Tulisan sederhana ini muncul karena mengingatkanku pada dedengkot pemikiran semiologis- strukturalis Perancis bernama Roland Barthes dengan bukunya, Mythologies.
Saya cuma diam-diam untuk mengusir rasa mager, malas bergerak dengan cara menulis. Sampai tulisan ini dibuat, saya lebih bergairah melalui mesin tulisan bernama komputer, di siang hari.
Kita mulai dari sederet judul buku dan tokoh. Teks Barthes tidak pernah bertemu dengan para penulis beken atau ternama, seperti 'Kronik 65', 'Mengincar Bung Besar', 'Jas Merah', dan 'Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan', Sosok subversif seperti Tan Malaka, D.N. Aidit, Pramoedya Ananta Toer atau sosok intelektual lainnya sekaliber Franz Magnis Suseno dengan karyanya masing-masing.Â
Tulisan mereka begitu menantang yang mengalir melebihi percetakan buku. Bedanya, dulu mesin ketik, kini komputer, laptop atau sejenudnya sebagai mesin tulisan.Â
Sebelum (dan setelah) tahun 2019, razia alias pelarangan buku berlangsung terutama pada tema-tema Marxisme.Â
Buku-buku bertema tersebut masih berserakan di kolom langit. Mungkin, selain ada di toko buku, mungkin juga muncul di rak buku perpustakaan, di kamar kita atau juga di dekat bantal menjadi pengantar tidur kita.
Padahal, di sela-sela waktu perbincangan, saya tidak mengerti apa yang terjadi dalam pikiran yang tertotaliterkan.Â
Perhatian itu mulai redup, tatkala saya memikirkan benda-benda atau kata-kata dengan setengah senyap mengambil Mythologies pelan-pelan. Saya menemukan satu bagian tulisan begitu menarik: 'Mitos tentang Aliran Kiri' (Myth on the Left)Â (1993:145).
Mitos itu tidak berbicara pada debu yang menempel di permukaan kertas buku atau ia tidak menanamkan pengaruhnya melalui aroma buku.Â
Kertas dan aroma buku memberi permulaan-permulaan ingatan kembali pada kata-kata, obyek atau benda-benda yang menggairahkan.
Meski "si kutu buku" sudah membaca teks tertulis bertema Marxisme, aroma buku itu masih teringat. Karena itu, 'buku revolusioner non Marxis' menyenangi strategi perangsangan yang tidak terlalu memperhatikan ada atau tidak ada ketidaksadaran teks (Derridian).
Nah, peristiwa pelarangan buku itu tidak berlangsung seperti malam menyambut pagi, kata menaklukkan bahasa, proposisi melenyapkan pernyataan atau sebaliknya. Dari kulit kertas atau sampul buku tidak lagi sebagai kata-kata.Â
Tulisan tidak "berjenis kelamin" tetapi menantang dan merangsang di bagian tersembunyi dari pandangan kasat mata. Ia melebihi bulu kuduk kita. Saya tidak melihat kabut dan tembok-tembok lagi, kecuali kata-kata di atas kertas telah mulai lusuh.
Tulisan ditopang oleh kertas buku yang membuatnya tidak ditelan waktu. Relasi itulah yang menciptakan kata-kata dan benda-benda. "Razia buku itu dilarang. Yang berhak melakukan razia adalah aparat penegak hukum," tutur aparat hukum. (detik.com, 5/4/2019)
Pelarangan atas pemikiran lewat buku, teks tertulis. Ia tidak lebih dari kekuatan benda-benda yang menyelinap di selah-selah kenikmatan membeli buku. Ia bukan dari rasa miris dan lelucon yang dibuat oleh penantangnya.
Sesampai di masing-masing tempat, kita akan tumbuh bersama dengan kehidupan, dari para penantang teks tertulis yang sesungguhnya mereka tidak lebih berbahaya dari apa yang mereka persangkakan. Mereka tidak membredel pemikiran, kecuali benda-benda yang berbicara dalam buku itu sendiri.
Ada momentum di mana para penantang pengetahuan atau tulisan subversif dan orang-orang pecandu gila buku menemukan titik tolak atau satu dorongan.Â
Dari manakah itu? Kenikmatan dan penjelajahanlah yang mendorong para penantang teks-teks tertulis bermuatan ideologis. Â
Kita digiring dalam kemabukan yang tidak terbayangkan sebelum menemukan hal-hal aneh di balik perbedaan tulisan.
Penyebaran kata dan benda-benda menerobos cakrawala pemikiran penulis, dimana teks-teks tertulis bergerak dari satu buku ke buku lainnya. Buku melawan dirinya dan tulisan melawan tulisan lainnya tiba-tiba tidak menarik perhatian akibat pertukaran dan perubahan kata-kata semakin tidak ada tujuannya.
Kita tidak jauh bahkan terseret dalam pusaran menuju celah dan keluar dari pinggiran sejak pelarangan teks tertulis berbahaya. Ia datang mendahului dunia yang kita bayangkan. Ia semakin dilarang, semakin menarik. Sesuatu yang memikat dan merangsang dari tempat berkumpulnya judul dan edisi buku (bukan dari pernyataan-pernyataan yang muncul dari toko buku bergensi).
Proses perangsangan dari perbedaan sudut pandang, dari ada atau tidak adanya nilai ilmiah didalamnya. Ia bukanlah kekuatan mencumbui sejensi dogma atau ideologi dengan komentar-komentar yang dianggap ngawur.Â
Sementara, strategi pelarangan menjadi sesuatu lebih jelas dari pertentangan sebelumnya sebagai perbedaan.
Mungkin setelah membaca buku karya Tan Malaka atau tokoh lainnya, yang dipilih suatu kelompok kata atau proposisi membuatnya terpikat, akhirnya kecanduan padanya. "Saya lebih menyenangi bermain ke dunia pemikiran diskursif yang membuat kita tertantang."
Tidak ada yang bisa kita bicarakan, kecuali tulisan yang hanya meracuni kebenaran selama itu dikatakan telah 'final' dan jelas. Anda mungkin tidak merasakan, tetapi saya terangsang oleh diskursus yang mengitariku. Teks tertulis tidak membuat kita tertunduk malu, ibarat sepasang kekasih membagi cerita suka cita. Kata-kata memperlihatkan pada orang-orang berupa diskursus, dimana teks tertulis beragam lebih menantang dari semua penjuru.
Kita tidak mengetahui dari mana kita mulai bergairah dan terkagum-kagum. Tatkala banyak kepicikan, tulisan satu demi satu menghilang dalam kebenaran. Kita tidak sadar akan tulisan yang mengantarkan pada pengarang yang telah lama pergi dan meninggalkan arsip-arsip.Â
Tetapi, pengarang seakan-akan "tersekat" dalam jarak yang tidak pernah teratasi lantaran ketidaksadaran teks tertulis tidak kunjung terbentuk.
Seseorang hanya semakin hanyut dengan tulisan yang menggairahkan; teks tertulis semakin tidak menarik untuk dibaca.Â
Pengarang semakin merasakan hasrat yang meluap-meluap untuk mencoba menata ulang kata demi kata, kalimat demi kalimat. Seseorang tidak membawa dirinya lahir di luar diskursus, dalam suatu hasrat untuk menulis yang membuat pihak tertentu murka.
Dalam diskursus peradilan, misalnya, tindakan pelarangan buku melalui proses hukum yang diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi. Itu saja alasan mengapa institusi menggumuli dirinya dengan teks-teks hukum pelarangan atas buku yang membahayakan: "Mereka tidak usah gamang dengan pelarangan tersebut." (detik.com, 6/8/2019)
Mesin tulisan dari penerbit alias percetakan perlu menyerempet bahaya. Mesin tulisan itu menciptakan gairah yang aneh. Ia tidak disadari oleh mereka yang bergumul dengan teks tertulis.Â
Mesin tulisan itu menciptakan kegilaan dan kenikmatan yang khas. Edisi, kertas, dan ingatan yang menggairahkan. Anda memiliki ingatan tersendiri tanpa perpustakaan, kecuali teks tertulis lewat medsos atau internet.Â
Dalam model miniaturisasi, buku menjadi buku kehidupan. Produksi kehidupan ada dalam buku. Bukan isinya, tetapi bentuknya membuat orang tertantang.
Diskursus tidak memperlihatkan lagi susunan benda-benda yang telah mapan.Â
Buku tidak membicarakan dan melihat lawan yang tersembunyi di balik kata dan benda-benda. Kekuatan edisi, kertas dan ingatan itu bergantung pada teks-teks yang mencurigakan.
Teks tertulis dalam buku yang dianggap berbahaya tidak memperlihatkan pada kita, bahwa kita tidak dapat menunggu terlalu lama kedatangannya. Wilayah kemunculannya sekali-kali telah disembunyikan agar membuat mereka lebih terangsang. Kedatangannya tidak ditunggu lagi, dimana ada satu celah sebagai titik rangsangan di balik teks tertulis.
Buku kiri telah tidak ada lagi selama tidak ada lagi pelarangan padanya. Pelarangan itulah jadi momok lama. Ia menciptakan daya pikat tersendiri sekaligus mencurigainya.Â
Kekuatan dari pelarangan atas bahaya buku yang memberi kegairahan tanpa permulaan. Lantas apanya yang dilarang?Â
Dalam kehidupan dengan perlindungan teks tertulis tidak menunda orang berbicara blak-blakan, justeru semakin menghebohkan.
Mengapa dikatakan berbahaya buku itu? Tidak ada yang cacat dan musuh dari perbincangan heboh itu, kecuali momok yang tidak menakutkan dari pelarangan secara represif.
Tindakan pelarangan buku sekarang menjadi parodi, bahan tertawaan, karena bukti-bukti ketidakmampuan institusi dan kelompok tertentu yang anti buku subversif. Orang-orang tidak memahami institusi berwewenang dengan pernyataan yang final dan pasti.Â
Katakanlah, kita mengakhiri permainan di atas meja tulis sebagai sarana terakhir, dimana ia merupakan tempat paling efektif untuk menyalurkan energi melebihi teks tertulis.
Pelarangan buku yang mencurigakan tidak dapat dipisahkan dengan momen terakhir dari proses pembentukan wilayah diskursus.Â
Setelah semuanya tidak pasti dan final dari teks tertulis dalam buku yang merangsang. Ia menciptakan hasrat tanpa satu pengaturan, penyusunan, dan penyeleksian sesuai peran-peran untuk melupakan mekanisme kontrol tertentu.
Kekuatan membaca buku menambah rangsangan diskursus yang menyatukan suatu peristiwa-peristiwa berbahaya yang tidak dilintasi oleh teks tertulis. Rangkaian kata-kata yang akan dipadatkan melalui buku subversif akan membentuk kegairahan bagi penikmatnya. demi suatu pengucilan prosedur-prosedur yang menjemukan.
Diskursus pada akhirnya mengambil alih mitos tentang buku kiri melawan aliran teks kebenarannya akibat terlalu melimpah-ruah, sehingga kita tidak mampu melihat kebenaran didalamnya. Tidak sedikit pelajaran kehidupan berliku, terjal, dan beronak dituangkan dalam buku di zaman razia, dalam rezim otoritarian. Buku kritis atas buku itu sendiri.
Bagaimana aparatur membaca buku kiri? Mari kita mencoba membaca, misalnya buku Tan Malaka. Buku diperhadapkan dengan situasi teks Marxian yang menunjukkan prinsip dimana kita berada.Â
Derrida di saat lain, bahwa kita hanya bagian dari perluasan logika bukunya tanpa dasar apa yang kita bicarakan tentang teks khusus. Kita mengingat kembali pada buku yang telah dibaca akan ditafsirkaan sesuai apa yang kita maksudkan, bukan dari maksud dari pikiran penulis bukunya.
Bisa dikatakan, tulisan sejati tanpa buku teks yang memancar keluar secara erotis, sehingga setiap orang akan tertantang dengannya.Â
Tulisan yang menciptakan perbedaan itulah yang sulit dilarang, dirazia, dan dibungkam sebagai sesuai yang berselang-seling dengan kegairahan.
Kita tidak tahu persis, bahwa mitos pelarangan buku pemikiran Marxis sudah selesai setelah rezim otoritarian.Â
Ah, siapa bilang? Jauh-jauh hari, di siang hari, tulisan memberi tanda semacam obat penenang untuk melangsungkan perbincangan sebelumnya.Â
Tetapi, kita masih tidak bebas sama sekali berbicara di negeri ini. Kecuali hak-hak kita telah dijaminkan melalui regulasi negara menyangkut pelarangan razia buku. Di sini tidak ada buku lain, kecuali buku 'anti nalar'.
Yang ada hanyalah ketidakhadiran buku, yakni jenis buku yang tidak dapat diperbincangan secara membual.Â
Pada judul apa yang membuat kita dapat berbicara lebih bebas lagi. Buku kiri yang nampaknya tidak lebih dari diskursus tidak mungkin menjadi pemikiran 'final' dan absolut. Sebagian pandangan dari penulis berhaluan keruhanian, buku kiri bukan hanya 'mencurigakan', tetapi juga buku 'yang menyebalkan'.
Buku kiri akan disita atau dibredel bukan karena "terlalu banyak teks," tetapi terlalu banyak produksi "anti kemapanan." Sehingga ada kemungkinan akan 'buku pemikiran yang terakhir' didaur-ulang menjadi penampilan baru dari pemikiran lama.
Penampilan buku sebagai "obat" ke buku sebagai "sinema" di antara teks-teks tertulis dalam buku muncul silih berganti. Peristiwa-peristiwa produksi adalah jenis peristiwa produksi buku dalam pengulangan tulisan yang tidak terelakkan.
Memang betul, razia atau pelarangan bukanlah peristiwa yang baru. Peristiwa razia buku kiri mengalami pengulangan sejak sepuluh, dua puluh tahun yang lalu, dan mungkin akan terjadi di waktu yang berbeda.
Kita juga diperlihatkan, bagaimana buku kiri dengan jumlah halaman, edisi, dan salinan, apapun judulnya, berapapun jenis kertas atau bahan yang digunakan untuk menarik perhatian dari orang merupakan suatu 'produksi hasrat. Padahal, tulisan diharapkan menjadi titik temu berlangsung alur kesahihan ilmiah dan radikalitas filsafat.
Di situlah hasrat atau gairah tanpa harus mempersembahkan jenis buku kiri sebagai tulisan 'narasi besar' warisan dari 'ideologi-ideologi besar dunia' memanfaatkan ilmu pengetahuan yang kehilangan kepercayaan padanya. Sangat aneh, mengapa masih ada strategi pelarangan buku kiri menuju proses "bunuh diri" yang konyol di negeri kita. Beruntunglah kita, jenis diskursus masih dalam keingar-bingaran.
Diskursus tentang buku kiri bukanlah hasil perbincangan keseharian kita. "Anda membaca buku cukup lama di atas bus, tiba-tiba Anda mendengar dari penumpang lain, 'kiri depan' pak sopir." Akhirnya, diskursus akan terus bergerak keluar dari gaya bahasa keseharian. Laki-laki muda berguyon dengan seusianya sambil mengobrol santai. "Saya cukup normal, tetapi Anda sendiri "mati kiri."
Bentuk-bentuk tulisan memulai kembali pada diskursus, yang bukan lagi dari asal usul tema "panas" yang diperbincangkan dalam keseharian kita. Setelah tidak dilafalkan, diskursus masih tetap menjadi pergerakan tanda dan selanjutnya diperbincangkan di luar formulasi kalimat dan diskursus itu sendiri yang menyelimutinya. Ada kemungkinan buku kiri tidak akan dilupakan selama ia berada dalam wilayah diskursus.
Meski kita sesungguhnya tidak mengerti apa-apa hingga kita tidak bisa berpikir lagi tentang apa itu buku kiri.Â
Begitupun para filsuf dan sejarawan, pada akhirnya tidak mampu berkata apa-apa lagi setelah sekian hari memperlihatkan kegilaan akan kenikmatan. Tulisan sebagian belum terungkap. Apa yang maksud di balik teks tertulis sama sekali tidak meracuni pikiran. Ia malah sebaliknya; ia adalah teks tertulis dalam komputer mungkin dicetak ulang lewat percetakan buku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H