Ica yang sedang berdiri di balik dinding kelas, mendengar jelas ucapan salah satu orang tua temannya itu. Tangannya mengepal keras. Hatinya sangat sedih.
"De, Mama masih rapat, kita turun ke bawah, ya?" ajak Ica kepada Danar yang ingin bertemu sang ibu.
Bocah berusia empat tahun itu, mengangguk. Dia menarik tangan Ica untuk segera menjauhi kelas. Danar bisa merasakan kesedihan hati sang kakak. Mata Ica sempat memerah dan dia mengusap air matanya yang sudah mengalir.
"Akak jangan sedih, Ade dan Mama sayang Akak looh!" hibur Danar sambil membalas genggaman tangan Ica.
Ica hanya mengangguk dengan senyuman terpaksa. Dia berusaha tegar menerima kenyataan ini.
"Alhamdulilah kita sampai rumah!" seru riang Mama Ica seraya mematikan mesin motor matiknya.
"Iya alhamdulillah, motornya nggak mogok juga, hihi..." celetuk Danar sambil turun dari motor.
Mama dan Ica tersenyum geli mendengar celotehan lucu Danar.
"Iya, motornya ngertiin keadaan kita!" sahut Mama Ica sambil menjetik hidung bangir Danar yang masih tersenyum lucu.
"Neng, jangan dengarkan komentar miring orang-orang tentang penolakan sertifikat lombamu, ya! Pengalaman menang lomba itu nggak lantas jadi sia-sia, kok! Sertifikatnya memang tidak membawa kamu lewat jalur prestasi, tapi pengalamanmu di lomba itu, akan menempa dirimu dan itu sangat berharga!' kata Mama Ica sambil merangkul pundak Ica hangat.
Mereka segera masuk ke rumah, setelah Ica berhasil membuka gembok rumah, tempat mereka menumpang. Yah, sejak ayah Ica meninggal dunia empat tahun lalu, mereka diperbolehkan menumpang di salah satu mess sebuah perusahaan, tempat almarhum sering dicharter membawa barang ke luar kota.