Mohon tunggu...
Ermansyah R. Hindi
Ermansyah R. Hindi Mohon Tunggu... Lainnya - Free Writer, ASN

Bacalah!

Selanjutnya

Tutup

Indonesia Lestari

Membaca Impian Indonesia 2085 Mesti Dimulai dari Utopia

22 Desember 2022   21:15 Diperbarui: 20 Juni 2023   21:43 686
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi tulisan tangan Presiden jokowi, Impian Indonesia 2015-2085 (Sumber tulisan: tribunnews.com)

Melalui mesin kapitalis bersumber dari kaum pinggiran dan kaum pekerja itu sendiri setelah diserap, dikuras, dan dikontrol sedemikian rupa. Kaum pinggiran telah dijinakkan dan diritualkan bersifat mekanis melalui tubuhnya sendiri. 

Selain itu, utopia kapitalis tidak tergantung pada kaum pekerja, tetapi bersumber dari energinya sendiri. Dalam penantian akhir dari utopia sosialisme, anak-anak muda datang lebih cepat dibanding massa yang tidak kritis.

Akibat ilusi ideologi terjadi, energi massa yang diserap dan tidak mampu dibiaskannya tiba-tiba berbalik ke arah Anak (kaum pekerja). Karena itu, kaum pekerja dan massa lainnya, seperti mahasiswa, telah tergiring kedalam kelinglungan.

Kita tidak lagi melintasi batas apapun akibat pergerakan dari utopia revolusioner ke sejarah non dialektis, karena tidak ada lagi batas untuk dilintasi. Meskipun kita sudah lama tidak berada disitu, bukan hanya hari esok. Sekarang pun masih menunggu terlalu lama datangnya fajar baru, manusia baru atau dunia baru.

Apakah utopia sudah tidak diperlukan lagi? Ia nampak seperti mimpi di siang bolong menunggu titik balik fantasi revolusioner, sekalipun hari yang ditunggu belum terlambat datangnya. 

Tidak ada lagi batas yang kita harus lintasi, karena batas itu sudah tidak ada lagi bersama hilangnya nilai guna ditelan oleh nilai simbolik, dan esensi tidak nampak lagi di ujung arus peristiwa acak. Ataukah memang segalanya kita tidak memerlukan lagi radikalitas setelah utopia revolusioner berlalu begitu saja? 

Mereka tidak selalu datang terlambat, karena ia seperti tubuh (Anak, kaum pinggiran) berjalan, bergerak, dan menentang takdir di tengah padang pasir nyata tanpa bayangan diri.

Mereka adalah Anak dari kaum pinggiran berada di tengah rangkaian metamorfosis menuju pada sesuatu yang nampak tersingkapnya tabir fantasi atau mimpi di antara ‘tontonan baru. Datang dari panggung yang berbeda’, dimana diri kita ditemukan mengapung-ngapung bebas seperti benda-benda nampak tanpa bobot antara angkasa luar dan bumi.

Banyak orang  belum mampu keluar dari garis orbit yang tertular oleh virus yang mematikan melalui hiburan dari ide tentang “keadilan,” visi “Ekonomi Hijau-Biru,” fantasi “peleburan identitas,” mimpi “Tanah Esok,” atau harapan akan “Perdamaian Abadi.” Semuanya tidak lebih nampak seperti visi utopia. Fantasi utopia kapitalis (misalnya, menguasai ladang minyak atau kekayaan Dunia Ketiga) memiliki satu kemiripan untuk menikmati hidangan masakan lezat, menonton layar lebar, mendaki gunung, membaca peta bumi, atau kesenangan berburu binatang.

Pada satu sisi, nilai demokrasi menjadikan hambar, lenyap, dan absurd seiring dengan tindakan korupsi dan ketidakadilan berlangsung sampai saat ini. 

Sementara, kejahatan radikal, transeksualitas radikal, dan perang radikal berlangsung pada ‘taraf makna yang mati’.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Indonesia Lestari Selengkapnya
Lihat Indonesia Lestari Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun