Buku kiri akan disita atau dibredel bukan karena "terlalu banyak teks," tetapi terlalu banyak produksi "anti kemapanan." Sehingga ada kemungkinan akan 'buku pemikiran yang terakhir' didaur-ulang menjadi penampilan baru dari pemikiran lama.
Penampilan buku sebagai "obat" ke buku sebagai "sinema" di antara teks-teks tertulis dalam buku muncul silih berganti. Peristiwa-peristiwa produksi adalah jenis peristiwa produksi buku dalam pengulangan tulisan yang tidak terelakkan.
Memang betul, razia atau pelarangan bukanlah peristiwa yang baru. Peristiwa razia buku kiri mengalami pengulangan sejak sepuluh, dua puluh tahun yang lalu, dan mungkin akan terjadi di waktu yang berbeda.
Kita juga diperlihatkan, bagaimana buku kiri dengan jumlah halaman, edisi, dan salinan, apapun judulnya, berapapun jenis kertas atau bahan yang digunakan untuk menarik perhatian dari orang merupakan suatu 'produksi hasrat. Padahal, tulisan diharapkan menjadi titik temu berlangsung alur kesahihan ilmiah dan radikalitas filsafat.
Di situlah hasrat atau gairah tanpa harus mempersembahkan jenis buku kiri sebagai tulisan 'narasi besar' warisan dari 'ideologi-ideologi besar dunia' memanfaatkan ilmu pengetahuan yang kehilangan kepercayaan padanya. Sangat aneh, mengapa masih ada strategi pelarangan buku kiri menuju proses "bunuh diri" yang konyol di negeri kita. Beruntunglah kita, jenis diskursus masih dalam keingar-bingaran.
Diskursus tentang buku kiri bukanlah hasil perbincangan keseharian kita. "Anda membaca buku cukup lama di atas bus, tiba-tiba Anda mendengar dari penumpang lain, 'kiri depan' pak sopir." Akhirnya, diskursus akan terus bergerak keluar dari gaya bahasa keseharian. Laki-laki muda berguyon dengan seusianya sambil mengobrol santai. "Saya cukup normal, tetapi Anda sendiri "mati kiri."
Bentuk-bentuk tulisan memulai kembali pada diskursus, yang bukan lagi dari asal usul tema "panas" yang diperbincangkan dalam keseharian kita. Setelah tidak dilafalkan, diskursus masih tetap menjadi pergerakan tanda dan selanjutnya diperbincangkan di luar formulasi kalimat dan diskursus itu sendiri yang menyelimutinya. Ada kemungkinan buku kiri tidak akan dilupakan selama ia berada dalam wilayah diskursus.
Meski kita sesungguhnya tidak mengerti apa-apa hingga kita tidak bisa berpikir lagi tentang apa itu buku kiri.Â
Begitupun para filsuf dan sejarawan, pada akhirnya tidak mampu berkata apa-apa lagi setelah sekian hari memperlihatkan kegilaan akan kenikmatan. Tulisan sebagian belum terungkap. Apa yang maksud di balik teks tertulis sama sekali tidak meracuni pikiran. Ia malah sebaliknya; ia adalah teks tertulis dalam komputer mungkin dicetak ulang lewat percetakan buku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H