Mohon tunggu...
Ermawaty Ermawaty
Ermawaty Ermawaty Mohon Tunggu... Dosen - Pejuang pendidikan

Saya ingin membantu perkembangan di dunia pendidikan dan membantu anak spesial untuk mendapatkan pendidikan yang sesuai

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Cahaya di Hatiku

17 Juni 2019   11:04 Diperbarui: 17 Juni 2019   11:22 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Cahaya di Hatiku

"Hentikannnnn!!!!!"

Kelopak mataku tersingkap. Gelap. Yang terdengar hanya nafas memburu. Jantungku berdegup kencang. Aku mulai merasakan basah di badanku karena keringat. Air mata di wajahku terasa hangat.

Kupejamkan mataku. Mencoba mengatur nafasku agar kembali normal. Kuusap air mata dengan tanganku yang dingin dan bergetar.

Ternyata aku bermimpi lagi. Mimpi yang sama. Mimpi yang sangat menakutkan. Mimpi yang terus mengguncang jiwaku. Yang terus memaksa aku untuk melakukan sesuatu. Sesuatu yang aku sendiri tidak tahu sehingga membuat aku merasa sangat tidak berdaya.

Aku bangkit dari tempat tidur. Merasa lemas sekujur tubuh. Aku duduk di tepi ranjang. Tiba-tiba, kegelapan di sekelilingku seakan menghantarkan gelombang ketakutan yang menghantam jiwaku dengan keras sehingga aku tak kuasa lagi menahan tangisku, yang pecah untuk kesekian kalinya.

Semua berawal dari kejadian seminggu yang lalu....

Pagi itu, seperti biasa, aku berangkat ke sekolah. Aku adalah mahasiswa magang yang ditugaskan untuk mengajar selama 3 bulan di sebuah sekolah di daerah yang cukup terpencil. Sekolah ini hanya memiliki 2 guru. Aku dan seorang guru lokal. Sebenarnya guru lokal ini tidak pernah mendapatkan pendidikan guru. Dia hanya seseorang yang dipercaya untuk mengajar di sekolah tersebut. Aku dengar, sebelumnya ada guru yang berasal dari luar daerah, yang mengajar di desa ini, namun kebanyakan tidak betah.

Aku adalah seorang yang suka mengajar dan sangat mencintai alam. Sejauh ini saya menikmati mengajar anak-anak desa yang masih lugu ini. Berada di daerah terpencil sungguh sebuah pengalaman yang luar biasa bagi aku. Menikmati alam yang masih asri, langit yang indah, udara pagi yang segar, suara burung.....ahhhh....bagaikan di surga.

Masyarakat di desa kecil ini juga sangat ramah sehingga membuat aku merasa betah di sini. Mereka menyambut kedatanganku seperti seorang keluarga yang baru pulang dari tempat jauh. Aku sangat dibantu untuk segala sesuatu yang aku butuhkan. Walaupun segala sesuatu sangat sederhana, berbeda dengan di kota, namun aku merasa apa yang aku butuhkan tercukupi.

Untuk mencapai sekolah, aku harus berjalan sekitar 15 menit. Sebelum sampai ke jembatan, biasanya aku akan melewati kebun milik kepala desa.

Di kebun kepala desa, ada beberapa ibu yang aku sapa tiap pagi. Mereka adalah para pekerja di kebun kepala desa. Tapi....pagi itu tidak terlihat seorangpun yang bekerja di kebun. Aku mencoba mencari-cari dengan mataku. Mungkin saja ada yang sedang berdiri di balik pohon. Namun karena tidak melihat seorangpun, aku berpikir, mungkin hari ini mereka ada kegiatan lain. Aku pun beranjak.

Saat itulah aku melihat, di sudut yang agak jauh dari kebun, ada beberapa orang sedang berkumpul. Terkadang terdengar suara mereka saling berteriak. Karena penasaran, saya mendekati mereka.

"Bunuh saja!"

"Jangaannnnn...!!!"

Semakin dekat, nyaliku semakin ciut. Kata-kata yang samar terdengar, sangat menakutkan. Tapi rasa penasaran ini....

Aku melongo melihat apa yang terpampang di depanku.

Pak Kepala Desa, yang sangat ramah dan baik itu, dalam posisi berjongkok, sedang memegang rahang seorang anak kecil. Mulut anak tersebut mengeluarkan banyak darah. Anak tersebut sepertinya sudah tidak sadarkan diri. Badannya terkulai di tanah. Bahasa tubuh Pak Kepala Desa, bukan dalam posisi sedang menyelamatkan anak tersebut. Ada pisau berlumuran darah di tangannya yang lain!

Tidak jauh dari posisi kepala desa, aku melihat salah satu ibu pekerja di kebun kepala desa. Dia terduduk di tanah. Satu tangannya sedang berusaha meraih anak kecil tersebut namun ia ditahan oleh beberapa orang. Ia sedang menangis tapi suaranya sudah tidak terdengar. Rambutnya berantakan.

Aku merinding. Ada apa ini?

"Eh, ada Bu Guru." Sebuah suara menyentak rohku yang seakan sempat melayang, mengembalikan kesadaran diriku.

Semua yang ada di situ melihat kepadaku. Aku mulai panik, namun bergeming. Menatap mereka satu per satu.

Pak Kepala Desa melepaskan anak tersebut. Dia bangkit dari jongkoknya. Masih dengan pisau di tangannya. Mendekati aku. Aku menelan ludah. Jantungku berdegup kencang.

"Selamat pagi Bu Guru," senyum ramah yang biasa kulihat di wajah Pak Kepala Desa kembali tersungging, namun kali ini membuat aku merasa mual, "Berangkat ke sekolah ya? Apakah ada yang perlu dibantu?"

Di belakang Pak Kepala Desa, aku melihat sang ibu merangkak mendekati anaknya dan memeluknya sambil menangis.

Tanpa sadar, jari tanganku menunjuk anak tersebut.

"Oh, maaf, mungkin ini mengejutkan Bu Guru ya," Pak Kepala Desa berujar dengan santainya, "Ini adalah ritual di desa kami untuk membantu anak anak yang lahir cacat. Kami sedang berusaha melepaskan kutukannya."  Sebuah batu besar terasa menimpa kepalaku!

Sejak itu sampai pagi yang dingin ini, kepalaku selalu berdenyut setiap kali teringat kejadian itu. 

Air mataku sudah kering. Aku merasa haus. Aku meraba meja di samping tempat tidur, mencari lilin. Listrik di desa ini hanya tersedia selama 4 jam. Dari jam 6 hingga 10 malam.

Mataku berkejap-kejap saat lilin dinyalakan. Kegelapan sebelumnya mulai sirna. Aku mulai bisa melihat benda benda di kamarku karena cahaya lilin.

Sebuah pemikiran tiba-tiba hadir di benakku.

Cahaya!

Ya! Cahaya!

Rasanya aku ingin memeluk seseorang saat mendapatkan pencerahan ini. Oh Tuhan, terima kasih telah menjawab doaku!

Aku melirik jam tanganku. Sepertinya waktunya cukup untuk berbicara dengan Pak Kepala Desa sebelum aku pergi ke sekolah. Aku pun bersiap-siap.

Selama seminggu ini, aku telah berusaha mengumpulkan informasi dari orang-orang di desa terkait cerita 'kutukan' ini. Aku sangat berhati-hati meminta mereka bercerita. Aku tidak mau gegabah sebagai orang luar yang hanya tinggal sementara di desa ini. Aku tahu pasti apa yang mereka lakukan itu salah, namun itu adalah praktek yang telah mereka lakukan dan percaya selama bertahun-tahun lamanya, sejak nenek moyang mereka. Walaupun mereka sangat menghormati aku sebagai seorang guru, aku harus menjelaskan hal ini tanpa membuat mereka merasa aku telah merendahkan kepercayaan mereka selama ini.

Aku bisa saja cuma diam tapi itu bukanlah aku. Aku adalah seorang guru. Tugasku adalah memberikan pengetahuan yang benar. Aku tersentak! Apakah...apakah mungkin ini salah satu penyebab guru-guru di sekolah selalu berganti-ganti? Apakah mereka juga mengalami hal yang sama denganku, lalu pergi? Apakah pernah ada guru yang mencoba menjelaskan pada mereka? Oh, apa yang terjadi pada mereka?

Aku terus menerus dihantui kejadian ini, yang seakan memaksa aku untuk melakukan sesuatu, bagi anak-anak cacat yang ada di desa ini. Tubuh mereka yang berdarah-darah memanggil-manggil aku terus di dalam mimpiku. Mimpi itu terus membayangi aku bahkan setelah aku bangun. Aku tidak bisa terus begini.

Aku sangat prihatin saat mendengar cerita mereka. Kepala desa dianggap orang 'sakti' yang dapat membebaskan 'kutukan' yang ada pada anak cacat. Apapun yang dilakukan kepala desa, akan dianggap sebagai usaha menyelamatkan anak cacat. Konon, ada anak cacat yang berhasil disembuhkan dan menjadi normal kembali karena 'kutukan' berhasil dilepaskan kepala desa. Tapi tidak ada seorangpun yang benar-benar melihat fakta itu.

Jika ada anak yang meninggal karena praktek yang dilakukan kepala desa, dia tidak akan dianggap bersalah. Anak itu akan dianggap meninggal karena 'kutukan' yang ada pada dirinya. Kepala desa malah semakin dihargai karena keluarga tersebut tidak lagi menanggung malu memiliki anak terkutuk.

 Langkah kakiku terasa berat saat aku mulai mendekati rumah kepala desa. Pikiranku berkecamuk. Tiba-tiba ada dua suara yang berbicara di kepalaku. Yang satu, meminta aku agar meneruskan perjalanan ke sekolah. Tidak perlu ikut campur. Aku hanya berada di sini selama 3 bulan. Aku tidak akan bisa mengubah apapun. Namun suara yang lain membantah keras, justru keberadaan aku di sini ada tujuannya, yaitu mengubah apa yang salah selama ini di desa ini.

Aku menghentikan langkah tepat di depan kebun kepala desa. Para ibu pekerja sedang bekerja, termasuk ibu yang anaknya 'diobati' kepala desa seminggu yang lalu. Aku menyapa mereka, berjalan menyusuri kebun, menuju rumah kepala desa.

"Silakan duduk, Bu Guru."

"Terima kasih, Pak."

Aku berdoa dengan singkat di dalam hati. Pak Kepala Desa sedang tersenyum, menunggu aku berbicara. Aku menghela napas.

------------

Langit mulai gelap. Aliran listrik sudah ada. Aku mulai mengoreksi tugas murid-muridku. Tapi aku sulit berkonsentrasi. Teringat percakapan tadi pagi dengan kepala desa.

"Bu Guru yakin tidak takut jika kutukan itu menimpa Bu Guru?"

"Yakin sekali, Pak. Tolong ijinkan saya mengajar mereka."

"Tapi Ibu juga mengajar di sekolah. Kami kuatir jika kutukan itu menimpa anak kami yang di sekolah melalui Ibu."  

Denyut di kepalaku semakin kencang.

"Saya akan selalu 'menyucikan diri' setiap kali selesai mengajar anak yang cacat, dan sebelum pergi ke sekolah. Saya berjanji."

"Ibu harus bersumpah."

"Baiklah, saya bersumpah."  

Di desa ini, ada ritual 'menyucikan diri' jika sengaja atau tanpa sengaja berhubungan dengan orang cacat. Aku terpaksa melakukannya agar bisa membantu anak-anak cacat itu.

Dua suara kembali berbicara di kepalaku.

Dasar bodoh! Mengapa menambah pekerjaan kamu? Mengapa tidak kamu nikmati alam saja selama waktumu yang singkat di sini? Mengapa harus kamu habiskan untuk anak cacat yang sama sekali bukan tanggung jawab kamu? Tanggung jawab kamu hanya di sekolah!

Hei! Itu adalah keputusan yang luar biasa! Sebuah bukti bahwa kamu benar-benar adalah seorang guru! Berikan cahaya pada mereka yang sedang dalam kegelapan! Buat mereka sadar apa yang salah selama ini!

Aku mencoba mengabaikan pertikaian kedua suara ini sambil terus menyelesaikan pekerjaanku. Aku sudah bersumpah kepada kepala desa. Besok aku akan mulai mengajar anak-anak yang cacat, setelah aku selesai mengajar di sekolah. Aku akan mengunjungi rumah mereka satu per satu. Aku sudah membuat daftar anak-anak cacat yang ada di desa ini. Tidak banyak jumlahnya, namun jarak rumah mereka berjauhan semua. Aku menyusun jadwal kunjungan agar tidak mengganggu kegiatan utama aku di sekolah. Aku harus mempersiapkan diriku dengan baik.

Walaupun aku tidak tahu apa yang akan aku hadapi besok, aku tidak akan mundur. Aku mungkin akan kewalahan mengajar anak-anak yang cacat karena aku sama sekali tidak memiliki keahlian untuk mengajar mereka. Aku hanya tahu bahwa aku ingin mengasihi mereka. Aku tidak ingin mereka merasakan kegelapan di sepanjang hidup mereka. Aku harus dengan perlahan mencoba meyakinkan orang-orang di desa ini bahwa orang cacat bukanlah orang yang dikutuk. Mereka adalah ciptaan Tuhan, hanya dengan kondisi yang berbeda. Aku ingin mereka tahu bahwa orang cacat bisa melakukan sesuatu di dunia ini. Pasti ada sesuatu yang bisa mereka lakukan. Mereka juga bisa menjadi cahaya bagi desa ini, bagi dunia ini.

Aku tersentak! Aku baru saja menyadari, kejadian ini.... sebenarnya telah menyalakan sebuah cahaya di hatiku sendiri! Sebuah cahaya yang menuntun aku ke arah mana aku harus melangkah dalam hidupku! Oh sungguh, aku merinding!

Aku bahkan belum mulai mengajar anak-anak cacat itu, namun mereka sudah terlebih dahulu memaksa aku untuk belajar memberi makna pada hidupku. Apa yang ingin aku tinggalkan bagi dunia ini saat aku meninggal nanti? Ini akan menjadi pertanyaan sepanjang umurku, selama hidupku.

Dengan khusyuk, aku berdoa malam ini. Wahai cahaya, tetaplah menyala saat aku berada dalam keadaan sesulit apapun. Ingatkan aku selalu untuk melakukan hal yang benar. Aku percaya Tuhan pasti akan menolongku.

Hari yang sangat melelahkan. Semoga tidak ada lagi mimpi buruk. Tepat saat listrik padam, aku pun terlelap.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun