Alhamdulilah, pemimpin perusahaan itu bermurah hati, memberi tumpangan pada Ica, Danar dan mamanya.
Hari terus berganti. Penerimaan siswa barupun dimulai. Ica semakin sedih, saat nilai akhirnyapun tak mampu membuatnya lolos lewat jalur prestasi ke sekolah terdekat rumahnya.
Walau dia termasuk murid terpandai di peringkat lima besar di kelasnya, nilai akhir akademiknya termasuk kecil. Ica melihat sang mama tampak begitu serius melihat list di daftar penerimaan siswa baru. Hatinya menjadi sedih sekali, melihat wajah sang mama yang tampak lelah sekali.
"Kalo nggak bisa diadu, ya sudah Maa!" ujar Ica bergetar.
"Jalur prestasi sepertinya nggak bisa, Neng! Nanti kita usaha lewat jalur lain, ya?" sahut Mama Ica menyemangati, "masih ada jalur KJP dan PIP, kan? Bismillah...," kata Mama Ica penuh harap.
"Iya, Ma!" sahut Ica semangat.
"Mama berangkat nguli dulu, ya?" kata Mama Ica sambil meraih kunci motor bututnya, "titip adikmu, kalo sudah bangun, kamu kasih susu...!" ujarnya lagi sambil mengusap kepala Ica.
"Iya Ma, hati-hati!" sahut Ica seraya mencium punggung tangan sang mama.
*****
Hari berganti hari, saat jalur afirmasi dimulai. Ica kembali shock, karena jalur ini mengambil sistem zonasi. Lokasi rumahnya berada di area zonasi prioritas tiga. Tak ada satu sekolahanpun yang menempatkan posisinya di zonasi prioritas  satu atau dua.
Ica menarik napas berat. Harapannya untuk bisa sekolah negeripun lenyap. Jalur afirmasi lewat begitu saja. Hingga jalur zonasipun, Ica dan sang mama semakin sesak napas.