Mohon tunggu...
Eve S
Eve S Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Mengeksplorasi sejarah, arkeologi, dan budaya adalah sebuah petualangan melintasi dimensi ruang dan waktu.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Asmara di Bumi Majapahit

21 November 2020   21:32 Diperbarui: 21 November 2020   21:38 476
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku tak pernah meminta dilahirkan dengan status sebagai anak dari seorang bupati yang menjabat di wilayah mandala Pajang. Andaikan aku bisa memilih, mungkin aku akan memilih untuk dilahirkan sebagai kawula saja. Menjadi anak bupati tidak selamanya menyenangkan, aku berani membuktikannya!

"Gayatri, tolong tumbuk padinya," titah ibunda kepadaku. Dengan sigap aku pun berjalan mendekati sebuah lesung yang berada tak jauh dariku dan menumbuknya. Cuaca pagi ini cukup cerah walaupun matahari belum menampakkan diri seutuhnya.

Pagi ini ibunda mengajakku pergi ke sawah untuk melihat keadaan masyarakat. Beberapa paruh baya yang juga tengah menumbuk padi di sebelahku sibuk bergosip ria, membicarakan berita terbaru mengenai batalnya pernikahan sang Maharaja Majapahit dengan Putri Pajajaran.

"Sudah dengar tentang pernikahan Baginda Rajasanagara? Katanya pernikahan mereka dibatalkan karena peristiwa di Bubat," kata salah satu paruh baya tersebut.

"Iya, padahal pesta pernikahan mereka digadang-gadang akan menjadi pesta terbesar dalam sejarah Majapahit," sahut yang lainnya.

Seorang paruh baya yang lain ikut berceletuk, "Kudengar dari anakku, Baginda Rajasanagara bahkan sudah memanggil beberapa pujangga untuk mengisahkan pesta pernikahannya. Sayang sekali peristiwa di Bubat terjadi. Mempelai perempuannya pun memilih bela pati."

Kenapa para paruh baya ini berani sekali membicarakan Maharaja Hayam Wuruk secara terang-terangan di muka umum? Bukankah itu tidak sopan? Bagaimana jika orang lain mendengarnya? Tentu hal itu akan menjadi masalah besar. Aku menghela napas pelan sembari melanjutkan aktivitas menumbuk padi. Perlahan matahari mulai menampakkan dirinya tanpa malu, langit biru pagi ini terlihat sepi tanpa hiasan awan. Ibunda menyuruhku untuk pulang lebih dahulu ke rumah karena katanya beliau masih harus mengurus sesuatu di sawah.

Di sinilah aku sekarang, berjongkok di pekarangan rumah seraya memainkan tanah. Tak ada orang di rumah selain aku. Ibunda dan para dayang masih belum pulang dari sawah, sedangkan ayahanda mendapat panggilan dari sang Bhre Pajang untuk melakukan rapat agung di pendopo bersama para bupati lainnya.

"Demi Sang Hyang Widhi, aku tak pernah membayangkan seorang anak bupati bermain tanah di pekarangan rumahnya." Suara bariton itu terdengar dari arah pagar rumahku yang berbahan bambu.

Reflek, aku menoleh ke arahnya dan mendapati laki-laki dengan senyum manis tengah menatapku. "Giandra? Kau sudah kembali dari Trowulan?"

Laki-laki itu mengangguk, kemudian aku pun menghampirinya dan membukakan pagar untuknya. Giandra, ia adalah sahabatku sekaligus laki-laki yang aku sukai. Kami bersahabat sejak kecil, tetapi akhir-akhir ini kami jarang berjumpa karena ia disibukkan dengan pekerjaannya sebagai seorang citraleka atau pembuat prasasti.

Giandra memasuki area pekarangan rumahku dan bertanya, "Di mana dayang-dayangmu? Rumahmu sepertinya sepi sekali."

"Para dayang sedang menemani ibunda di sawah. Aku sendirian di rumah, makanya aku memilih untuk menunggu di sini." Jawabanku itu berhasil membuat Giandra membulatkan mulutnya. "Giandra, kenapa kau bisa cepat sekali tiba di Pajang? Bukankah jarak antara Pajang dan Trowulan cukup jauh?"

Ia terkekeh dan membalas, "Aku bahkan belum sempat tiba di Trowulan. Saat aku dan rombongan tiba di Daha, kami mendapat kabar bahwa panggilan tersebut dibatalkan. Entah apa alasannya, ayahanda tak ingin memberitahuku. Oleh karena itu, pedati yang kami naiki langsung memutar balik arah tujuan dan kembali ke Pajang."

"Oh, begitu." Pantas saja ia bisa kembali lebih cepat dari perkiraan. Ternyata pedati yang dinaikinya memutar arah tujuan ketika tiba di Daha.

Ah, aku lupa menjelaskannya kepada kalian. Giandra dan ayahnya adalah citraleka yang mengabdikan diri pada Kerajaan Majapahit. Kemampuan mereka dalam mengukir dan membuat prasasti tak perlu diragukan lagi. Beberapa hari yang lalu mereka mendapatkan panggilan dari Trowulan untuk bekerja di sana, tetapi tiba-tiba saja panggilan tersebut dibatalkan.

Terjadi kecanggungan di antara aku dan Giandra. Kami sama-sama larut dalam pikiran masing-masing. Sekilas aku melirik ke arahnya dan mendapati Giandra yang tengah menatapku.

"Kenapa?" tanyaku yang kebingungan dengan maksud dari tatapannya.

"Aku sudah sering melihatmu, tetapi aku belum pernah jujur tentang hal ini kepadamu. Kau cantik, Gayatri. Parasmu seperti Dewi Srikandi." Kata-katanya tersebut berhasil membuatku tersipu malu. Dewi Srikandi, tokoh dalam wiracarita Mahabharata yang merupakan putri Raja Drupada dari Kerajaan Panchala. Dikenal sebagai sosok pejuang wanita cantik yang pandai memanah.

"Gayatri, apa kau tahu mengapa aku memilih Dewi Srikandi?" lanjutnya yang kubalas dengan sebuah gelengan, "itu karena kau telah berhasil memanah hatiku."

Sial! Bisa-bisanya Giandra mengucapkan kata-kata manis seperti itu. Dibandingkan tersipu malu, aku justru merasa geli dengan ucapannya. "Giandra, itu menggelikan. Jangan ucapkan kata-kata seperti itu lagi kepadaku."

Tawa Giandra pecah, ia bertepuk tangan karena tertawa terpingkal-pingkal. Aku pun ikut terkekeh melihatnya. Giandra memang pandai merangkai kata-kata manis. Akan tetapi, terkadang kata-katanya menggelitik perut.

"Sudah berapa lama kita berteman, Gayatri?" Giandra bertanya dengan tatapan teduhnya.

"Sekitar lima belas tahun? Sejak aku berusia empat tahun," ucapku menjawab pertanyaannya. Giandra berusia satu tahun di atasku. Jadi, pada pertemuan pertama kami dahulu usianya adalah lima tahun, sedangkan aku baru berusia empat tahun.

"Lama juga, ya."

Dari kejauhan aku dapat melihat pedati milik ibunda bergerak mendekat, Giandra langsung merapikan kain yang menutupi pusar hingga lututnya. "Ibundamu datang, aku harus terlihat rapi," bisiknya.

Tak lama kemudian, Ibunda dan beberapa dayang yang menemaninya pun turun dari pedati, beliau menyapa Giandra yang tengah membungkuk di hadapannya dengan penuh keanggunan. "Giandra, tak perlu membungkuk seperti itu. Bangunlah."

Mendengar perkataan ibunda, Giandra pun bangkit, tetapi wajahnya tetap ia tundukkan sebagai tanda hormat kepada ibunda yang merupakan istri dari seorang bupati. Ibunda kemudian melangkah masuk ke dalam rumah, meninggalkan aku dan Giandra berdua di pekarangan.

"Kita sudah lima belas tahun berteman dan kau masih saja membungkuk seperti itu kepada ibunda. Itu terlalu berlebihan, Giandra," kataku seraya menggeleng-gelengkan kepala.

"Tak peduli berapa lama kita berteman, kastamu tetap berada di atasku, Gayatri. Aku ini hanya seorang citraleka Waisya, bukan seorang silpin Brahmana. Kastaku berada di bawah kasta Ksatria-mu," ujarnya yang membuatku terdiam. Aku tak suka tiap kali Giandra membahas perbedaan kasta yang ada di antara kami. "Gayatri, aku harus kembali ke rumah dan membantu ayahanda. Bisakah esok sore kita bertemu di bawah pohon maja dekat sungai?"

Aku mengiakan permintaannya. Entah mengapa perasaanku menjadi tidak enak sekarang. Giandra tersenyum, ia lalu melangkah keluar dari pekarangan rumahku dan melambaikan tangannya. Aku pun membalas lambaiannya dan memilih masuk ke dalam rumah, membantu para dayang untuk menyiapkan makan siang kami.

Setelah melewati malam dan siang, kini langit jingga yang menyapa. Kemarin Giandra memintaku untuk menemuinya di bawah pohon maja yang berada di dekat sungai pecahan dari Sungai Bengawan Solo dan sekarang aku tengah berdiri tepat di bawah pohon maja tersebut. Aku mengedarkan pandanganku, berusaha mencari sosok yang kutunggu.

"Apa yang kau cari, Gayatri?" Dari arah belakangku suara itu terdengar. Aku sangat mengenal pemilik suara tersebut.

"Aku sedang mencari seorang citraleka yang memintaku untuk menemuinya sore ini di bawah pohon maja dekat sungai. Namun, sepertinya orang itu terlambat dalam menepati janjinya," kataku sembari mengerucutkan bibir.

Pemilik suara itu pun membalas, "Citraleka yang kau tunggu tidak terlambat. Ini masih sore hari, bahkan matahari belum membenamkan dirinya."

Aku mendengus kesal mendengarnya dan berkata, "Hentikan, Giandra. Kau terlambat, akui saja hal itu."

Giandra melipat kedua tangannya di dada, matanya menatap lurus ke depan. "Lihatlah, capung-capung itu masih beterbangan, itu tandanya ini masih sore dan aku tidak terlambat."

"Terserah. Jadi, apa yang mau kau bicarakan? Aku tebak kau mau membicarakan sesuatu yang penting sampai-sampai memintaku untuk menemuimu di sini," tuturku. Giandra mengangguk sembari mendudukkan dirinya di bawah pohon maja, kemudian menepuk-nepuk tanah yang ada di sebelahnya, bermaksud menyuruhku untuk ikut duduk di sampingnya.

"Sejujurnya aku takut buah maja yang ada di atas kita akan jatuh dan mengenai kepalaku," ujar Giandra membuka obrolan.

"Kalau kau takut, lantas mengapa kau memilih untuk duduk di sini?"

Laki-laki itu mengangkat bahunya. "Entah, aku hanya ingin berteduh. Gayatri, apa kau ingat saat kita pertama kali berjumpa dahulu? Kau sedang menangis di pinggir sungai ini karena kau mengira ibundamu pergi meninggalkanmu."

Samar-samar ingatan itu kembali muncul dalam pikiranku. Ingatan ketika aku menangis dan Giandra datang menghampiriku dengan sebuah kendi di tangannya. Saat itu aku yang masih berusia empat tahun menangis karena mengira ibunda telah pergi meninggalkanku sendirian di pinggir sungai. "Iya, aku ingat. Aku juga ingat waktu pertama kali aku datang ke rumahmu. Paman Bena memberikanku banyak sekali mainan dari tanah liat."

"Masa kecil yang indah, ya. Aku jadi teringat saat Baginda Rajasanagara melakukan kunjungan ke Pajang. Kita ikut membantu menghias alun-alun untuk menyambutnya," tambah Giandra, "oh ya, dahulu kau juga pernah jatuh dari pedati hingga kakimu terluka dan karena hal itu ayahandamu melarangmu keluar rumah hingga berbulan-bulan lamanya. Aku sangat kesepian saat itu karena aku tak memiliki teman bermain selain kau, Gayatri."

"Tidak hanya dirimu yang kesepian, tetapi aku juga," tambahku. Kenangan masa kecilku bersama Giandra rupanya selalu berhasil menjadi kenangan manis yang tak sirna oleh waktu. Kami sudah beranjak dewasa sekarang dan mulai sibuk menata hidup kami masing-masing.

Angin yang bertiup membuat beberapa helai rambutku berkibar, aku menikmati momen bersama Giandra seperti ini. Senyum manis yang terukir di wajahnya sukses membuatku tersihir dalam karismanya. Perlahan tangannya bergerak merapikan rambutku, jantungku berdebar kencang dibuatnya. Perasaan yang acap kali menyeruak saat aku sedang bersamanya. Demi Sang Hyang Widhi, aku ingin menikmatinya lebih lama lagi.

Batang pohon maja yang ada di belakang kami menjadi tempat Giandra untuk menyangga tubuhnya. Ia meraih tubuhku dan memintaku untuk menyandarkan kepalaku di bahunya. Awalnya aku menolak, tetapi Giandra memaksa. Aku pasrah dan menuruti permintaannya, kusandarkan kepalaku di bahunya. Laki-laki itu mengelus-elus kepalaku dan menatapku lekat-lekat. Capung yang beterbangan menjadi saksi kami saat ini.

"Gayatri, sebenarnya ada yang ingin aku bicarakan denganmu." Giandra kembali membuka obrolan kami.

"Apa yang ingin kau bicarakan?" balasku penasaran. Sejak kemarin aku sudah menahan-nahan rasa penasaranku.

"Aku harus pergi meninggalkan Pajang."

Kalimat yang keluar dari mulutnya berhasil membuatku terkejut bukan main. Tubuhku seolah membeku mendengar perkataannya. Pergi meninggalkan Pajang? Apa dia bercanda? Ya, dia pasti bercanda! Tak mungkin Giandra akan pergi meninggalkan Pajang, ia pasti hanya membuat lelucon! "Bercandamu tidak lucu, Giandra."

"Aku tidak bercanda. Ayahanda mendapat panggilan untuk menjadi citraleka di Jagaraga, Gayatri," jelasnya sembari menatapku, "aku dan Yunda Kusuma harus ikut ayahanda pergi ke Jagaraga."

"Ini terlalu mendadak, Giandra. Aku bahkan tidak tahu harus memberikan reaksi seperti apa untuk menanggapi ucapanmu." Air mata perlahan menggenang di pelupuk mataku. Giandra tak merespons ucapanku, ia hanya memandangiku tanpa suara. Aku belum siap jika Giandra harus meninggalkan Pajang. Jika ia benar-benar pergi, lantas siapa yang akan menemaniku nanti? Sahabat yang kumiliki hanya dirinya. Ini tidak adil!

Kami membisu, aku masih tak sanggup untuk berkata-kata, sedangkan Giandra hanya diam. Ia tahu bahwa aku butuh waktu untuk mencerna kalimatnya. Namun, aku tak mau keheningan ini terus berlanjut. Oleh sebab itu, aku pun bersuara, "Kapan kau akan pergi?"

Dengan suara pelan ia menjawab, "Tiga hari lagi aku akan pergi, Gayatri. Maaf, aku tahu ini sangat mendadak."

"Apa kepergianmu ke Jagaraga adalah alasanmu tidak jadi ke Trowulan, Giandra?" tanyaku dengan suara bergetar.

Giandra menggeleng, wajahnya berubah menjadi serius. "Tidak, ini tidak ada hubungannya dengan hal itu. Aku berani bersumpah. Ayahanda baru mengatakan tentang kepergian kami ke Jagaraga kemarin pagi, Gayatri. Percayalah."

"Kenapa harus ke Jagaraga? Bukankah kau tetap bisa menjadi citraleka di Pajang?" Pertanyaan yang keluar dari mulutku itu membuat Giandra tergemap, aku pun kembali memberikannya pertanyaan. "Lantas mengapa kau pergi ke Jagaraga?"

Ia mengembuskan napasnya sembari memejamkan mata. "Kau tidak akan mengerti."

"Apa yang tidak aku mengerti? Jelaskan kepadaku, Giandra!"

Emosiku memuncak, menurutku ini konyol! Giandra tiba-tiba saja hendak pergi ke Jagaraga tanpa alasan yang jelas. Aku tak habis pikir dengannya. Tangisku hampir saja pecah jikalau ia tak memelukku secara mendadak dan mengucapkan kata-kata yang membuatku tersentak.

"Gayatri, aku ingin menghabiskan waktu dan hidupku bersamamu."

Singkat, tetapi mampu menembus hatiku tanpa menggunakan belati. Kenapa ia mengucapkannya di saat seperti ini? Apa maksudnya? Baru saja ia bilang bahwa dirinya harus pergi ke Jagaraga. Namun, tak sampai lima menit kemudian ia justru mengatakan hal yang sangat gila!

"Aku sangat ingin ... tetapi itu tidak mungkin," sambungnya, suaranya berubah menjadi pelan, bahkan nyaris tak terdengar, "maafkan aku, Gayatri. Aku pamit."

Giandra bangkit dari tempat duduknya dan melangkah menjauhi pohon maja, meninggalkanku yang masih berusaha memahami apa yang baru saja terjadi. Ia bahkan tak menoleh ke arahku setelah mengucapkan kalimat perpisahannya. Hatiku sakit, aku tak pernah membayangkan jika hal seperti ini akan terjadi sebelumnya. Butiran kristal air mata perlahan turun dan membasahi pipiku, buru-buru aku mengelapnya dan menahan agar air mata ini tidak lagi keluar. Malu jika ada yang melihatku menangis di pinggir sungai.

Semudah itukah ia mengucapkan kalimat perpisahannya? Apa arti lima belas tahun pertemanan kami di matanya? Semua kenangan yang kami rajut bersama pun hanya dianggap angin lalu olehnya. Bayang-bayang saat kami bersama dahulu kembali menghampiriku, dadaku sesak mengingatnya.

"Gayatri, ayo kita menulis kisah di bawah langit senja."

Kau yang mengajakku untuk menulis kisah di bawah langit senja, apakah ini adalah akhir dari kisah kita? Tak mau orang yang lewat di sekitar sungai ini menatapku dengan tatapan iba karena melihatku menangis, aku pun beranjak menjauh dari pohon maja tersebut dan pulang ke rumah. Bisa saja aku mendatangi rumah Giandra dan meminta penjelasan kepadanya, tetapi tubuhku sudah terlalu lemas setelah mendengar ucapannya tadi. Sesampainya aku di rumah, dayangku yang bernama Kirana langsung menyambutku, ia terkejut ketika mendapati wajahku yang basah akibat air mata. "Aku tak apa-apa, Kirana. Jangan khawatirkan aku."

Hari demi hari kulalui, aku tak pernah lagi melihat atau mendengar kabar tentang Giandra. Sepertinya pertemuan kami sore itu benar-benar menjadi akhir dari kisah kami. Kira-kira bagaimana keadaan Giandra sekarang? Apakah ia sudah tiba di Jagaraga? Aku bersandar di jendela kamar, memandang keluar dengan tatapan kosong. Pikiranku masih dipenuhi olehnya. Sesekali ia datang ke dalam mimpiku penaka tokoh yang tak ingin dilupakan. Sungguh, Giandra, bagaimana mungkin aku melupakanmu?

Waktu terus berputar, tak terasa sudah tiga tahun sejak pertemuan terakhir aku dengan Giandra. Hari ini aku dan rombongan dari Pajang tiba di Trowulan, ayahanda diminta untuk mewakili Pajang atas perintah Rajasaduhiteswari sang Bhre Pajang. Aku turun dari pedati dengan hati-hati, takut jika kejadian beberapa tahun yang lalu kembali terulang. Trowulan, kota metropolitan yang tak pernah sunyi, selalu ramai tiap harinya. Aku tidak mau menyia-nyiakan kesempatanku di Trowulan. Maka dari itu, setelah beristirahat sejenak di tempat penginapan yang telah disediakan, aku pun memutuskan untuk berkeliling Kota Trowulan.

Bangunan berbahan dasar batu bata merah mendominasi wilayah pemukiman di Trowulan. Aku baru saja melewati Gapura Bajang Ratu yang merupakan gerbang belakang dari pusat Kerajaan Majapahit sekaligus tempat pendharmaan raja kedua Majapahit, yakni Jayanegara. Ini masih sepertiga hari, panas matahari belum begitu terik. Suara riuh yang terdengar dari arah pasar menarik perhatianku. Pasar di Trowulan tak jauh berbeda dengan pasar di Pajang, hanya saja pasar di sini sedikit lebih ramai jika dibandingkan dengan pasar di Pajang, bahkan menjelang siang pun masih banyak pembeli yang sibuk tawar-menawar dengan para penjual. Entah apa yang membawaku untuk memasuki pasar lebih dalam, kakiku melangkah tanpa perintah. Ada banyak yang dijual di pasar ini, mulai dari sayur-sayuran hingga makanan seperti kue wajik.

Hasrat untuk membeli kue wajik muncul, aku berjalan mendatangi sang penjual, tetapi sebuah suara mengambil atensiku.

"Gayatri?"

Aku tersentak saat melihat orang yang baru saja menyebut namaku. Laki-laki bertubuh tegap bersama seorang anak kecil yang kuperkirakan baru berusia satu tahun dalam gendongannya. Ia menatapku dan tersenyum, kemudian melanjutkan ucapannya, "Rupanya memang benar kau adalah Gayatri. Sudah lama kita tidak berjumpa."

"Giandra? Kenapa kau ada di sini?" balasku yang terkejut dengan kehadirannya. Bukankah Giandra ada di Jagaraga?

Ia terkekeh dan menjawab, "Aku pindah ke Kumeper beberapa bulan yang lalu dan sekarang aku tengah menemani istriku berbelanja di Pasar Trowulan. Oh iya, Gayatri, ini anakku, namanya Cakra."

Istri? Anak? Giandra sudah menikah? Tunggu ... jadi, ia menikah di Jagaraga? Aku masih termenung sembari memerhatikannya. Giandra yang sadar tengah kuperhatikan pun mengerutkan dahi, ia lalu bertanya, "Gayatri? Ada apa?"

"Eh? Tidak ada apa-apa." Dengan kikuk aku meresponsnya. "Namanya Cakra, ya? Ia lucu sekali, sangat menggemaskan."

Kami pun akhirnya berbincang-bincang, saling bertukar cerita dan kabar selama tiga tahun terakhir. Giandra bercerita, katanya saat ia tinggal di Jagaraga dahulu ada perempuan cantik yang menarik hatinya dan perempuan tersebut adalah istrinya sekarang. Ia menceritakan banyak hal kepadaku, tetapi tidak dengan alasannya pergi meninggalkan Pajang. Di tengah perbincangan kami, seorang wanita datang menghampiri kami. Rupanya ia adalah Iswari, istri Giandra.

Ini benar-benar lucu! Lima belas tahun kami berteman, kemudian Giandra pergi meninggalkan Pajang dan kami tidak bertukar kabar selama tiga tahun, lalu tiba-tiba saja kami kembali dipertemukan dengan cara yang tak pernah kuduga sebelumnya. Skenario kehidupan yang telah ditetapkan oleh Sang Hyang Widhi selalu memberikanku kejutan. Jika reinkarnasi itu nyata, di kehidupanku selanjutnya aku ingin menuliskan kisahku dan Giandra agar dunia tahu bahwa Sang Pencipta sudah menggariskan banyak hal yang tidak bisa ditebak oleh pemikiran manusia. Hanya perlu mengikuti alur dan membiarkan semesta bekerja karena semesta memiliki caranya sendiri untuk membawa manusia menuju takdir kehidupannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun