Mohon tunggu...
Eve S
Eve S Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Mengeksplorasi sejarah, arkeologi, dan budaya adalah sebuah petualangan melintasi dimensi ruang dan waktu.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Asmara di Bumi Majapahit

21 November 2020   21:32 Diperbarui: 21 November 2020   21:38 476
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kau yang mengajakku untuk menulis kisah di bawah langit senja, apakah ini adalah akhir dari kisah kita? Tak mau orang yang lewat di sekitar sungai ini menatapku dengan tatapan iba karena melihatku menangis, aku pun beranjak menjauh dari pohon maja tersebut dan pulang ke rumah. Bisa saja aku mendatangi rumah Giandra dan meminta penjelasan kepadanya, tetapi tubuhku sudah terlalu lemas setelah mendengar ucapannya tadi. Sesampainya aku di rumah, dayangku yang bernama Kirana langsung menyambutku, ia terkejut ketika mendapati wajahku yang basah akibat air mata. "Aku tak apa-apa, Kirana. Jangan khawatirkan aku."

Hari demi hari kulalui, aku tak pernah lagi melihat atau mendengar kabar tentang Giandra. Sepertinya pertemuan kami sore itu benar-benar menjadi akhir dari kisah kami. Kira-kira bagaimana keadaan Giandra sekarang? Apakah ia sudah tiba di Jagaraga? Aku bersandar di jendela kamar, memandang keluar dengan tatapan kosong. Pikiranku masih dipenuhi olehnya. Sesekali ia datang ke dalam mimpiku penaka tokoh yang tak ingin dilupakan. Sungguh, Giandra, bagaimana mungkin aku melupakanmu?

Waktu terus berputar, tak terasa sudah tiga tahun sejak pertemuan terakhir aku dengan Giandra. Hari ini aku dan rombongan dari Pajang tiba di Trowulan, ayahanda diminta untuk mewakili Pajang atas perintah Rajasaduhiteswari sang Bhre Pajang. Aku turun dari pedati dengan hati-hati, takut jika kejadian beberapa tahun yang lalu kembali terulang. Trowulan, kota metropolitan yang tak pernah sunyi, selalu ramai tiap harinya. Aku tidak mau menyia-nyiakan kesempatanku di Trowulan. Maka dari itu, setelah beristirahat sejenak di tempat penginapan yang telah disediakan, aku pun memutuskan untuk berkeliling Kota Trowulan.

Bangunan berbahan dasar batu bata merah mendominasi wilayah pemukiman di Trowulan. Aku baru saja melewati Gapura Bajang Ratu yang merupakan gerbang belakang dari pusat Kerajaan Majapahit sekaligus tempat pendharmaan raja kedua Majapahit, yakni Jayanegara. Ini masih sepertiga hari, panas matahari belum begitu terik. Suara riuh yang terdengar dari arah pasar menarik perhatianku. Pasar di Trowulan tak jauh berbeda dengan pasar di Pajang, hanya saja pasar di sini sedikit lebih ramai jika dibandingkan dengan pasar di Pajang, bahkan menjelang siang pun masih banyak pembeli yang sibuk tawar-menawar dengan para penjual. Entah apa yang membawaku untuk memasuki pasar lebih dalam, kakiku melangkah tanpa perintah. Ada banyak yang dijual di pasar ini, mulai dari sayur-sayuran hingga makanan seperti kue wajik.

Hasrat untuk membeli kue wajik muncul, aku berjalan mendatangi sang penjual, tetapi sebuah suara mengambil atensiku.

"Gayatri?"

Aku tersentak saat melihat orang yang baru saja menyebut namaku. Laki-laki bertubuh tegap bersama seorang anak kecil yang kuperkirakan baru berusia satu tahun dalam gendongannya. Ia menatapku dan tersenyum, kemudian melanjutkan ucapannya, "Rupanya memang benar kau adalah Gayatri. Sudah lama kita tidak berjumpa."

"Giandra? Kenapa kau ada di sini?" balasku yang terkejut dengan kehadirannya. Bukankah Giandra ada di Jagaraga?

Ia terkekeh dan menjawab, "Aku pindah ke Kumeper beberapa bulan yang lalu dan sekarang aku tengah menemani istriku berbelanja di Pasar Trowulan. Oh iya, Gayatri, ini anakku, namanya Cakra."

Istri? Anak? Giandra sudah menikah? Tunggu ... jadi, ia menikah di Jagaraga? Aku masih termenung sembari memerhatikannya. Giandra yang sadar tengah kuperhatikan pun mengerutkan dahi, ia lalu bertanya, "Gayatri? Ada apa?"

"Eh? Tidak ada apa-apa." Dengan kikuk aku meresponsnya. "Namanya Cakra, ya? Ia lucu sekali, sangat menggemaskan."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun