Mohon tunggu...
Ermansyah R. Hindi
Ermansyah R. Hindi Mohon Tunggu... Free Writer, ASN

Bacalah!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Berhentilah Berdiskusi ala Orang Bijak

14 Desember 2024   15:37 Diperbarui: 30 Desember 2024   16:27 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penulis, Ermansyah R. Hindi - Dokpri

Cara terbaik untuk mengusir rasa sumpek, bete atau rasa malas melanda diantaranya berdiskusi bersama para sohib di grup WhatsApp. Ini bukan pertama kali kami brizik di grup WA

Berulang kali saya dengan teman-teman ngobrol soal apa saja. Yang penting bunyi dan tidak perlu sepi di lorong-lorong gelap kalau pertanyaan seputar kenapa kita berkumpul di jagat maya.

Khususnya di grup WA menjadi ruang diskusi yang tidak kalah serunya dengan diskusinya pak Karni Ilyas di Indonesia Lawyers Club. Atau obrolan di Mata Najwa, baik lewat tivi, kanal YouTube, TikTok dan media sosial lainnya.

Memang dalam diskusi, kami di grup WA kadangkala tergiring ke masalah yang semestinya tidak menjadi emosi karena terlalu normatif bahkan kelewat hitam putih konten pembicaraannya. Saya sadar, bahwa medsos atau WA betul-betul nyata bikin emosi. Sudah tentu, secuil saja dari teman-teman yang punya gaya seperti itu di grup WA.

Tetapi, alasan demi lebih hidupnya ruang diskusi di grup WA, ada saja jurus-jurus hantam kromo bahkan main bulldozer saat kita berdiskusi. Ya, santai dan gembira turut mewarnai diskusi kami sambil sedikit tegang, yang kerap tidak diketahui apa pemicunya. Ini diskusi lucu yang menyebalkan. Justeru sudah ramai begitu bikin kita terbebas dari rasa malas mengikuti perkembangan berita. 

Pokoknya, top banget berdiskusi bareng di grup WA.

***

Sepekan yang lalu, ada teman menggebu-gebu dalam berdiskusi. Saking hebatnya, semua pendapat yang tidak bersumber dari kitab suci atau teks agama yang sejati itu batal adanya. Kalau dilihat, argumen-argumennya tidak begitu bagaimana.

Padahal, dia agak kurang menyentuh ke substansi. Di grup WA banyak kepala, bukan pendapat dan pemikirannya saja dari satu arah. 

Begitulah. Dia mengomentari soal moderasi beragama yang diplintir ke sana dan ke mari malah bikin kita sibuk sendiri. Dianggapnya campur tangan dari paham-paham modern dari penganut agama justeru bikin hidup bisa berantakan. 

Lah, kenapa paham agama ikut terseret. Paham agama tertentu atau paham modernis menjadi biang dari kekaburan menghadapi perkembangan zaman. Berarti bukan agama dan paham penganutnya sebagai sumber masalah. Coba cek, orang per orang. Jangan sampai seseorang hanya paham tentang agama secara sepenggal-sepenggal.

Di tataran realitas, banyak penganut agama, entah itu modern atau tradisional belum memahami apa makna dan hakikat agama. Mereka mungkin belum sampai pada kualitas penghayatan agama yang dalam dan menyeluruh. 

Jangan heran, khusyu beribadah, jago korupsinya, misalnya, dan contoh-contoh lainnya dalam keseharian. Apa hubungannya? Beribadah satu kebutuhan, berperilaku  buruk juga lain.

Salah seorang teman nyeletup dan mempertanyakan tentang apa maksud dari moderasi beragama yang kebablasan. Alih-alih moderasi beragama dijadikan alasan untuk menghakimi orang-orang yang bersuara dan getol memperjuangkannya di tanah air.

Menurutnya, gara-gara moderasi beragamalah yang bikin orang jadi toleransi terlalu liar. Salah sedikit, orang atau kelompok dituding sebagai intoleran. Teman yang satu ini juga menolak kalau umat Islam dicap radikal dan teroris.

Alasannya, radikalisme dan terorisme itu buatan dari Islamophobia. Titik. Tunggu dulu. Orang-orang yang anti Islam, kata siapa? 

Banyak juga kok oknum pendakwah yang menyerukan kebencian pada kelompok keyakinan yang berbeda dengan dirinya. Kenapa jadi bertambah runyam. Kerisauhan menimpa teman itu karena umat Islam seakan terpinggirkan bahkan terzalimi oleh rezim tertentu.

Semestinya masalah itu dijawab oleh kaum mayoritas. Kita tunjukkan bahwa Islam adalah agama cinta damai, penuh kasih sayang, dan menghormati kaum minoritas, apapun agama dan golongannya. Islam sebagai agama kemanusiaan yang sangat menghargai kemajemukan dan ragam pandangan atau keyakinan. 

Jadi, dijawab dengan tindakan, bukan bibir. Agama bukan terletak pada baju dan ritual belaka, melainkan pikiran, jiwa, dan perbuatan yang terpuji.

Nah, satu tema diskusi atau lebih ini saja sudah menguras pikiran dan merangsang otak teman-teman. Rasa malas untuk tidak berbicara jadi rontok. Diakui memang tidak semua teman doyan berdiskusi.

Ada yang senangnya menyimak, intip-intip, acuh, baperan, lewat sekian jam dan hari baru menoleh ke ponselnya. Jelas, saya kira bermacam-macam gaya dan karakter teman di grup WA. Di sela-sela diskusi, ada sebagian teman nge-share video dan artikel berita berbasis onlen.

Maka, masalah yang bikin kesal teman ditanggapi oleh teman yang lain. Teman yang satu ini seorang akademisi. Dia punya banyak referensi dan rajin lakukan riset tentang toleransi agama, misalnya dan topik pembicaraan tentang moderasi beragama. Pelan-pelan jawaban atas masalah teman dari garis tidak lucu.

Terus, seorang teman akademisi sekadar menyodorkan data. 

Maksudnya, tolong dong si doi yang menolak istilah toleransi, moderasi beragama, radikal hingga teroris gunakan data. Kalau cuma ngoceh, siapa saja juga bisa melontarkan kata-kata.

Kelompok atau organisasi masyarakat Islam yang mana menyuarakan moderasi beragama? Di situ ada datanya, ya? Teman yang akademisi memajang datanya di layar grup WA. Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Al Wasliyah dan organisasi lainnya bercokol di data. Organisasi Islam berafiliasi ke mana? Muncul sekian persentase afiliasinya di beberapa daerah, dari Sumatera hingga Papua. 

Yang rilis datanya tak tanggung dari Survei Nasional Alvara Research Center, 2024. Cukup ter-update kan? Kalau ada teman yang bantah dipersilahkan dengan data.

Bercanda mengiringi diskusi. Bercanda, "sama daku." Begitu jawabku. Selanjutnya, saya mengomentari sekenanya. Data ini menunjukkan bahwa Salafi dan Jamaah Tabligh bukan organisasi Islam, iya kan? Saya berharap ada teman yang menyelah komentar saya. Ternyata tidak menarik minat teman untuk mendiskusikannya. Berarti saya gagal merangsang teman lain dalam berdiskusi. Saya hanya membatin. Kenapa ya?

Lalu, sekelebat seorang senior tanpa bayangan muncul dengan data atau konsep yang jitu. Rupanya, senior kami menawarkan gagasan kemakmuran versi Muhammadiyah, yang beberapa hari yang lalu terbit di Harian Kompas. Tak cuma itu, dia menampilkan konsep pribadi.

Agar tidak berlalu begitu saja, saya memberanikan diri untuk mengomentarinya. "Sekadar catatan kanda Suhu." Begitu panggilan akrab saya pada senior yang dituakan karena ilmunya mumpuni. 

"Cuma Indikator Religiusitas nggak bisa atau setidaknya sulit diukur?" Misalkan, jumlah atau frekuensi shalat fardhu si fulan; tingkat iman si fulan; persentase akhlak si fulan.

Apa tanggapan balik senior atas komentar saya? 

"Iya. Memang debatable. Perlu dirumuskan lagi. Paling tidak, minimal menggunakan confirmatory factor analysis, koefisien Crobanch, uji validitas, dan lain-lain."

Saya pun terpantik. "Ini lumayan kompleks. Sebaiknya, kalau boleh dibilang kelima Indikator Utama dan Kunci tersebut (indikator: input, output, outcome, impact) terukur. Sebaiknya juga ada kerangka logis. Sebab, kemewahan suatu konsep (perencanaan) terletak pada kerangka logis. 

Begitu kaya si empunya ilmu. Belum lagi validasi, verifikasi, analisis (buanyak deh) hingga falsifikasi? Sekadar zering Suhu sembari ngo, he he."

***

Apa konsep kemakmuran ala Muhammadiyah? Pertanyaan saya tujukan pada pentolan Muhammadiyah Sulawesi Selatan. 

"Lihat di link artikel berita onlen!" Kurang lebih begitu jawaban singkat dari teman. Saya segera menyimak apa konten dalam artikel berita onlen. 

Begini kalimat-kalimatnya. "Menurut Haedar Nashir, Ketua Umum PP Muhammadiyah, dalam sambutan Milad di Kupang, kalimat 'Kemakmuran untuk Semua' mencakup kondisi kehidupan yang aman, damai, sejahtera dan merata. Hal itu juga sejalan dengan cita ideal sila kelima Pancasila: Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia."

"Oo, nggak novelty lagi nih konsep Kemakmuran untuk Semua versi Muhammadiyah. Saya pingin yang lebih insightful segala tentang Kemakmuran untuk Semua versi Muhammadiyah. Saya tidak tahu, ini penafsiran ulang Muhammadiyah tentang Kemakmuran untuk Semua (KUS). Karena apa ya?"

KUS sudah nongol di Pancasila (secara tekstual, terutama Sila ke-5). KUS sudah bertengger di dokumen RPJPN (Rencana Pembanguan Jangka Panjang Nasional dan RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) malah repetitif, berulang-ulang temanya, yaitu: maju, aman, damai, sejahtera, dan merata dalam persfektif yang berbeda.

Saya jadi kepo? 

Apa cuma Profesor Haedar yang punya otoritas untuk memahami dan menafsirkan soal KUS? Saya tercenung dibuatnya, wkwk.

Dari seorang senior yang lain. Dia menerawang ke istilah ilmiah. 

Dia mengatakan: "State walfare atau society walfare?" "Pernah terjadi diskursus teori kemakmuran antara paham ekonomi liberalis oleh Adam Smith versus paham ekonomi komunis Karl Marx." "Boleh juga kanda," begitu ujarku.

Apa yang ingin saya katakan di sini. 

"Kita bikin sintesa obyektif. Gimana caranya? Yang liberal sini ya, yang sosialis Marxis juga di sini, duduk barengan. Nanti ngepuz. Eh, antum liberalis, masakan pake jamsos, pake Corporate Social Responsibility (CSR), yaitu tanggungjawab sosial perusahaan. Terus, bro sosialis komunis datang. Lu, pake pasar bebas ya? Ane punya bank, pabrik otomotif, elektronik, dan sebagainya. Semuanya punya pangsa pasar yang menggiurkan lewat ekonomi pasar. La la, bukan, bukan ekonomi komando?"

"Jadi, orang pilih mana nih? Yangg liberal rasa sosialis? Yang sosialis rasa liberal kapitalis. Logika pasar pun lagi random, teracak dan tumpang tindih. Coba kita tengok di sekitar kita!"

"Selebihnya, ya pake balutan religius. Dipoles dikit-dikit agar tidak tersesat sampai ayat-ayat laris manis bahkan jampi-jampi komoditas politik. Entahlah, wkwk."

Menurut pengakuan senior, ketika muncul diskursus dan juga ditelan waktu. 

"Pernah terjadi diskursus teori kemakmuran antara paham ekonomi liberalis oleh Adam Smith versus paham ekonomi komunis Karl Marx." "Kebetulan. Saya punya buku klasik Adam Smith, The Wealth of Nations, Volume 1 dan 2."

"Kemarin, karena agak kepo juga, seorang teman sempat lihat-lihatin onggokan 2 (dua) volume buku di atas meja. Dan dia berkomentar. Wawuwewo. Katanya, buku itu adalah semacam buku penjelasan dari buku aslinya: An Inquiry Into the Nature and Causes of the Wealth of Nations. Sotta, sok tahu gumanku, wkwk." 

Sesungguhnya judul itu adalah judul lengkapnya.

Saya pertama kali  "nyicipi" Capital, Volume 1 di Perpustakaan Universitas Islam Negeri Sultan Alauddin Makassar (pamer, riya' buku ni yee). Repot juga membaca The Wealth of Nations dan Capital, Volume 1 dalam teks aslinya. Padahal, saya buta huruf tentang dunia lain."

Masih ditambah pula pernyataan senior: "Perlu pengkajian metodologi dan pendekatan Muhammadiyah untuk menciptakan kemakmuran buat semua. Kajian akademiknya?"

Kemudian, saya menyambung obrolan senior.

 "Kayaknya, perlu ditambah epistemologi (ala Muhammadiyah ada kan? Itu tuh, Bayani, Burhani, Irfani). Mirip-mirip nama orang alias kader Muhammadiyah. He he. Juga, ontologi sampai fenomenologi?"

"Mungkin bagus juga meminjam teori ekonomi Bung Hatta dan Soemitro Djojohadikusumo untuk membedah konsep Mewujudkan Indonesia Berkemakmuran," pungkas senior.

"Beliau berdua juga "terpelezet" dengan meramu teori ekonomi liberal plus sosialis Marxis. Bedanya, keduanya tidak lupa dengan nilai atau tradisi dan sosiologi Indonesia. Bung Hatta dengan ekonomi koperasinya, Soemitro dengan ekonomi liberalnya, yang mengakui hak kepemilikan publik. Ia rada-rada juga sosialis. Waktu itu dunia kan lagi perang ideologi. Itulah latarnya. Iya kan?"

"Ini mungkin gara-gara pak Makmur? He he. Daripada  kita berdiskusi hanya satu pendapat teman paling benar, mending nggak usah diperpanjang diskusinya. Kita ambil jalan tengahnya, bagaimana? Sebaiknya antum berbicara sembari menghormati pendapat teman yang lain di grup WA. Gue benar, antum benar, sama-sama benar. Itu kan adem rasanya. Nggak ada yang salah. Kata "sebaiknya" menjadi kata bijak. Kita lebih baik tersenyum saja. Ya, sudah."

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun