Mohon tunggu...
Ermansyah R. Hindi
Ermansyah R. Hindi Mohon Tunggu... Lainnya - Free Writer, ASN

Bacalah!

Selanjutnya

Tutup

Indonesia Lestari

Membaca Impian Indonesia 2085 Mesti Dimulai dari Utopia

22 Desember 2022   21:15 Diperbarui: 20 Juni 2023   21:43 686
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi tulisan tangan Presiden jokowi, Impian Indonesia 2015-2085 (Sumber tulisan: tribunnews.com)

Mengapa saya tertarik membaca kembali tulisan tangan Presiden Jokowi tentang sebuah impian Indonesia 2085? Saya sadar, tidak ada yang mengingatkan saya soal impian Indonesia.

Saya tiba-tiba teringat sebuah negeri impian yang dikaitkan dengan utopia. Lalu, tidak berhenti di situ. 

Kira-kira siapa yang menoreh impian negeri ini melalui teks tertulis.?

Nah, beranjak dari situlah, maka saya mencoba teringat tentang obrolan santai, tetapi serius. Tibalah saya nge-googling dan saya menemukan hal yang menarik.

Di situ ada tulisan tangan Presiden Jokowi sekitar tujuh tahun lalu (2015), yang menyimpan catatan mengenai impian Indonesia 2015-2085. Dapatnya lewat media online.

Masih terlampau jauh ke depan impian Indonesia 2085. Kita mungkin sudah tiada di muka bumi. Hal itu, justeru di situ daya tariknya.

Apalagi impian Indonesia secara spontan ditulis tangan. Mengapa bukan lewat ketik di layar medsos? Ditulis tangan, ditulis manual atau ditulis di ruang digital, tidak jadi soal.

Yang jadi soal jika warga negara tidak punya impian apa-apa. Robot saja punya visi. Dia ingin lebih alami dari manusia. Mesin yang dialamiahkan.

Mengapa saya tertarik lagi dengan tulisan tangan Jokowi? Saya mencari-cari topik, yang menurut saya masih relevan dengan kondisi kekinian. Kebetulan atau mungkin bukan kebetulan. Itu bisa misterius, begitu saya membatin.

Tanpa abai dengan pentolan atau orang hebat di negeri ini, maka saya anggap tulisan Presiden Jokowi cukup mewakili impian Indonesia. Terus terang, saya bukan relawan JokPro atau relawan Jokowi yang lain.

Lagi pula, tidak ada yang bisa sukses memimpin Indonesia tanpa persatuan dan kerjasama antaranak bangsa. Impian negeri lewat tulisan.

Kita bisa bayangkan, andai Jokowi tidak menggunakan tulisan tangan, bisa jadi, cepat atau lambat akan terlupan. Untungnya, tulisan tangan itu tersimpan menjadi rekam jejak digital. Tulisan digital seperti medium tulisan lain menjadi sarana untuk mengingat sesuatu.

Di mata postrukturalis, tulisan, termasuk tulisan tangan Jokowi tentang impian Indonesia mengatasi jarak. Biar Jokowi sudah bukan presiden, dia akan diingat diantaranya lewat tulisannya, yang tersimpan sebagai arsip.

Di situlah, disamping saya belum menemukan keterkaitan antara coretan saya yang tidak karuan tentang impian bersama utopia, juga menyentuh apa yang ditulis oleh Jokowi. Titik, itu saja.

Pasalnya, berapa banyak orang berminat berbicara atau berdiskusi seputar impian Indonesia. Mungkin juga tidak sedikit orang dalam diskusi akan kemana arah pembicaraan berakhir. Kita akan memilih berdiskusi soal negeri impian dalam kaitannya dengan utopia.

Di grup WhatsApp, dimana saya terlibat didalamnya untuk berdiskusi ringan lebih sering muncul kesimpulan-kesimpulan atau asumsi-asumsi belaka. Kering dari analisis. Hemat saya, tidak sok-sokan ilmiah dalam berdiskusi soal impian negeri ini.

Paling tidak, kita ikut nimbrung untuk membicarakan masa depan negeri ini. Betapa pun sumbangsih kita bernilai kecil tidak menjadi soal. Yang penting, kita berbicara dari sudut pandang yang berbeda mengenai impian Indonesia.

Seutopia-utopianya negeri impian dalam diskusi itu masih mending, daripada hanya bertopang dagu dan larut dalam angan-angan kosong. Anak muda bisa mengkhayalkan pada usia 25 tahun sudah bisa terbang ke angkasa layaknya dalam film fiksi ilmiah.

Belakangan ini, perhatian terutama dari Gen Z tertuju pada gaming atau sejenisnya. Jika anak muda rerata hanya bermain di dunia virtual, maka kapan mereka punya impian baru untuk negerinya? Memang betul, mereka di bangku sekolah mendapatkan pendidikan untuk mencintai bangsa dan negaranya.

Suatu ketika, semasa anak muda, saya untuk ke sekian kalinya berkunjung ke perpustakan negeri yang ternama di bagian Indonesia Timur. Perpustakaan itu berlantai tiga. Biasanya saya langsung menuju lantai dua. Di situ menyimpan koleksi bacaan yang banyak. Buku bertema sangat beragam.

Mulai dari judul buku fisika, biologi, kimia, matematika hingga ilmu sosial humaniora seperti sosiologi, pskologi, sejarah, filsafat. Sejak buku berbahasa Indonesia hingga berbahasa asing. Pokoknya, perpustakaan cukup representatif buat kaum terpelajar.

Di lain waktu, saya mengunjungi lantai perpustakaan itu. Koleksi bukunya nyaris seratus persen berbahasa Inggris. 

Saya mencari judul buku yang menarik dan sesuai dengan selera. Mungkin belajar secara otodidak begitu istilahnya.

Buku yang berjudul Utopia, karya Thomas More (1478-1535) ikut terpajang di rak buku perpustakaan. Cukup kentara, buku-buku itu jarang disentuh. Kira-kira kurang sekali dari setengah senti debu menempel di buku. Termasuk buku Utopia. Dasar, saya termasuk orang tidak jika hanya dipinjam buku itu. Membaca pelan-pelan malah menambah pusing. Saya suka melihat indeks buku. Utopia memang luar biasa.

Bagaimana dengan kata utopia? Utopia itu apa?

Kita terpaksa membuka Wikipedia. Kata utopia berasal dari kata Yunani. Utopia terdiri dari kata ou berarti “tiada” dan topos berarti “empat.” Jadi, secara harfiah, utopia berarti "tidak ada tempat”

Utopia berbeda dengan  “antah berantah,” suatu dunia dongeng alias dunia lamunan. Utopia lebih dekat dengan ungkapan negeri impian atau tatanan masyarakat yang sangat didambakan.

***

Utopia tidak berkaitan dengan perwujudan apa-apa yang ‘tidak mungkin’ dan ‘mungkin’ atau apa-apa yang ‘tidak realistis’ dan ‘realistis. 

Utopia membawa kita pada dunia yang sama sekali tidak diketahui dari mana ia mengambil ‘titik tolak’ dan ‘titik akhir’. Kelahiran utopia menjadi sumber penghancuran keduanya, tanpa jarak dan lintasan.

Utopia bukanlah bagian dari “dasar terdalam” dari sebuah ‘bangunan harapan atau mimpi’ tentang masa depan. Sebaliknya, Utopia tidak lebih pembebasan dari belenggu masa depan atau penghancuran mimpi, penolakan terhadap representasi, dan pengingkaran atas kehadiran. Ia muncul dan sekaligus mengungkapkan dirinya apa-apa yang tidak dimaksudkan dengan retakan, patahan, dan arus peristiwa yang tidak terbayangkan yang ditumpahkan oleh utopis.

Pertahanan dari Utopia tidak hanya pernah diperbincangkan. Ia tidak hanya pernah diproyeksikan, tetapi juga penciptaan daur ulang. Orang-orang yang ingin kecanduan terhadap impian, pembengkakan peristiwa, dan pembelokan logika ke arah korban perangkap hasrat yang terbebaskan. 

Dari wilayah anti utopia dengan cara menyeruak dan menepis bayangan mimpi dan harapan. Wow, utopia bisa mengantarkan pada titik “puncak” kenikmatan yang menubuh.

Utopia bukan agenda dan ramalan, tetapi kewaspadaan terhadap: (i) ketidaksadaran dan (ii) retakan. Keduanya membentangkan arus dan menunjukkan hentakan kecil untuk menghancurkan rezim tanda (karena utopia memiliki titik terjauh dari penggunaan tubuh). Utopia tidak memiliki prediksi apa-apa.

Lebih dari itu, utopia berbeda dengan kuasa dan strategi-strateginya untuk menanamkan, menopengkan, mengendalikan, dan membelokkan pada sesuatu. Sebaliknya, utopia menata dan mendaur ulang bangunan terakhir dari patahan dan retakan peristiwa, membawa dunia mimpi dan fantasi sebagai anugerah.

Utopia bukanlah dialektika atau peristiwa khusus, yang dipasrahkan atau tidak dipasrahkan pada tatanan takdir. 

Sehingga, ia tidak lagi melibatkan dirinya untuk mengatasi kontradiksi secara dialektis dan tidak hanya melampaui batas-batasnya yang hilang. Utopia memilih untuk melepaskan kembali tempo pembebasannya yang pernah ia rampungkan.

Utopia tidak lagi bertentangan dengan pergerakan yang melintasi setiap jaringan produksi, setiap rasionalitas, setiap irasionalitas yang rasional, setiap mitologi, setiap titik balik, dan setiap lompatan jauh ke depan. Bagi sosok utopis, negeri impian merancang dirinya dengan jaringan baru dan mengeluk-elukan kegamangan yang sepeleh.

Sebagaimana terjadi dengan yang lainnya (termasuk ideologi), utopia adalah mistifikasi. Demi mistifikasi dari utopia, kehidupan berlangsung sejak seluruh perbincangan tidak ada lagi tema tentang titik akhir, yaitu “akhir kenikmatan,” “akhir simulasi,” atau “akhir dari subyek-pencerahan.” Kini dan mungkin sampai kapan, gambaran negeri impian diproyeksikan ke depan, dimana utopia tergambar  dihadapan jejak-jejaknya sendiri.

Utopia dengan melintasi permukaan tubuh yang mendukung keberadaannya. Titik tolak utopia mengambil suatu peran dari teks atau struktur bahasa politik tentang “keruntuhan mitos” atau kritik musik dan puisi atas kondisi mutakhir membuat orang menertawakan suatu permainan dari orang-orang waras. Orang berpikir mengenai pembalikan arah kenampakan ilusi tidak melawan pembebasan alam dari bualan dan tirani.

Kemungkinan-kemungkinan dibalik pandangan utopis yang tertunda. Tetapi anehnya, orang-orang tidak waras tidak membuat orang-orang tertawa. 

Mereka hanya menertawakan dirinya sendiri. Orang-orang tidak waras ternyata hanya mampu berpikir apa-apa yang tidak dipikirkan oleh orang-orang yang berpikir bebas. Tidak khayal lagi, terdapat suatu masa, dimana orang-orang tidak waras akan berbicara tentang kebenaran dan logika yang akan menuntaskan seluruh alur cerita.

Lain halnya, utopia menjadi ruang untuk semua ditandai oleh “peleburan permanen birahi dan logos,” “persaudaraan sejati antara proletariat dan kapitalis,” atau “peleburan subyek dan obyek.” Kini, titik akhir itu terjadi bukan lagi di depan dan di balik layar, tetapi terkepung dari seluruh arah yang memusatkan kemampuan untuk memproyeksikan cita-cita utopia.

Terkoyaknya ideologi pasca-utopia muncul saat tidak ada lagi utopia. Yang ada hanyalah ilusi dari realitas. 

Tetapi, utopia bukanlah ideologi dan ilusi dari realitas, tetapi sejenis zat adiktif yang membuat sesuatu lebih kuat dari kehendak dan pilihan.

Utopia hasrat muncul bukan lagi sebagai jaringan kehidupan yang mudah diprogram dan dikontrol seperti tubuh. Utopia dilepaskan dan dipilihkan secara bebas dari suatu keterpaksaan tanpa tahapan, bentuk, dan ruang.

Utopia tidak untuk mengistirahatkan suatu permukaan dan peristiwa, melainkan membujuk dan menghantui. Sementara, setiap relasi produksi gagasan massa kritis dan kritik ideologi kaum intelektual menjadi peristiwa yang tidak bisa dicangkokkan menjadi sebuah jurang antara kaya dan miskin.

Selanjutnya, utopia tidak menjadi mitos karena sedang berlangsung rangkaian kekuatan sistem (hegemoni negara-global: logika hasrat kapitalisme Amerika, kapitalisme Eropa, fantasi pseudo-kapitalisme Cina). Tanda masa depan tidak lebih menarik untuk ‘membangkaikan figur sejarah baru’ dan ‘memutilasikan kerinduan akan utopia’.

Lain lagi, pembentukan visi utopia tentang “jalan tengah”, “jalan ketiga”, pasca ideologi atau pasca simulasi, akhirnya tidak lagi menjadi rumah masa depan yang menakutkan. Tetapi, keadaan menunjukkan lain, bahwa kita akan bersama dengan para penghuni seakan-akan hidup setelah dipadatkan dan dihancurkan kembali layaknya “patung lilin” yang menghuni sebuah museum sama sekali tidak memiliki kehidupan. 

Utopia bersama negeri impian akan terbebas sepenuhnya dari pengertian sebagai tubuh dan spesies yang ditunggu kedatangannya di hari itu.

 ***

Anak-anak muda dan kaum pinggiran tidak lagi mampu beredar, kespontanan yang terlucuti, dan tidak lagi melawan realitas kesadarannya sendiri. Ia tidak mampu lagi mengatakan, bahwa kamilah garis terdepan untuk menentang semua ketidakbecusan. Semuanya ini akibat ia telah keluar dari penjelasan bagaimana berpikir lebih logis dan berbicara lunak.

Mimpi atau harapan Ayah (utopia Kapitalis) menuntut Anaknya (kaum pekerja) harus beredar dan menuju padanya. Tidak khayal lagi, semua penjelasan yang diberikan padanya tidak lebih dari sebuah perangkap, dan karena Anak akan leluasa melanggar batas-batas.

Ayah tidak lagi mampu memantulkan kembali padanya suatu karakteristik agung, sekalipun atas nama visi, fantasi, mimpi atau harapan masa depan. 

Segala fantasi ideologi anak muda dan kaum pinggiran (Dunia Ketiga, miskin, kaum tertindas, buruh-petani, sebagai multitude alias banyak orang” yang tercampakkan) telah diredusir oleh utopia kapitalis.

Melalui mesin kapitalis bersumber dari kaum pinggiran dan kaum pekerja itu sendiri setelah diserap, dikuras, dan dikontrol sedemikian rupa. Kaum pinggiran telah dijinakkan dan diritualkan bersifat mekanis melalui tubuhnya sendiri. 

Selain itu, utopia kapitalis tidak tergantung pada kaum pekerja, tetapi bersumber dari energinya sendiri. Dalam penantian akhir dari utopia sosialisme, anak-anak muda datang lebih cepat dibanding massa yang tidak kritis.

Akibat ilusi ideologi terjadi, energi massa yang diserap dan tidak mampu dibiaskannya tiba-tiba berbalik ke arah Anak (kaum pekerja). Karena itu, kaum pekerja dan massa lainnya, seperti mahasiswa, telah tergiring kedalam kelinglungan.

Kita tidak lagi melintasi batas apapun akibat pergerakan dari utopia revolusioner ke sejarah non dialektis, karena tidak ada lagi batas untuk dilintasi. Meskipun kita sudah lama tidak berada disitu, bukan hanya hari esok. Sekarang pun masih menunggu terlalu lama datangnya fajar baru, manusia baru atau dunia baru.

Apakah utopia sudah tidak diperlukan lagi? Ia nampak seperti mimpi di siang bolong menunggu titik balik fantasi revolusioner, sekalipun hari yang ditunggu belum terlambat datangnya. 

Tidak ada lagi batas yang kita harus lintasi, karena batas itu sudah tidak ada lagi bersama hilangnya nilai guna ditelan oleh nilai simbolik, dan esensi tidak nampak lagi di ujung arus peristiwa acak. Ataukah memang segalanya kita tidak memerlukan lagi radikalitas setelah utopia revolusioner berlalu begitu saja? 

Mereka tidak selalu datang terlambat, karena ia seperti tubuh (Anak, kaum pinggiran) berjalan, bergerak, dan menentang takdir di tengah padang pasir nyata tanpa bayangan diri.

Mereka adalah Anak dari kaum pinggiran berada di tengah rangkaian metamorfosis menuju pada sesuatu yang nampak tersingkapnya tabir fantasi atau mimpi di antara ‘tontonan baru. Datang dari panggung yang berbeda’, dimana diri kita ditemukan mengapung-ngapung bebas seperti benda-benda nampak tanpa bobot antara angkasa luar dan bumi.

Banyak orang  belum mampu keluar dari garis orbit yang tertular oleh virus yang mematikan melalui hiburan dari ide tentang “keadilan,” visi “Ekonomi Hijau-Biru,” fantasi “peleburan identitas,” mimpi “Tanah Esok,” atau harapan akan “Perdamaian Abadi.” Semuanya tidak lebih nampak seperti visi utopia. Fantasi utopia kapitalis (misalnya, menguasai ladang minyak atau kekayaan Dunia Ketiga) memiliki satu kemiripan untuk menikmati hidangan masakan lezat, menonton layar lebar, mendaki gunung, membaca peta bumi, atau kesenangan berburu binatang.

Pada satu sisi, nilai demokrasi menjadikan hambar, lenyap, dan absurd seiring dengan tindakan korupsi dan ketidakadilan berlangsung sampai saat ini. 

Sementara, kejahatan radikal, transeksualitas radikal, dan perang radikal berlangsung pada ‘taraf makna yang mati’.

Sisi lain, pluralisme adalah penanda yang ditandai dengan korban ‘Hak Asas Manusia’ atau ‘toleransi’ terjatuh dalam ilusi ideologi. Pada tingkat yang lebih kecil, utopia “Taman Firdaus” didambakan oleh keluarga yang memiliki kesenangan makan malam bersama anggota keluarga. Sembari melupakan kehiruk-pikukan kota dengan cara menghabiskan waktu liburnya di akhir pekan. Pada kesempatan lain, mereka mengakhiri rasa jenuh di rumah dengan menonton sinema bersama dengan teman-temannya.

Utopia adalah “teater alien” yang menarik dirinya dari kubangan mimpi masa depan. Utopia merupakan retakan dalam peristiwa yang tidak menuntut suatu tayangan tunda. Mimpi utopia tentang perdamaian abadi, seperti utopia antara Palestina dan Israel. 

Apa yang datang setelah kekacaubalauan jagat memasuki lubang besar, dimana tempo pembebasannya datang terlambat.

Permainan fantasi ideologi di ruang publik merosot seiring masa permainan ‘kenikmatan puncak’ dari Ayah (rezim otoriter) menjadi akhir pemujaan diri dari Anaknya akibat mimpi masa depan tidak lagi penting diperjuangkan (Indonesia 2085). Kita tidak lagi menanggapi peristiwa lunak sebagai revolusi yang menyimpan bom waktu akibat bukan lagi dari ruang yang sumpek dan berdesak-desakan. tetapi akibat tidak tersalurkannya kenikmatan atau hasrat yang imanen terhadap sesuatu yang kasat mata.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Indonesia Lestari Selengkapnya
Lihat Indonesia Lestari Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun