Mohon tunggu...
Ermansyah R. Hindi
Ermansyah R. Hindi Mohon Tunggu... Lainnya - Free Writer, ASN

Bacalah!

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Terbebani PPN 12 Persen atau Kita Sudah Terlalu Nyaman?

31 Desember 2024   19:45 Diperbarui: 5 Januari 2025   17:04 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ermansyah R. Hindi - Dokpri

Melihat komentar netizen dan berita di X, saya sempat berfirasat "agak laen" tentang langkah reformasi pajak. Di sisi lain, kita setuju, bahwa PPN perlu dinaikkan dengan asas manfaat untuk rumah tangga miskin. Apakah orang kecil tidak semakin terbebani hidupnya? 

Belum lagi perbandingan tarif pajak. Barangkali taklid buta tipis-tipis pada tarif PPN di negara lain tak terelakkan akan membuat kita jadi silau. Masih mending silau, kurang pede berlipat-lipat bisa memantik pikiran macam-macam.

Konyolnya lagi, Indonesia dibandingkan tarif PPN 25 persen di Denmark sama saja Swedia, misalnya. Tarif PPN negara kita sudah tentu lebih rendah daripada kedua negara tersebut.

Nyatanya, membandingkan negara kita dengan Denmark dan Swedia bagai kereta listrik dan pesawat supersonik. Tingkat kenyamanan dan ketenangan hidup bergantung pada faktor manusia.

Di sana, tarif PPN yang relatif tinggi sebanding dengan tingkat kebahagiaan seseorang dan masyarakatnya. Lain lagi, Indonesia lebih tinggi dibandingkan Vietnam dengan PPN 8 persen.

Apa sama taraf kesejahteraan antara kita dan negara-negara itu? Berbeda, kan? Jelas, saya tidak berminat untuk membicarakan tingkat kesejahteraan masing-masing negara.

Menyontek tarif PPN di negara lain tanpa mempertimbangkan faktor-faktor lain juga akan menggiring negeri ini dalam kesalahkaprahan yang agak sulit dimengerti. Ketika kita jeli dan punya telaahan yang mendalam memang ada sisi negatif dan sisi positifnya. Menyontek tarif PPN di negara lain sebagai alat pembenaran kebijakan yang cenderung berat sebelah. Kenapa pembuat kebijakan sekalian menyontek masalah PPN negara lain ternyata berbeda masalah negara kita?

Jika kita gegabah menerapkan kebijakan yang tidak populis sekurangnya akan rentan dengan beban psikososial, termasuk rakyat kecil. Tidak jauh dari rumah, sebuah warung makan dimakan pajak sebesar 500 ribu rupiah per tahun bukan main keluhannya. Saya tidak tahu berapa besar tarif pajaknya. Apalagi akan tidak terasa PPN minyak goreng dan bahan bakunya ikut merangkak naik. 

Biarkanlah waktu akan berbicara!

Masalahnya, bukan cuma tampilan angka, tapi soal publik terlanjur ragu amat. Belum lagi dinaikkan, masyarakat sudah lihai untuk mengendus kalau duit dari PPN ditengarai sering diselewengkan. Di situlah bahayanya. Saya juga tidak bermaksud menyerukan bahwa kita harus curiga atas setiap kebijakan pemerintah. Di sini poinnya.

Pandangan dari publik atau netizen menunjukkan bahwa rasa nyaman adalah milik semua tanpa sekat-sekat. Rasa nyaman menjadi suasana ke sekian kali untuk orang kaya yang tidak terbebani PPN 12 persen. Orang kecil memandang PPN sebagai beban, orang kaya menganggap biasa-biasa saja. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun