Mohon tunggu...
Ermawaty Ermawaty
Ermawaty Ermawaty Mohon Tunggu... Dosen - Pejuang pendidikan

Saya ingin membantu perkembangan di dunia pendidikan dan membantu anak spesial untuk mendapatkan pendidikan yang sesuai

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Cahaya di Hatiku

17 Juni 2019   11:04 Diperbarui: 17 Juni 2019   11:22 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Rasanya aku ingin memeluk seseorang saat mendapatkan pencerahan ini. Oh Tuhan, terima kasih telah menjawab doaku!

Aku melirik jam tanganku. Sepertinya waktunya cukup untuk berbicara dengan Pak Kepala Desa sebelum aku pergi ke sekolah. Aku pun bersiap-siap.

Selama seminggu ini, aku telah berusaha mengumpulkan informasi dari orang-orang di desa terkait cerita 'kutukan' ini. Aku sangat berhati-hati meminta mereka bercerita. Aku tidak mau gegabah sebagai orang luar yang hanya tinggal sementara di desa ini. Aku tahu pasti apa yang mereka lakukan itu salah, namun itu adalah praktek yang telah mereka lakukan dan percaya selama bertahun-tahun lamanya, sejak nenek moyang mereka. Walaupun mereka sangat menghormati aku sebagai seorang guru, aku harus menjelaskan hal ini tanpa membuat mereka merasa aku telah merendahkan kepercayaan mereka selama ini.

Aku bisa saja cuma diam tapi itu bukanlah aku. Aku adalah seorang guru. Tugasku adalah memberikan pengetahuan yang benar. Aku tersentak! Apakah...apakah mungkin ini salah satu penyebab guru-guru di sekolah selalu berganti-ganti? Apakah mereka juga mengalami hal yang sama denganku, lalu pergi? Apakah pernah ada guru yang mencoba menjelaskan pada mereka? Oh, apa yang terjadi pada mereka?

Aku terus menerus dihantui kejadian ini, yang seakan memaksa aku untuk melakukan sesuatu, bagi anak-anak cacat yang ada di desa ini. Tubuh mereka yang berdarah-darah memanggil-manggil aku terus di dalam mimpiku. Mimpi itu terus membayangi aku bahkan setelah aku bangun. Aku tidak bisa terus begini.

Aku sangat prihatin saat mendengar cerita mereka. Kepala desa dianggap orang 'sakti' yang dapat membebaskan 'kutukan' yang ada pada anak cacat. Apapun yang dilakukan kepala desa, akan dianggap sebagai usaha menyelamatkan anak cacat. Konon, ada anak cacat yang berhasil disembuhkan dan menjadi normal kembali karena 'kutukan' berhasil dilepaskan kepala desa. Tapi tidak ada seorangpun yang benar-benar melihat fakta itu.

Jika ada anak yang meninggal karena praktek yang dilakukan kepala desa, dia tidak akan dianggap bersalah. Anak itu akan dianggap meninggal karena 'kutukan' yang ada pada dirinya. Kepala desa malah semakin dihargai karena keluarga tersebut tidak lagi menanggung malu memiliki anak terkutuk.

 Langkah kakiku terasa berat saat aku mulai mendekati rumah kepala desa. Pikiranku berkecamuk. Tiba-tiba ada dua suara yang berbicara di kepalaku. Yang satu, meminta aku agar meneruskan perjalanan ke sekolah. Tidak perlu ikut campur. Aku hanya berada di sini selama 3 bulan. Aku tidak akan bisa mengubah apapun. Namun suara yang lain membantah keras, justru keberadaan aku di sini ada tujuannya, yaitu mengubah apa yang salah selama ini di desa ini.

Aku menghentikan langkah tepat di depan kebun kepala desa. Para ibu pekerja sedang bekerja, termasuk ibu yang anaknya 'diobati' kepala desa seminggu yang lalu. Aku menyapa mereka, berjalan menyusuri kebun, menuju rumah kepala desa.

"Silakan duduk, Bu Guru."

"Terima kasih, Pak."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun