Mohon tunggu...
Ermansyah R. Hindi
Ermansyah R. Hindi Mohon Tunggu... Lainnya - Free Writer, ASN

Bacalah!

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Perbedaan antara Diskursus Ilmiah dan Diskursus Filosofis

6 Oktober 2024   13:33 Diperbarui: 9 Oktober 2024   09:22 227
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Percaya atau tidak, coba saja? Sensasi dingin, akhirnya ditangkap oleh otak kita.

Dalam diskursus filosofis, gairah dingin berarti ketidakhadiran berpikir sistematis, radikal, koheren, tanpa bergerak dari satu titik ke titik yang lain hingga lenyapnya membongkar dan menata ulang pemikiran. Gelombang sensasi dingin dari es krim akan menstimulus lidah ke otak. 

Sementara, dalam filsafat, pikiran bukan terbungkus oleh materi bernama otak. Begitu simpelnya, gairah dingin sama dengan ogah berpikir atau malah tidak masuk akal. Gairan dingin atau panas menjadi 'sintesa' citra pikiran yang adem, pemikiran diskursif, dan gelisah.

Gairah dingin tidak juga datang dari kelimpahruahan obyek tiba-tiba diganti dengan hasrat untuk mengetahui atau keriuhan revolusi hasrat secara institusional. 

Ia bukan rangkaian akhir dari aksi teror mimpi.

***

Saya mohon, teman-teman jangan merem dulu dan alergi dengan kosa kata berikut. “Aku” (I), “Cogitatio” (consciousness), “terang” (clear), “pasti” (certain), “terpilah” (distinct), “sangsi” (doubt), dan “nyata” (real) merupakan serangkaian ‘kenikmatan meditasi’ dari sang Descartes untuk mengusir rasa kantuk, setan, mimpi, samar dan membingungkan subyek dan obyek yang diciptakannya.

Tidak jarang keyakinannya menilai ‘terang’ atau ‘pasti’ dari hal-ihwal dihubungkan dengan  tubuh, figur, gerak, perluasan, dan tempat hanyalah sebagai fiksi melulu dari pengetahuan manusia. 

Binatang berakal modern bergulat dengan dirinya sendiri dalam wujudnya yang lain, seperti ‘tuhan-tuhan tiran’ (nafsu-serakah politik dan ekonomi) atau ‘setan intelek’ (bibit-bibitnya yang rawan bagi rasionalitas) ternyata masih selalu dianggap ‘kekonyolan yang jenaka’ dari sebagian rasionalitas paling tinggi sekalipun.

Saya sadar, bahwa Descartes biasa juga dianggap menganut semacam silopsis istimewa, karena kegairahan meditasi yang tidak terbendung, membuatnya semakin ‘binal’ untuk selalu membuat peluang ‘kritik atas kritik’, ‘sangsi atas sangsi’, meskipun dia berhasil menjebak daya ‘nyata’ setan pikiran atau sebaliknya yang membayangi pengetahuannya sendiri. 

Sampai dia membuka daun pintu dengan tatapan dan gerakan tubuhnya lebih rendah daripada membuka cakrawala pengetahuan manusia yang mengarahkannya ke tujuan ‘tertinggi’ (mungkin Tuhan hakiki, yang benar-benar tidak ngantuk, tidak tuli atau tidak buta).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun