PPN 12 persen, tapi membuat sebal. Naiknya PPN tidak lantas membuat bergeming pengambil kebijakan.Â
Hari-hari terakhir ini, cuitan di X di sekitar akun saya diramaikan oleh masalah Pajak Pertambahan Nilai aliasPadahal kebijakan PPN 12 persen sudah diprotes dari samping kiri dan kanan, muka dan belakang oleh berbagai pihak.Â
Saya yakin, BEM SI, petisi Netizen di medsos hingga Gen Z paham jika masalah serius sedang menghajar negeri kita.
Tentu saja rasa sebal itu tidak memicu pengambil kebijakan untuk membatalkan PPN 12 persen, yang sisa sehari lagi, 1 Januari 2025. Bertambah suramnya pemberantasan korupsi, makin tergerusnya kebebasan berbicara dan berekspresi. Bertambah beratnya beban hidup dan susahnya mendapat lapangan pekerjaan. Semuanya menjadi bahan pembicaraan publik atau netizen yang nyaris tak terkalahkan di media sosial.
Rasa sebal kian menggumpal karena belum ada bocoran dari netizen soal pembatalan PPN 12 persen. Buat sebagian orang, ini terasa kayak pukulan telak di dompet.Â
Tapi, di sisi lain, ada juga yang bilang ini hal biasa buat mendukung pembangunan negara. Pertanyaannya, PPN 12 persen ini bakal menambah beban hidup, atau sebenarnya kita saja yang sudah terlalu nyaman sama tarif lama, misalnya, dari berbagai sisi biar nggak asal ngegas saja.
Jadi, kenapa sih PPN harus dinaikkan?Â
Begini, pemerintah punya alasan jelas kenapa PPN dinaikkan. Katanya, ini salah satu cara buat nambah pemasukan negara. Logikanya simpel. Jika pendapatan pajak makin banyak, duit itu bisa dipakai buat bangun infrastruktur, biayain pendidikan, bikin layanan kesehatan lebih mantul, dan program lain yang katanya penting buat kita semua.
Katanya PPN 12 persen bukan buat beras, telur, minyak goreng, dan kebutuhan pokok lainnya. Masalahnya publik terlanjur nggak percaya jika pemerintah menaikkan PPN.Â
Ah, jika sudah menaikkan PPN jadi 12 persen, perlahan-lahan juga bakal menyenggol harga kebutuhan pokok ikut naik.
Namun, kenyataan yang lain juga di lapangan nggak segampang itu. Yang orang-orang rasakan cuma satu: harga barang merangkak jadi mahal.Â
Contohnya, jika orang beli barang yang tadinya kena pajak 10 persen, sekarang kena 12 persen. Memang cuma menambah 2 persen, tapi jika belanja banyak, lama-lama terasa juga kan? Apalagi buat orang-orang yang gajinya pas-pasan.
Lalu, dampak kenaikan PPN dalam keseharian. Sekarang, kita lihat nih, kenaikan PPN ini ngefek bagaimana buat kehidupan sehari-hari.
Tapi, baru kemarin saya merenung sedikit lebih gelisah. Orang-orang kecil terutama rumah tangga miskin akan berlipat-libat beban hidupnya saat PPN 12 persen diberlakukan yang secara perlahan-lahan memberi efek pada kenaikan harga kebutuhan pokok.Â
Bisa saja kita menganggap peristiwa semacam itu sebagai angin lalu.
Mendukung atau meyakinkan masyarakat dengan gaya persuasif: "Nggak apa-apa, kan sudah disetujui oleh DPR. Tinggal dijalankan pemerintah, kok wong sudah tertulis dalam peraturan perundang-undangan tentang PPN 12 persen." Iya, komentar netizen di X memang belum sepenuhnya membaca utuh aturan main secara tertulis seputar PPN 12 persen. Jika dibaca secara sepintas dan hanya memindahkan isu dari mulut ke mulut jauh lebih asal bunyi.
Pada taraf tertentu, cara berpikir tersebut biasa-biasa saja dan belum paham karena belum membaca aturan tentang mengapa PPN naik. Kita memerhatikan suatu sudut pandang yang lebih menyeluruh lagi, yaitu telaah kritis atas situasi kekinian.
Maksud saya adalah ketika pengambil kebijakan ini menaikkan PPN, maka terlebih dahulu mempertimbangkan masak-masak soal dampak yang ditimbulkannya. Kecuali memang taraf hidup masyarakat terutama orang miskin menjadi sejahtera.Â
Pendek kata, PPN 12 persen itu dilaksanakan setelah tidak ada lagi himpitan dan beban hidup yang berat.
Kebijakan mesti diletakkan di atas kehidupan sosial yang sejahtera dan memiliki kesempatan yang sama bagi setiap warga. Eh, asal jangan sekadar retorika tuan-tuan dan nyonya-nyonya di institusi pemerintah dan parlemen.
Coba bayangkan. Saya geli saja menatap cuitan-cuitan X. Saya ngoceh seperti pula netizen ngomel tak ada capeknya di medsos tatkala berbagai unggahan menampilkan cuitan di akun banyak orang yang bernada keras. Artinya, PPN 12 persen diletakkan sebagai kebijakan yang sangat membebani masyarakat umum, yang jauh lebih berat dengan alasan demi nilai milyaran hingga triliunan pendapatan negara tapi memaksakan kehendak.
Kecuali rerata taraf hidup masyarakat sudah sejahtera banget itu lain ceritanya. Begitulah PPN dinaikkan harus mempertimbangkan ini dan itu, bukan orang-orang yang ngepas bahkan untuk makan saja susah.Â
Nah, tetap nekat melaksanakan PPN 12 persen, orang-orang kecil dan miskin tidak punya kuasa. Mereka tidak bisa berkata apa-apa lagi.
Kemudian, lihat bagaimana efek kenaikan PPN 12 persen jelas bikin pusing tujuh keliling bagi lapisan masyarakat bawah. Harga kebutuhan pokok seperti beras, telur, minyak goreng, gula hingga sabun mandi turut menanjak. Coba lagi kita renungkan, uang belanja yang tadinya cukup buat sebulan, sekarang cuma dua minggu.Â
Untunglah mereka punya gaji bulanan yang lumayan untuk hidup. Lalu, bagaimana dengan orang miskin?
Terus, yang dikorbankan biasanya hal-hal yang kayak liburan, hiburan atau bahkan tabungan masa depan. Boleh dikata, jangankan kebutuhan yang tidak mendesak, beras dan lauk pauk saja sungguh berat dipenuhi oleh orang miskin.
***
Tunggu, saya percaya ejekan netizen bukan membuat huru-hara di dunia digital. Jelang akhir tahun 2024, saya sendiri masih melihat komentar tentang PPN 12 persen bertaburan di X.Â
Sudah, biarkan saja bertambah kontras dengan pebisnis dan pemerintah. Siapa tahu dengan cara itu membuat mereka lebih bahagia.
Masih lumayan jika saya hanya mensenyumi kebahagiaan semu atas garuk-garuk kepala pebisnis yang tersembunyi di balik medsos.Â
Konyolnya, kenaikan PPN ini nggak cuma bikin konsumen kerepotan, tapi juga pebisnis. Imajinasi saya beterbangan saat pebisnis kecil-kecilan jualan makanan.Â
"Masak, cuma begitu saja ngomel-ngomel? Coba lihat! Bahan baku naik harganya gara-gara PPN, otomatis biaya produksi jadi lebih mahal, bukan? Kalau Anda naikkan harga jual, takut pelanggan kabur. Tapi kalau nggak dinaikkan, Anda rugi. Nah, serba salah kan?"
Untungnya, suara kritis netizen seperti tidak garang-garang amat karena menjadi kelompok penekan yang nyata di balik dunia maya, yaitu media sosial pada pembuat kebijakan.Â
Menyangkut berhasil atau tidak tuntutan netizen itu lain soal. Yang penting atmosfir kebebasan berekspresi dan berbicara tumbuh seiring bertambahnya netizen. Kadang saya melihat netizen dengan tawa tanpa terpingkal-pingkal lantaran asal ngoceh begitu saja.
Tapi, di momen lain, netizen bagai pahlawan yang sepi banget dari sorak-sorai.
Jadi, ketika pemerintah sebagai pembuat kebijakan PPN 12 persen, muncul kesan umum tentang netizen sebagai pemrotes kenaikan PPN hanya orang-orang yang kurang kerjaan dan bernafsu pada keriuhan di medsos. Di situlah titik picu rezim kebenaran di tangan kuasa negara.
Netizen juga punya hak suara sebagaimana netizen lainnya. Mereka bukan sebatas nongkrong di medsos dan berkata: "Apa kabar sobat?"Â
Ini berbeda dengan kalimat berikut. "Hei, di mana keadilan?" "Tuh, Harvey Moeis seakan menertawai kita. 300 triliun itu kecil, cuma 6,5 tahun vonis hukumanku."
Tenang, ada netizen. "Iyalah, PPN 12 persen ramai digebukin di medsos."
Singkat kata, betapa senangnya pemerintah karena pendapatan mereka bertambah gede. Tapi, mereka harus siap sama kritik masyarakat. Banyak yang nanya. "Ini duit pajak beneran dipake buat yang penting-penting nggak sih? Jangan-jangan cuma buat proyek yang nggak jelas?"
Platform medsos apapun bentuknya, mau yang raksasa atau kelas gajah, maka celetukan netizen tidak lebih sebagai ruang kontrol atas kebijakan dan ruang gagasan. Memangnya, institusi pemerintahan saja yang bisa mengontrol warga agar taat pajak.
Di dunia medsos malah bisa melahirkan gagasan dan pemikiran. Coba Anda lakukan!
Mohon maaf, saya meletakkan banyak porsi berbicara tentang netizen dan medsos. Bukan maksud untuk menafikan ocehan seputar PPN 12 persen dari orang di warung kopi atau di kafe-kafe.
Cuma, ada jalan cerita tentang beras, telur, dan sejenisnya tidak di bawah kuasa PPN 12 persen erat kaitannya dengan peran netizen. Kenapa? Buktinya, petisi tolak PPN 12 persen lahir dari netizen. Meski bukan satu-satunya, netizen mampu membangunkan tidur panjang kita yang sudah keenakan dan kekuatannya terletak pada fungsi untuk "menjewer" telinga dan "membalsem" mata pembuat kebijakan agar memerhatikan nasib rakyat kecil. Itu saja.
Selebihnya, terserah Boy. Netizen tidak mau banyak pusing soal dari mana Anda dapat duit untuk bayar pajak.
Tapi, tiba-tiba kemudian hari saya melihat komentar begitu usil dari sebagian netizen soal terlalu pribadi seperti merek jam tangan, tas, dan barang-barang mewah bersifat pribadi lainnya. Netizen adalah netizen itu sendiri. Kita anggap netizen itu "nabi-nabi kecil" yang belum terdata di medsos. Karena kepolosannya, netizen kadang lebih gelisah dibandingkan orang-orang yang asyik di menara gading kampus.Â
Di luar itu, sudah berapa banyak diperbuat oleh netizen untuk negeri kita? Sok heroik hebat atau tidak, terserah.
Mereka bisanya memang berkoar-koar, suka nyindir, mencela, dan celetukan miring lainnya. Netizen, netizen godain kita dong!
Bandingkan saja penonton bola doyan berkomentar ini dan itu. Si Ronaldo dijanggal oleh pemain muda dari klub sebelah. Si anu kurang umpan balik ke lini tengah sehingga tidak menghasilkan gol balasan, misalnya. Tiba gilirannya penonton jadi pemain. Saya dan Anda mungkin tertawa karena melihat penonton tampak terasa kikuk dan kaku saat merumput, jangankan di stadion GBK, di stadion mini saja sudah kelabakan. Begitu pula, netizen.Â
Komentar demi komentar, nyinyir demi nyinyir dari netizen laksana pabrik kosa kata lewat medsos. Netizen sebagai pengawas yang dirindukan untuk mengawasi sang pengawas lain.
Ajaibnya, netizen seperti diawasi oleh komentar-komentarnya sendiri. Status di Facebook dan cuitan netizen di X merangkap menjadi 'menara pengawas' ala Foucault dalam wujud lain, dengan mata yang tersembunyi di balik dunia medsos.
Selanjutnya, di komentar-komentar lainnya. Lama-lama pakaian dalam teman medsosnya sendiri diambat oleh sesama netizen. He he. Sialan, betapa medsos bawa berkah juga bisa nyerempet malapetaka. Namanya juga produk teknologi, bung?
Pantaslah, pihak-pihak yang merasa nyaman dengan kenaikan PPN 12 persen tinggal tersenyum saja melihat gaya netizen yang "ngamuk" di medsos. Mana ada orang yang nyaman senyaman-nyamannya hidup ketika seorang pasang badan menolak PPN 12 persen. Anda lupa ya? Itu tuh Mbak Rieke Diah Pitaloka bersuara kritis menolak PPN naik 12 persen?
Tentu Mbak Rieke punya alasan. "Kan, beliau hanya satu dari ratusan wakil rakyat di Senayan."Â
Saya kira, mungkin sebagian anggota parlemen dadanya berkecamuk dan ada yang nginjak gas, tapi Mbak Diah justeru ngerem gas. Entah apa sebenarnya isi hati semua anggota parlemen itu yang kita tahu.
Melihat komentar netizen dan berita di X, saya sempat berfirasat "agak laen" tentang langkah reformasi pajak. Di sisi lain, kita setuju, bahwa PPN perlu dinaikkan dengan asas manfaat untuk rumah tangga miskin. Apakah orang kecil tidak semakin terbebani hidupnya?Â
Belum lagi perbandingan tarif pajak. Barangkali taklid buta tipis-tipis pada tarif PPN di negara lain tak terelakkan akan membuat kita jadi silau. Masih mending silau, kurang pede berlipat-lipat bisa memantik pikiran macam-macam.
Konyolnya lagi, Indonesia dibandingkan tarif PPN 25 persen di Denmark sama saja Swedia, misalnya. Tarif PPN negara kita sudah tentu lebih rendah daripada kedua negara tersebut.
Nyatanya, membandingkan negara kita dengan Denmark dan Swedia bagai kereta listrik dan pesawat supersonik. Tingkat kenyamanan dan ketenangan hidup bergantung pada faktor manusia.
Di sana, tarif PPN yang relatif tinggi sebanding dengan tingkat kebahagiaan seseorang dan masyarakatnya. Lain lagi, Indonesia lebih tinggi dibandingkan Vietnam dengan PPN 8 persen.
Apa sama taraf kesejahteraan antara kita dan negara-negara itu? Berbeda, kan? Jelas, saya tidak berminat untuk membicarakan tingkat kesejahteraan masing-masing negara.
Menyontek tarif PPN di negara lain tanpa mempertimbangkan faktor-faktor lain juga akan menggiring negeri ini dalam kesalahkaprahan yang agak sulit dimengerti. Ketika kita jeli dan punya telaahan yang mendalam memang ada sisi negatif dan sisi positifnya. Menyontek tarif PPN di negara lain sebagai alat pembenaran kebijakan yang cenderung berat sebelah. Kenapa pembuat kebijakan sekalian menyontek masalah PPN negara lain ternyata berbeda masalah negara kita?
Jika kita gegabah menerapkan kebijakan yang tidak populis sekurangnya akan rentan dengan beban psikososial, termasuk rakyat kecil. Tidak jauh dari rumah, sebuah warung makan dimakan pajak sebesar 500 ribu rupiah per tahun bukan main keluhannya. Saya tidak tahu berapa besar tarif pajaknya. Apalagi akan tidak terasa PPN minyak goreng dan bahan bakunya ikut merangkak naik.Â
Biarkanlah waktu akan berbicara!
Masalahnya, bukan cuma tampilan angka, tapi soal publik terlanjur ragu amat. Belum lagi dinaikkan, masyarakat sudah lihai untuk mengendus kalau duit dari PPN ditengarai sering diselewengkan. Di situlah bahayanya. Saya juga tidak bermaksud menyerukan bahwa kita harus curiga atas setiap kebijakan pemerintah. Di sini poinnya.
Pandangan dari publik atau netizen menunjukkan bahwa rasa nyaman adalah milik semua tanpa sekat-sekat. Rasa nyaman menjadi suasana ke sekian kali untuk orang kaya yang tidak terbebani PPN 12 persen. Orang kecil memandang PPN sebagai beban, orang kaya menganggap biasa-biasa saja.Â
Sementara, orang miskin atau yang ekonomi lemah untuk makan sehari atau lebih sudah lumayan menyambung hidup.
Lihatlah! Orang kaya atau pengusaha besar bisa happy karena lebih enteng mengeluarkan uang  tiga juta untuk membayar pajak. Tapi, jika nilai yang sama dikenakan pada kaum papa, ingin taruh di mana kepala kita.
Apakah orang kaya akan nyaman saat menjadi pengemplang PPN 12 persen? Saya kira, bergantung siapa orangnya.
Secara terbuka, rasa nyaman perlahan-lahan menyelinap ke pikiran yang sudah terbiasa menghadapi tantangan hidup. Naik atau tidak PPN, mereka nyaman dengan kondisi apa adanya, tanpa  polesan yang dibuat sedemikian rupa.
Standar nyaman ternyata kita yang buat. Mulai dari pikiran bahwa PPN dibuat untuk memudahkan interaksi antarsesama. Yang mampu bayar pajak bisa tulus membantu orang-orang di sekitarnya juga berharap untuk menyatukan rasa nyaman, sekalipun beban hidup menghimpit mereka.
Jika ada orang merasa nyaman itu lantaran dia mengulurkan tangan untuk membantu yang lemah di tengah asap dapur tak mengepul selama tiga hari. Bayangkan, beras dan ikan dikenakan PPN 12 persen.
Saya kira, orang yang berada dalam rasa nyaman melampaui duit dari pajak. "Astaga, banyaknya PPN 12 persen yang mesti dibayar, tapi lebih tebal rasa nyaman saat memberi sesama." Alangkah senang mereka yang terbebani bukan karena pajak, melainkan tidak mampu memberi sesama.
"Wah, wah, standar nyaman kayak ini lebih dekat memberi sesama." Konsep hidup yang nyaman memang jauh dari gaya hedonis. Hakikatnya, lelaki dan wanita materialistis justeru terbebani.
Dari titik tolak ini, PPN 12 persen hadir bukan untuk membebani hidup kita. Kata siapa? Ya, bagi orang yang ingin keluar dari beban hidup, maka perlu memberi kenyamanan bagi sesama. Caranya? Ia dirancang untuk memberi rasa nyaman bagi siapapun dan apapun bentuknya.Â
Yang pasti, hidup tanpa beban secara sadar menjadi nyaman jauh lebih penting daripada haus harta dari pajak. Kecuali orang-orang yang gemar bikin susah dan membebani sesama. Ehem!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H