Sisi lain, pluralisme adalah penanda yang ditandai dengan korban ‘Hak Asas Manusia’ atau ‘toleransi’ terjatuh dalam ilusi ideologi. Pada tingkat yang lebih kecil, utopia “Taman Firdaus” didambakan oleh keluarga yang memiliki kesenangan makan malam bersama anggota keluarga. Sembari melupakan kehiruk-pikukan kota dengan cara menghabiskan waktu liburnya di akhir pekan. Pada kesempatan lain, mereka mengakhiri rasa jenuh di rumah dengan menonton sinema bersama dengan teman-temannya.
Utopia adalah “teater alien” yang menarik dirinya dari kubangan mimpi masa depan. Utopia merupakan retakan dalam peristiwa yang tidak menuntut suatu tayangan tunda. Mimpi utopia tentang perdamaian abadi, seperti utopia antara Palestina dan Israel.
Apa yang datang setelah kekacaubalauan jagat memasuki lubang besar, dimana tempo pembebasannya datang terlambat.
Permainan fantasi ideologi di ruang publik merosot seiring masa permainan ‘kenikmatan puncak’ dari Ayah (rezim otoriter) menjadi akhir pemujaan diri dari Anaknya akibat mimpi masa depan tidak lagi penting diperjuangkan (Indonesia 2085). Kita tidak lagi menanggapi peristiwa lunak sebagai revolusi yang menyimpan bom waktu akibat bukan lagi dari ruang yang sumpek dan berdesak-desakan. tetapi akibat tidak tersalurkannya kenikmatan atau hasrat yang imanen terhadap sesuatu yang kasat mata.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H