Tidak jarang keyakinannya menilai ‘terang’ atau ‘pasti’ dari hal-ihwal dihubungkan dengan tubuh, figur, gerak, perluasan, dan tempat hanyalah sebagai fiksi melulu dari pengetahuan manusia.
Binatang berakal modern bergulat dengan dirinya sendiri dalam wujudnya yang lain, seperti ‘tuhan-tuhan tiran’ (nafsu-serakah politik dan ekonomi) atau ‘setan intelek’ (bibit-bibitnya yang rawan bagi rasionalitas) ternyata masih selalu dianggap ‘kekonyolan yang jenaka’ dari sebagian rasionalitas paling tinggi sekalipun.
Saya sadar, bahwa Descartes biasa juga dianggap menganut semacam silopsis istimewa, karena kegairahan meditasi yang tidak terbendung, membuatnya semakin ‘binal’ untuk selalu membuat peluang ‘kritik atas kritik’, ‘sangsi atas sangsi’, meskipun dia berhasil menjebak daya ‘nyata’ setan pikiran atau sebaliknya yang membayangi pengetahuannya sendiri.
Sampai dia membuka daun pintu dengan tatapan dan gerakan tubuhnya lebih rendah daripada membuka cakrawala pengetahuan manusia yang mengarahkannya ke tujuan ‘tertinggi’ (mungkin Tuhan hakiki, yang benar-benar tidak ngantuk, tidak tuli atau tidak buta).
Soal pengetahuan rasional yang tertutup dituduhkannya sesungguhnya tidak lebih dari bentuk pengayaan pengetahuan-pengetahuan yang datang dari luar dirinya.
Bahwa Descartes melihat manusia masih tetap unggul sekaligus bergairah sepanjang kesepian atau mengganggu pengetahuannya tentang jiwa dan tubuh.
Eh, mengapa Descartes digiring ke masalah ini? Memangnya dia bertanggungjawab tentang jiwa dan tubuh? Baiklah. Kita coba simak apa yang dikatakan tentang apa yang dilihat sebagai sesuatu yang palsu.
“Jadi, Saya kira, bahwa semua hal-ihwal yang Saya lihat adalah palsu (fictitious); Saya percaya bahwa tidak satupun obyek itu pernah ada merepresentasikan ingatanku yang keliru; Saya kira bahwa Saya tidak memiliki kesadaran indera; Saya percaya bahwa tubuh, figur, perluasan, gerakan-lahiriah, dan kedudukan hanyalah fiksi melulu dari pengetahuanku. Lalu, ada apa di sana, begitulah ia dapat dipandang benar? Mungkin hanya ini, yang ada secara absolut tidak memberikan kepastian” (Discourse on Method, J. M. Dent and Sons, Ltd., London, 1960, hlm. 85).
Bagaimana dengan fenomena yang lain? Seperti relasi unta dengan padang pasir, subyek ditegaskan oleh obyek, dimana pandangan terjauh dapat diketahui dalam pemahaman yang merata sejauh realitas yang dibebankan kepada “Aku” berpikir.
Dalam pandangan ontologis Heidegger, sekalipun hal ini tidak “seirama”: “Aku berpikir sesuatu” dan “Aku bergairah berpikir” menandakan suatu relasi subyek dan obyek pengetahuan tidak bisa diceraikan dengan dunia lain, tetapi ditegaskan keluar.
Mending di medsos banyak mengangkat tentang “aku,” “aku,” dan “aku” daripada tidak berpikir jernih melihat duduk perkara yang dihadapi negeri kita. Parah negeri kita dan enggan untuk menyelamatkan negeri kita itu karena masih bercokol “aku,” “aku,” dan “aku.”
Atau mungkin sebagian dari kita tidak tertarik dengan petuah filosofis?