Apa yang ingin saya katakan di sini.Â
"Kita bikin sintesa obyektif. Gimana caranya? Yang liberal sini ya, yang sosialis Marxis juga di sini, duduk barengan. Nanti ngepuz. Eh, antum liberalis, masakan pake jamsos, pake Corporate Social Responsibility (CSR), yaitu tanggungjawab sosial perusahaan. Terus, bro sosialis komunis datang. Lu, pake pasar bebas ya? Ane punya bank, pabrik otomotif, elektronik, dan sebagainya. Semuanya punya pangsa pasar yang menggiurkan lewat ekonomi pasar. La la, bukan, bukan ekonomi komando?"
"Jadi, orang pilih mana nih? Yangg liberal rasa sosialis? Yang sosialis rasa liberal kapitalis. Logika pasar pun lagi random, teracak dan tumpang tindih. Coba kita tengok di sekitar kita!"
"Selebihnya, ya pake balutan religius. Dipoles dikit-dikit agar tidak tersesat sampai ayat-ayat laris manis bahkan jampi-jampi komoditas politik. Entahlah, wkwk."
Menurut pengakuan senior, ketika muncul diskursus dan juga ditelan waktu.Â
"Pernah terjadi diskursus teori kemakmuran antara paham ekonomi liberalis oleh Adam Smith versus paham ekonomi komunis Karl Marx." "Kebetulan. Saya punya buku klasik Adam Smith, The Wealth of Nations, Volume 1 dan 2."
"Kemarin, karena agak kepo juga, seorang teman sempat lihat-lihatin onggokan 2 (dua) volume buku di atas meja. Dan dia berkomentar. Wawuwewo. Katanya, buku itu adalah semacam buku penjelasan dari buku aslinya: An Inquiry Into the Nature and Causes of the Wealth of Nations. Sotta, sok tahu gumanku, wkwk."Â
Sesungguhnya judul itu adalah judul lengkapnya.
Saya pertama kali  "nyicipi" Capital, Volume 1 di Perpustakaan Universitas Islam Negeri Sultan Alauddin Makassar (pamer, riya' buku ni yee). Repot juga membaca The Wealth of Nations dan Capital, Volume 1 dalam teks aslinya. Padahal, saya buta huruf tentang dunia lain."
Masih ditambah pula pernyataan senior: "Perlu pengkajian metodologi dan pendekatan Muhammadiyah untuk menciptakan kemakmuran buat semua. Kajian akademiknya?"
Kemudian, saya menyambung obrolan senior.