Pak Kepala Desa melepaskan anak tersebut. Dia bangkit dari jongkoknya. Masih dengan pisau di tangannya. Mendekati aku. Aku menelan ludah. Jantungku berdegup kencang.
"Selamat pagi Bu Guru," senyum ramah yang biasa kulihat di wajah Pak Kepala Desa kembali tersungging, namun kali ini membuat aku merasa mual, "Berangkat ke sekolah ya? Apakah ada yang perlu dibantu?"
Di belakang Pak Kepala Desa, aku melihat sang ibu merangkak mendekati anaknya dan memeluknya sambil menangis.
Tanpa sadar, jari tanganku menunjuk anak tersebut.
"Oh, maaf, mungkin ini mengejutkan Bu Guru ya," Pak Kepala Desa berujar dengan santainya, "Ini adalah ritual di desa kami untuk membantu anak anak yang lahir cacat. Kami sedang berusaha melepaskan kutukannya." Â Sebuah batu besar terasa menimpa kepalaku!
Sejak itu sampai pagi yang dingin ini, kepalaku selalu berdenyut setiap kali teringat kejadian itu.Â
Air mataku sudah kering. Aku merasa haus. Aku meraba meja di samping tempat tidur, mencari lilin. Listrik di desa ini hanya tersedia selama 4 jam. Dari jam 6 hingga 10 malam.
Mataku berkejap-kejap saat lilin dinyalakan. Kegelapan sebelumnya mulai sirna. Aku mulai bisa melihat benda benda di kamarku karena cahaya lilin.
Sebuah pemikiran tiba-tiba hadir di benakku.
Cahaya!
Ya! Cahaya!