Mohon tunggu...
Ermansyah R. Hindi
Ermansyah R. Hindi Mohon Tunggu... Lainnya - Free Writer, ASN

Bacalah!

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Perbedaan antara Diskursus Ilmiah dan Diskursus Filosofis

6 Oktober 2024   13:33 Diperbarui: 9 Oktober 2024   09:22 227
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Soal pengetahuan rasional yang tertutup dituduhkannya sesungguhnya tidak lebih dari bentuk pengayaan pengetahuan-pengetahuan yang datang dari luar dirinya. 

Bahwa Descartes melihat manusia masih tetap unggul sekaligus bergairah sepanjang kesepian atau mengganggu pengetahuannya tentang jiwa dan tubuh.

Eh, mengapa Descartes digiring ke masalah ini? Memangnya dia bertanggungjawab tentang jiwa dan tubuh? Baiklah. Kita coba simak apa yang dikatakan tentang apa yang dilihat sebagai sesuatu yang palsu.

“Jadi, Saya kira, bahwa semua hal-ihwal yang Saya lihat adalah palsu (fictitious); Saya percaya bahwa tidak satupun obyek itu pernah ada merepresentasikan ingatanku yang keliru; Saya kira bahwa Saya tidak memiliki kesadaran indera; Saya percaya bahwa tubuh, figur, perluasan, gerakan-lahiriah, dan kedudukan hanyalah fiksi melulu dari pengetahuanku. Lalu, ada apa di sana, begitulah ia dapat dipandang benar?  Mungkin hanya ini, yang ada  secara absolut  tidak memberikan kepastian” (Discourse on Method, J. M. Dent and Sons, Ltd., London, 1960, hlm. 85).

Bagaimana dengan fenomena yang lain? Seperti relasi unta dengan padang pasir, subyek ditegaskan oleh obyek, dimana pandangan terjauh dapat diketahui dalam pemahaman yang merata sejauh realitas yang dibebankan kepada “Aku” berpikir. 

Dalam pandangan ontologis Heidegger, sekalipun hal ini tidak “seirama”: “Aku berpikir sesuatu” dan “Aku bergairah berpikir” menandakan suatu relasi subyek dan obyek pengetahuan tidak bisa diceraikan dengan dunia lain, tetapi ditegaskan keluar.

Mending di medsos banyak mengangkat tentang “aku,” “aku,” dan “aku” daripada tidak berpikir jernih melihat duduk perkara yang dihadapi negeri kita. Parah negeri kita dan enggan untuk menyelamatkan negeri kita itu karena masih bercokol “aku,” “aku,” dan “aku.” 

Atau mungkin sebagian dari kita tidak tertarik dengan petuah filosofis?

Satu hal yang mungkin Anda tidak menerima atau belum paham tentang “aku” menurut Martin Heidegger.  Apa katanya?

“Keberadaan “aku” dipahami sebagai Realitas res cogitans,” (Being and Time, Harper and Row, Publishers, Inc., New York, 1962, hlm. 367).

Lalu, bagaimana dengan realitas baru alias hiperealitas? 

Paling tidak dari anak-anak, gen Z,  hingga kaum seleb “demam” atau bermain dengan medsos. Begitulah kehidupan baru. Kita tahu, hiperealitas berupa internet, hologram, medsos, dan kecerdasan artifisial. Saya percaya dan  entah mungkin Anda percaya tentang hiperealitas membahwa manfaat. Menurut Spinoza bahwa kehidupan (termasuk hasrat yang menggerakkan) dibangkitkan oleh nalar. Baruch Spinoza mengatakan:

“Bukti.─ Manusia, sejauh mereka hidup di bawah nalar adalah paling bermanfaat bagi dirinya (…I, Prop. 35, Bagian IV); dan maka (Prop. 19, Bagian IV) kita mencobanya, di bawah pimpinan nalar, mengusungnya manusia tentang kehidupan dibawah pimpinan nalar” (Ethics,  J. M. Dent and Sons, Ltd., London, 1959, hlm. 165-166).

Dalil-dalil tentang hasrat dari Spinoza tidak pernah sepi dari campur tangan di luar dirinya, ‘direpresikan’ oleh pengetahuan tentang Tuhan agar tatapannya yang unggul tidak memutuskan mata rantai kebutaan yang tidak terjangkau oleh persepsi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun