"Duh, ada ini jaraknya dua puluh kilo meter, ditempuh dengan dua kali naik jaklinko dan sekali naik busway!" kata Mama Ica akhirnya.
"Yaudah ambil!" kata Ica tanpa pikir banyak.
"Neng?" tanya Mama Ica tampak bingung.
"Ma, ini hari terakhir pepedebe, kalo nggak sekarang, Ica nggak bisa sekolah di negeri. Ica tahu Mama khawatir, tapiii, tolong doakan saja, Ica bisa selamat dan sehat trus. Ica nggak mau makin membebani Mama semakin berat. Adik juga sebentar lagi akan sekolah. Biayanya dibagi-bagi, Ma!" kata Ica membuat sang mama yakin.
Mama Ica memeluk sang putri dengan terharu. Dia mengusap rambut putrinya dengan sayang.
"Kita ambil satu ini aja ya, Neng! Kalo kamu kegeser, berarti ya..., nasibmu harus sekolah di swasta!" kata Mama Ica sambil mulai mendaftar di salah satu sekolah lanjutan tingkat pertama.
Ica mengangguk pasti. Saat mulai tampak namanya di urutan ke tujuh dari 12 siswa yang terdaftar dia menarik napas lega.
"Bismillah!" desisnya sambil memeluk tubuh sang mama.
"Ya, bismillah!" sahut Mama Ica bergetar.
Pikirannya mulai kalut dengan jarak tempuh sekolah Ica nantinya. Putri sulungnya itu terlalu kecil, untuk naik turun transportasi. Mama Ica menangis dalam hati.
Dia menangisi nasib anak-anaknya, yang kehilangan ayah. Tak ada tempat untuk dirinya bertukar pikiran. Tak ada sanak saudara yang perduli akan nasib kedua anaknya.