Angin yang bertiup membuat beberapa helai rambutku berkibar, aku menikmati momen bersama Giandra seperti ini. Senyum manis yang terukir di wajahnya sukses membuatku tersihir dalam karismanya. Perlahan tangannya bergerak merapikan rambutku, jantungku berdebar kencang dibuatnya. Perasaan yang acap kali menyeruak saat aku sedang bersamanya. Demi Sang Hyang Widhi, aku ingin menikmatinya lebih lama lagi.
Batang pohon maja yang ada di belakang kami menjadi tempat Giandra untuk menyangga tubuhnya. Ia meraih tubuhku dan memintaku untuk menyandarkan kepalaku di bahunya. Awalnya aku menolak, tetapi Giandra memaksa. Aku pasrah dan menuruti permintaannya, kusandarkan kepalaku di bahunya. Laki-laki itu mengelus-elus kepalaku dan menatapku lekat-lekat. Capung yang beterbangan menjadi saksi kami saat ini.
"Gayatri, sebenarnya ada yang ingin aku bicarakan denganmu." Giandra kembali membuka obrolan kami.
"Apa yang ingin kau bicarakan?" balasku penasaran. Sejak kemarin aku sudah menahan-nahan rasa penasaranku.
"Aku harus pergi meninggalkan Pajang."
Kalimat yang keluar dari mulutnya berhasil membuatku terkejut bukan main. Tubuhku seolah membeku mendengar perkataannya. Pergi meninggalkan Pajang? Apa dia bercanda? Ya, dia pasti bercanda! Tak mungkin Giandra akan pergi meninggalkan Pajang, ia pasti hanya membuat lelucon! "Bercandamu tidak lucu, Giandra."
"Aku tidak bercanda. Ayahanda mendapat panggilan untuk menjadi citraleka di Jagaraga, Gayatri," jelasnya sembari menatapku, "aku dan Yunda Kusuma harus ikut ayahanda pergi ke Jagaraga."
"Ini terlalu mendadak, Giandra. Aku bahkan tidak tahu harus memberikan reaksi seperti apa untuk menanggapi ucapanmu." Air mata perlahan menggenang di pelupuk mataku. Giandra tak merespons ucapanku, ia hanya memandangiku tanpa suara. Aku belum siap jika Giandra harus meninggalkan Pajang. Jika ia benar-benar pergi, lantas siapa yang akan menemaniku nanti? Sahabat yang kumiliki hanya dirinya. Ini tidak adil!
Kami membisu, aku masih tak sanggup untuk berkata-kata, sedangkan Giandra hanya diam. Ia tahu bahwa aku butuh waktu untuk mencerna kalimatnya. Namun, aku tak mau keheningan ini terus berlanjut. Oleh sebab itu, aku pun bersuara, "Kapan kau akan pergi?"
Dengan suara pelan ia menjawab, "Tiga hari lagi aku akan pergi, Gayatri. Maaf, aku tahu ini sangat mendadak."
"Apa kepergianmu ke Jagaraga adalah alasanmu tidak jadi ke Trowulan, Giandra?" tanyaku dengan suara bergetar.