Soal pengetahuan rasional yang tertutup dituduhkannya sesungguhnya tidak lebih dari bentuk pengayaan pengetahuan-pengetahuan yang datang dari luar dirinya.
Bahwa Descartes melihat manusia masih tetap unggul sekaligus bergairah sepanjang kesepian atau mengganggu pengetahuannya tentang jiwa dan tubuh.
Eh, mengapa Descartes digiring ke masalah ini? Memangnya dia bertanggungjawab tentang jiwa dan tubuh? Baiklah. Kita coba simak apa yang dikatakan tentang apa yang dilihat sebagai sesuatu yang palsu.
“Jadi, Saya kira, bahwa semua hal-ihwal yang Saya lihat adalah palsu (fictitious); Saya percaya bahwa tidak satupun obyek itu pernah ada merepresentasikan ingatanku yang keliru; Saya kira bahwa Saya tidak memiliki kesadaran indera; Saya percaya bahwa tubuh, figur, perluasan, gerakan-lahiriah, dan kedudukan hanyalah fiksi melulu dari pengetahuanku. Lalu, ada apa di sana, begitulah ia dapat dipandang benar? Mungkin hanya ini, yang ada secara absolut tidak memberikan kepastian” (Discourse on Method, J. M. Dent and Sons, Ltd., London, 1960, hlm. 85).
Bagaimana dengan fenomena yang lain? Seperti relasi unta dengan padang pasir, subyek ditegaskan oleh obyek, dimana pandangan terjauh dapat diketahui dalam pemahaman yang merata sejauh realitas yang dibebankan kepada “Aku” berpikir.
Dalam pandangan ontologis Heidegger, sekalipun hal ini tidak “seirama”: “Aku berpikir sesuatu” dan “Aku bergairah berpikir” menandakan suatu relasi subyek dan obyek pengetahuan tidak bisa diceraikan dengan dunia lain, tetapi ditegaskan keluar.
Mending di medsos banyak mengangkat tentang “aku,” “aku,” dan “aku” daripada tidak berpikir jernih melihat duduk perkara yang dihadapi negeri kita. Parah negeri kita dan enggan untuk menyelamatkan negeri kita itu karena masih bercokol “aku,” “aku,” dan “aku.”
Atau mungkin sebagian dari kita tidak tertarik dengan petuah filosofis?
Satu hal yang mungkin Anda tidak menerima atau belum paham tentang “aku” menurut Martin Heidegger. Apa katanya?
“Keberadaan “aku” dipahami sebagai Realitas res cogitans,” (Being and Time, Harper and Row, Publishers, Inc., New York, 1962, hlm. 367).
Lalu, bagaimana dengan realitas baru alias hiperealitas?
Paling tidak dari anak-anak, gen Z, hingga kaum seleb “demam” atau bermain dengan medsos. Begitulah kehidupan baru. Kita tahu, hiperealitas berupa internet, hologram, medsos, dan kecerdasan artifisial. Saya percaya dan entah mungkin Anda percaya tentang hiperealitas membahwa manfaat. Menurut Spinoza bahwa kehidupan (termasuk hasrat yang menggerakkan) dibangkitkan oleh nalar. Baruch Spinoza mengatakan:
“Bukti.─ Manusia, sejauh mereka hidup di bawah nalar adalah paling bermanfaat bagi dirinya (…I, Prop. 35, Bagian IV); dan maka (Prop. 19, Bagian IV) kita mencobanya, di bawah pimpinan nalar, mengusungnya manusia tentang kehidupan dibawah pimpinan nalar” (Ethics, J. M. Dent and Sons, Ltd., London, 1959, hlm. 165-166).
Dalil-dalil tentang hasrat dari Spinoza tidak pernah sepi dari campur tangan di luar dirinya, ‘direpresikan’ oleh pengetahuan tentang Tuhan agar tatapannya yang unggul tidak memutuskan mata rantai kebutaan yang tidak terjangkau oleh persepsi.