Menyangkut berhasil atau tidak tuntutan netizen itu lain soal. Yang penting atmosfir kebebasan berekspresi dan berbicara tumbuh seiring bertambahnya netizen. Kadang saya melihat netizen dengan tawa tanpa terpingkal-pingkal lantaran asal ngoceh begitu saja.
Tapi, di momen lain, netizen bagai pahlawan yang sepi banget dari sorak-sorai.
Jadi, ketika pemerintah sebagai pembuat kebijakan PPN 12 persen, muncul kesan umum tentang netizen sebagai pemrotes kenaikan PPN hanya orang-orang yang kurang kerjaan dan bernafsu pada keriuhan di medsos. Di situlah titik picu rezim kebenaran di tangan kuasa negara.
Netizen juga punya hak suara sebagaimana netizen lainnya. Mereka bukan sebatas nongkrong di medsos dan berkata: "Apa kabar sobat?"Â
Ini berbeda dengan kalimat berikut. "Hei, di mana keadilan?" "Tuh, Harvey Moeis seakan menertawai kita. 300 triliun itu kecil, cuma 6,5 tahun vonis hukumanku."
Tenang, ada netizen. "Iyalah, PPN 12 persen ramai digebukin di medsos."
Singkat kata, betapa senangnya pemerintah karena pendapatan mereka bertambah gede. Tapi, mereka harus siap sama kritik masyarakat. Banyak yang nanya. "Ini duit pajak beneran dipake buat yang penting-penting nggak sih? Jangan-jangan cuma buat proyek yang nggak jelas?"
Platform medsos apapun bentuknya, mau yang raksasa atau kelas gajah, maka celetukan netizen tidak lebih sebagai ruang kontrol atas kebijakan dan ruang gagasan. Memangnya, institusi pemerintahan saja yang bisa mengontrol warga agar taat pajak.
Di dunia medsos malah bisa melahirkan gagasan dan pemikiran. Coba Anda lakukan!
Mohon maaf, saya meletakkan banyak porsi berbicara tentang netizen dan medsos. Bukan maksud untuk menafikan ocehan seputar PPN 12 persen dari orang di warung kopi atau di kafe-kafe.
Cuma, ada jalan cerita tentang beras, telur, dan sejenisnya tidak di bawah kuasa PPN 12 persen erat kaitannya dengan peran netizen. Kenapa? Buktinya, petisi tolak PPN 12 persen lahir dari netizen. Meski bukan satu-satunya, netizen mampu membangunkan tidur panjang kita yang sudah keenakan dan kekuatannya terletak pada fungsi untuk "menjewer" telinga dan "membalsem" mata pembuat kebijakan agar memerhatikan nasib rakyat kecil. Itu saja.