Mohon tunggu...
Ermansyah R. Hindi
Ermansyah R. Hindi Mohon Tunggu... Lainnya - Free Writer, ASN

Bacalah!

Selanjutnya

Tutup

Politik

Asal Capres Tidak Mengibuli Si Miskin

17 November 2023   23:06 Diperbarui: 16 Januari 2024   12:22 221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Maklumlah, kita pikir apa yang ada di sekitar kita. Jeritan massa miskin dibungkam oleh politik uang. Suara lirih orang miskin tenggelam di tengah ingar-bingar politik. Suara massa miskin tidak segemuruh dengan konser musik Coldplay di Jakarta (15/11). Ia tidak segencar dengan aksi boikot produk pro Israel akibat membombardir Gaza, juga pembersihan etnis atau genosida di Palestina.

Ditengarai sudah ada curi start nih. Bagi-bagi beras untuk lima tahun. Dapet berasnya, nggak janji deh nyoblosnya? Bagi-bagi amplop, duit, dan sembako untuk pilih pasangan capres dan cawapres tertentu. Hoax apa Hore? Hoks atau Hoax? Ya, sudahlah bung! 

Saya sudah baca visi dan misi pengentasan kemiskinan para capres dan cawapres. Ada yang tersurat dan ada yang tersirat. Intinya, ini perang gagasan dan konsep gaes!

Mengakhiri cerita, beberapa hari lalu, komentar saya ditanggapi oleh bestie di grup Whatsapp. Bagaimana jalan cerita singkatnya?

Bung Man. Satu pertanyaan buat lo. Apakah strategi "jual citra" masih akan laku di 2024? Iya, hal yang lumrah. Biasalah itu (he he). Begitu jawabku. Terus bestie saya berkomentar kembali. "Berarti waktu 4 (empat) bulan akan laku dipake untuk turun "sekadar tengok" ya?" Tengok-tengoknya mungkin untuk "curi hati" pemilih. "Curi hati" pemilih itu kuncinya. "Habis tengok-tengok, nanti datang lagi empat tahun kemudian (bestie tertawa)." Jawabku: "Kalau tengok-tengok pulang itu dianggap sebagai cara untuk mendulang citra positif, nggak masalah."

Toh, tidak ada masalah bestie. Saya pikir, tujuan politik pencitraan untuk mendulang suara alias mendongkrak opini publik para kandidat (waktu itu, masih tahapan bacapres-bacawapres). Memang tidak sedikit juga politik pencitraan berujung ejekan semacam parodi.

Jokowi misalnya, Pilpres 2014-2019, 2019-2024 tidak sepi dari "jual citra" atau "politik pencitraan." Katakanlah, suka blusukan, penampilannya sederhana.

Blepotan lumpur saat tanam padi bareng petani, ngobrol di warung sari laut atau pecel lele itu jg bagian dari jual citra atau politik pencitraan. Ahli menganggap dalam sistem demokrasu modern terdapat politik pencitraan.

Urusan penampilan lebih dikedepankan daripada substansi. Hasil survei atau riset juga menunjukkan yang laris itu citra "merakyat", sederhana, jujur. Bukan visi misi yang hebat dari elite alias capres-cawapres. Inilah #edisiDuarius.

Yang jelas, siapapun capres-cawapres yang terpilih bakal menghadapi isu kemiskinan ekstrem. Maret 2023, tingkat kemiskinan ekstrem Indonesia mencapai 1,12 persen. Jumlah penduduk miskin, Maret 2023 sebesar 25,90 juta orang atau 9,36 persen (BPS, 2023).

Kita sadar tentang siapa capres-cawapres Anies-Muhaimin, Prabowo-Gibran, dan Ganjar-Mahfud. Tetapi, berkali-kali kaum miskin sebagai obyek. Ketika calon presiden politisasi si miskin, maka kita berharap kelengkapan wawasan dan kepentingan capres-cawapres dengan mengumbar, membonekakan, menopengi, dan mengorbankan si miskin agar lekas diakhiri. Stop, dramatisasi yang menyebalkan! Selamat berjuang capres-cawapres!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun