Nah, tetap nekat melaksanakan PPN 12 persen, orang-orang kecil dan miskin tidak punya kuasa. Mereka tidak bisa berkata apa-apa lagi.
Kemudian, lihat bagaimana efek kenaikan PPN 12 persen jelas bikin pusing tujuh keliling bagi lapisan masyarakat bawah. Harga kebutuhan pokok seperti beras, telur, minyak goreng, gula hingga sabun mandi turut menanjak. Coba lagi kita renungkan, uang belanja yang tadinya cukup buat sebulan, sekarang cuma dua minggu.Â
Untunglah mereka punya gaji bulanan yang lumayan untuk hidup. Lalu, bagaimana dengan orang miskin?
Terus, yang dikorbankan biasanya hal-hal yang kayak liburan, hiburan atau bahkan tabungan masa depan. Boleh dikata, jangankan kebutuhan yang tidak mendesak, beras dan lauk pauk saja sungguh berat dipenuhi oleh orang miskin.
***
Tunggu, saya percaya ejekan netizen bukan membuat huru-hara di dunia digital. Jelang akhir tahun 2024, saya sendiri masih melihat komentar tentang PPN 12 persen bertaburan di X.Â
Sudah, biarkan saja bertambah kontras dengan pebisnis dan pemerintah. Siapa tahu dengan cara itu membuat mereka lebih bahagia.
Masih lumayan jika saya hanya mensenyumi kebahagiaan semu atas garuk-garuk kepala pebisnis yang tersembunyi di balik medsos.Â
Konyolnya, kenaikan PPN ini nggak cuma bikin konsumen kerepotan, tapi juga pebisnis. Imajinasi saya beterbangan saat pebisnis kecil-kecilan jualan makanan.Â
"Masak, cuma begitu saja ngomel-ngomel? Coba lihat! Bahan baku naik harganya gara-gara PPN, otomatis biaya produksi jadi lebih mahal, bukan? Kalau Anda naikkan harga jual, takut pelanggan kabur. Tapi kalau nggak dinaikkan, Anda rugi. Nah, serba salah kan?"
Untungnya, suara kritis netizen seperti tidak garang-garang amat karena menjadi kelompok penekan yang nyata di balik dunia maya, yaitu media sosial pada pembuat kebijakan.Â