Giandra memasuki area pekarangan rumahku dan bertanya, "Di mana dayang-dayangmu? Rumahmu sepertinya sepi sekali."
"Para dayang sedang menemani ibunda di sawah. Aku sendirian di rumah, makanya aku memilih untuk menunggu di sini." Jawabanku itu berhasil membuat Giandra membulatkan mulutnya. "Giandra, kenapa kau bisa cepat sekali tiba di Pajang? Bukankah jarak antara Pajang dan Trowulan cukup jauh?"
Ia terkekeh dan membalas, "Aku bahkan belum sempat tiba di Trowulan. Saat aku dan rombongan tiba di Daha, kami mendapat kabar bahwa panggilan tersebut dibatalkan. Entah apa alasannya, ayahanda tak ingin memberitahuku. Oleh karena itu, pedati yang kami naiki langsung memutar balik arah tujuan dan kembali ke Pajang."
"Oh, begitu." Pantas saja ia bisa kembali lebih cepat dari perkiraan. Ternyata pedati yang dinaikinya memutar arah tujuan ketika tiba di Daha.
Ah, aku lupa menjelaskannya kepada kalian. Giandra dan ayahnya adalah citraleka yang mengabdikan diri pada Kerajaan Majapahit. Kemampuan mereka dalam mengukir dan membuat prasasti tak perlu diragukan lagi. Beberapa hari yang lalu mereka mendapatkan panggilan dari Trowulan untuk bekerja di sana, tetapi tiba-tiba saja panggilan tersebut dibatalkan.
Terjadi kecanggungan di antara aku dan Giandra. Kami sama-sama larut dalam pikiran masing-masing. Sekilas aku melirik ke arahnya dan mendapati Giandra yang tengah menatapku.
"Kenapa?" tanyaku yang kebingungan dengan maksud dari tatapannya.
"Aku sudah sering melihatmu, tetapi aku belum pernah jujur tentang hal ini kepadamu. Kau cantik, Gayatri. Parasmu seperti Dewi Srikandi." Kata-katanya tersebut berhasil membuatku tersipu malu. Dewi Srikandi, tokoh dalam wiracarita Mahabharata yang merupakan putri Raja Drupada dari Kerajaan Panchala. Dikenal sebagai sosok pejuang wanita cantik yang pandai memanah.
"Gayatri, apa kau tahu mengapa aku memilih Dewi Srikandi?" lanjutnya yang kubalas dengan sebuah gelengan, "itu karena kau telah berhasil memanah hatiku."
Sial! Bisa-bisanya Giandra mengucapkan kata-kata manis seperti itu. Dibandingkan tersipu malu, aku justru merasa geli dengan ucapannya. "Giandra, itu menggelikan. Jangan ucapkan kata-kata seperti itu lagi kepadaku."
Tawa Giandra pecah, ia bertepuk tangan karena tertawa terpingkal-pingkal. Aku pun ikut terkekeh melihatnya. Giandra memang pandai merangkai kata-kata manis. Akan tetapi, terkadang kata-katanya menggelitik perut.