayah untuk anak-anak Fatih nanti. Tapi umi..." Hiks hiks. Tubuhku tergoncang hebat.
"Tapi kenapa Fatih?"
"Apakah Fatih pantas mendapatkannya umi? Umi selalu mengatakan, lelaki baik untuk wanita baik. Lelaki sholih untuk wanita shalihah."