Sektor kehidupan manusia diurapinya dengan mengangkat setinggi-tinggi daya nalar dan karenanya, hasrat atau kehidupan itu sendiri tetap selalu bersentuhan dengan setiap obyeknya (sosial, ekonomi, politik, teknologi dan konsep).
Jika kita mengetahui sesuatu datang dari hal-hal yang bersifat badaniah (corporeal thing), maka nanti kita tidak akan lihat dan menemukan dalam imajinasi yang memisahkan dirinya dengan pengetahuan.
Ia juga bukan sebuah mimpi sebagai sesuatu yang dapat kita rasakan atau digambarkan melalui obyek yang ditangkap organ-organ indera bagaikan “politik santap siang” (telah benar-benar ‘ada’ di dalam obyek yang kita lihat, cium, merasakan panas dan dingin), berakhir ketika semuanya itu hanyalah jejak-jejak yang mengarah pada gagasan otoriter, sehingga ia tidak dapat dipertahankan dalam benak kita (akibat prensentasi yang palsu).
Nah, jika ada orang yang berbicara di medsos tentang geleng-geleng kepala, dahi berkerut atau otak tidak beres di medsos hanya karena perkara Mulyono melindungi Gibran pemilik akun Fufufafa itu terkait dengan pikiran.
Katakanlah, bangsa netizen dan putra Mulyono yang ramai disentil bahkan dimaki di medsos lebih dengan ego cogito, yakni keadaan pikiran yang ngotot dipertahankan demi dirinya sendiri.
Ego cogito dimeriahkan oleh segudang pertanyaaan terutama transendensi atas setiap fenomena politik yang melanda tubuh, tatanan, kebahagian, canda tawa, keberanian dan harapan. Semuanya itu berhubungan dengan peristiwa pertumbuhan, kejayaan, dan keruntuhan diskursus (wacana) tentang gairah (pengetahuan, intelek).
Mohon, puyengnya jangan terlalu lama, ya!
Sebelum sampai pada yang lain tentang kewaspadaan pada permainan berbahaya, ada hantu dalam pikiran menggelayuti dunia nyata.
Lantas, pengetahuan tentang permainan topeng menjadi ingar-bingar politik. Descartes mengatakan:
“Pengetahuanku sering mengembara, dan ia tidak akan pernah tunduk kepada sesuatu yang menghalanginya di dalam batas-batas kebenaran. Karena itu, sekali lagi mari kita tinggalkan pengetahuan terhadap dirinya sendiri yang sepeleh, dan menurut jenis kebebasannya [mengizinkannya] untuk mempertimbangkan anggapan obyek yang memerlihatkannya dari hal yang tidak ada. Sehingga, setelah itu, ia menarik dirinya secara hati-hati dan secara kebetulan [dan tetap pada pertimbangan keberadaan dan sifat yang ditemukan dalam dirinya sendiri], maka mungkin ia lebih mudah dikontrol” (Discourse on Method, hlm. 90).
Namun demikian, sudah tentu ada ilmuwan atau ahli perotakan (neuroscientists) tidak dapat menyembunyikan kekagumannya pada ‘otak’ sebagai “benda ajaib.” Akan tetapi, mereka tetap saja berada dalam kesepian atau keheranan berlapis-lapis dan ketidakjangkauan terhadap rahasia-rahasia atau teka-teki yang menyelimuti “benda otak.”
Bagi mereka yang memiliki keyakinan akan kebenaran ilmiah memandang asal-usul pengetahuan manusia sebagai bayang-bayang jaringan sistem otak, kecuali satu sisi dari “drama otak” mendekati animasi-animasi binatang, seperti bangsa “lebah” memiliki kemampuan untuk: terbang, bertarung, melihat, mendengar, mencium, mengecap, meraba, menyentuh, membangun rumah, mengendalikan suhu, melindungi, berjalan, mengasuh berkembang biak, bekerja secara konstruktif-kooperatif dalam sebuah komunitas dengan instingnya.