Mohon tunggu...
Ermansyah R. Hindi
Ermansyah R. Hindi Mohon Tunggu... Lainnya - Free Writer, ASN

Bacalah!

Selanjutnya

Tutup

Politik

Asal Capres Tidak Mengibuli Si Miskin

17 November 2023   23:06 Diperbarui: 16 Januari 2024   12:22 221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari itu juga, kami mewawancarai nenek Hamidah. Nek, boleh kami ngobrol sebentar, tanyaku? Dibenaknya mungkin ada tanda tanya. Siapa gerangan yang datang di rumahku? Kami memperkenalkan pada nenek Hamidah. Maksud kedatangan kami untuk menanyakan beberapa hal.

Rumah nenek Hamidah merupakan rumah bawah. Artinya, rumah yang menunjukkan bahwa dia adalah miskin ekstrem. Atap rumahnya sudah tua dan bocor-bocor. Kondisi rumahnya serupa gubuk.

Saat nenek Hamidah ditanya, begini jawabannya. Sudah dapat program bantuan PKH nenek? "Ya." Berapa nek? "600.000 rupiah selama tiga bulan." Kalau BPNT, seperti telur nek? (dibantu menjawab oleh aparat desa). "Telur dua rak." Setelah dituangkan nek? "400.000 rupiah." Dia juga dapat BLT Desa sebanyak 300.000 rupiah per bulan dan bantuan terdapat El Nino berupa beras 10 Kg.

Sudah berapa lama nek dapat program bantuan? "Sekitar satu tahun (PKH, BPNT)." Apa manfaat dirasakan dari program bantuan nek? "Dirasakan baik karena bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari secara gratis." Melalui program bantuan itu, dia bisa menyambung hidup. Apa yang dibutuhkan nek dengan program bantuan mendatang? 

Nenek Hamidah butuh bedah rumah. Program manakah yang paling membantu mengurangi beban kemiskinan? "PKH, BPNT, beras." 

Tiba gilirannya pertanyaan seputar pekerjaan atau mata pencaharian. Apa pekerjaan nek? Berturut-turut dibantu menjawab oleh aparat desa. "Membantu petani budidaya rumput laut." Maklumlah, rumah nenek Hamidah berhadapan dengan pesisir pantai.

Apakah nenek Hamidah menempati rumah tidak layak huni? "Ya." Apakah rumahnya milik pribadi atau tidak? "Milik pribadi." Apakah tanah yang ditempati nek milik pribadi atau tidak? "Milik pribadi." 

Apakah rumahnya pakai listrik? "Ya, menyambung." Berapa luas rumahnya nek? "Sekitar 6 x 8 m bujur sangkar." Atap rumah nek dari jenis apa? "Seng berkarat dan bocor." Lantainya dari jenis apa? "Floor, semen yang sudah lama." Dindingya? "Gamacca, dinding bambu anyaman." Air minum yang dipakai nek dari mana sumbernya? "Sumur bor (PANSIMAS)." Ada jamban keluarga nek? "Ya, ada." Saya kira cukup wawancaranya, yang lamanya terhitung kurang lebih lima menit.

Sebetulnya, masih ada warga miskin ekstrem yang tidak ada namanya di data kemiskinan ekstrem di daerah kami. Jika boleh disebut Sineng namanya. Gambar rumahnya diambil dari jarak dekat dengan kondisi rumah reok banget. 

Rumahnya persis gubuk derita. Cuma kami tidak sempat mewawancari secara langsung lantaran dia sedang istirahat. Berdasarkan keterangan aparat desa, Sineng hidup sebatang kara.

Banyak rumah tangga miskin ekstrem yang termuat dalam data. Sebaliknya, rumah tangga yang bukan miskin ekstrem kerap muncul data (inclusion error). Ini membuat cemburu pihak lain karena mereka tergolong rumah tangga mampu, sehingga tidak layak menjadi rumah tangga miskin ekstrem.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun