Mohon tunggu...
Eve S
Eve S Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Mengeksplorasi sejarah, arkeologi, dan budaya adalah sebuah petualangan melintasi dimensi ruang dan waktu.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Asmara di Bumi Majapahit

21 November 2020   21:32 Diperbarui: 21 November 2020   21:38 476
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Aku sedang mencari seorang citraleka yang memintaku untuk menemuinya sore ini di bawah pohon maja dekat sungai. Namun, sepertinya orang itu terlambat dalam menepati janjinya," kataku sembari mengerucutkan bibir.

Pemilik suara itu pun membalas, "Citraleka yang kau tunggu tidak terlambat. Ini masih sore hari, bahkan matahari belum membenamkan dirinya."

Aku mendengus kesal mendengarnya dan berkata, "Hentikan, Giandra. Kau terlambat, akui saja hal itu."

Giandra melipat kedua tangannya di dada, matanya menatap lurus ke depan. "Lihatlah, capung-capung itu masih beterbangan, itu tandanya ini masih sore dan aku tidak terlambat."

"Terserah. Jadi, apa yang mau kau bicarakan? Aku tebak kau mau membicarakan sesuatu yang penting sampai-sampai memintaku untuk menemuimu di sini," tuturku. Giandra mengangguk sembari mendudukkan dirinya di bawah pohon maja, kemudian menepuk-nepuk tanah yang ada di sebelahnya, bermaksud menyuruhku untuk ikut duduk di sampingnya.

"Sejujurnya aku takut buah maja yang ada di atas kita akan jatuh dan mengenai kepalaku," ujar Giandra membuka obrolan.

"Kalau kau takut, lantas mengapa kau memilih untuk duduk di sini?"

Laki-laki itu mengangkat bahunya. "Entah, aku hanya ingin berteduh. Gayatri, apa kau ingat saat kita pertama kali berjumpa dahulu? Kau sedang menangis di pinggir sungai ini karena kau mengira ibundamu pergi meninggalkanmu."

Samar-samar ingatan itu kembali muncul dalam pikiranku. Ingatan ketika aku menangis dan Giandra datang menghampiriku dengan sebuah kendi di tangannya. Saat itu aku yang masih berusia empat tahun menangis karena mengira ibunda telah pergi meninggalkanku sendirian di pinggir sungai. "Iya, aku ingat. Aku juga ingat waktu pertama kali aku datang ke rumahmu. Paman Bena memberikanku banyak sekali mainan dari tanah liat."

"Masa kecil yang indah, ya. Aku jadi teringat saat Baginda Rajasanagara melakukan kunjungan ke Pajang. Kita ikut membantu menghias alun-alun untuk menyambutnya," tambah Giandra, "oh ya, dahulu kau juga pernah jatuh dari pedati hingga kakimu terluka dan karena hal itu ayahandamu melarangmu keluar rumah hingga berbulan-bulan lamanya. Aku sangat kesepian saat itu karena aku tak memiliki teman bermain selain kau, Gayatri."

"Tidak hanya dirimu yang kesepian, tetapi aku juga," tambahku. Kenangan masa kecilku bersama Giandra rupanya selalu berhasil menjadi kenangan manis yang tak sirna oleh waktu. Kami sudah beranjak dewasa sekarang dan mulai sibuk menata hidup kami masing-masing.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun