Sebelum sampai pada yang lain tentang kewaspadaan pada permainan berbahaya, ada hantu dalam pikiran menggelayuti dunia nyata.
Lantas, pengetahuan tentang permainan topeng menjadi ingar-bingar politik. Descartes mengatakan:
“Pengetahuanku sering mengembara, dan ia tidak akan pernah tunduk kepada sesuatu yang menghalanginya di dalam batas-batas kebenaran. Karena itu, sekali lagi mari kita tinggalkan pengetahuan terhadap dirinya sendiri yang sepeleh, dan menurut jenis kebebasannya [mengizinkannya] untuk mempertimbangkan anggapan obyek yang memerlihatkannya dari hal yang tidak ada. Sehingga, setelah itu, ia menarik dirinya secara hati-hati dan secara kebetulan [dan tetap pada pertimbangan keberadaan dan sifat yang ditemukan dalam dirinya sendiri], maka mungkin ia lebih mudah dikontrol” (Discourse on Method, hlm. 90).
Namun demikian, sudah tentu ada ilmuwan atau ahli perotakan (neuroscientists) tidak dapat menyembunyikan kekagumannya pada ‘otak’ sebagai “benda ajaib.” Akan tetapi, mereka tetap saja berada dalam kesepian atau keheranan berlapis-lapis dan ketidakjangkauan terhadap rahasia-rahasia atau teka-teki yang menyelimuti “benda otak.”
Bagi mereka yang memiliki keyakinan akan kebenaran ilmiah memandang asal-usul pengetahuan manusia sebagai bayang-bayang jaringan sistem otak, kecuali satu sisi dari “drama otak” mendekati animasi-animasi binatang, seperti bangsa “lebah” memiliki kemampuan untuk: terbang, bertarung, melihat, mendengar, mencium, mengecap, meraba, menyentuh, membangun rumah, mengendalikan suhu, melindungi, berjalan, mengasuh berkembang biak, bekerja secara konstruktif-kooperatif dalam sebuah komunitas dengan instingnya.
Tetapi, manusia telah melengkapi dan melampauinya dengan kekuatan pengetahuan, cinta dan nafsu. Asyik, agak romantis juga nih!
Setelah Descartes, animal rationale (binatang berpikir rasional) yang ‘baru’ membantu anak-anak melalui ponsel yang kita genggam atau berselancar di jagat medsos, dimana otak jika hanya ditelaah secara fisik (fisiologi, anatomi) tidak berhubungan dengan tanda atau kode kultural.
Misalnya, bau, cecapan, panas, bukan hanya kualitas obyek eksternal melainkan juga obyek yang dapat dikodekan. Istilahnya zaman sudah berubah, bro!
Berkaitan dengan hal tersebut, Descartes mengatakan:
“Perubahan apa harus terjadi di otak untuk menghasilkan bangun, tidur, dan mimpi, bagaimana cahaya, suara, bau, rasa, panas, seluruh sifat lainnya dari benda-benda eksternal terkesan dengan ide yang berbeda dengan cara indera, bagaimana kelaparan, thrist, dan kasih sayang internal lainnya juga dapat terkesan atasnya penyelam ide; … Pada prinsip yang sama, ketika darah begitu kental yang mengalir namun hemat ke ventrikel jantung, dan tidak ada cukup melebar dari sebelumnya, yang, dikomunikasikan ke otak, untuk kemudian memberikan pengetahuan sensasi kesedihan, meskipun pengetahuan itu sendiri mungkin tidak tahu tentang penyebab kesedihannya ... IX. Bahwa jiwa merasakan hanya sejauh seperti berada di dalam otak” (Discourse on Method, hlm. 43, 216 dan 218).
Dalam filsafat, Descartes dan Spinoza cukup merepresentasikan pengetahuan modern tentang otak yang dimaterialisasi melalui tubuh.
Tubuh dianologikan selanjutnya disubstitusikan dengan mesin. Kini, pengetahuan tentang otak berkembang pesat: ‘kode skala numerik’ melalui alat canggih mengungkapkan dalam diskursus ilmiah bahwa sel-sel otak mencapai titik ketipisan hingga 1/1.000 tipisnya rambut manusia.
Berikutnya, ‘sistem sinyal’, misalnya, setiap otak manusia dewasa terdapat 100 milyar neuron, dimana satu sel neuron terhubung dengan neuron-neuron lain melalui konektor yang disebut Dendrite dan Axon.