Mohon tunggu...
Ermansyah R. Hindi
Ermansyah R. Hindi Mohon Tunggu... Lainnya - Free Writer, ASN

Bacalah!

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih

Demam Utopia

22 Desember 2022   21:15 Diperbarui: 18 Januari 2025   06:06 686
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi tulisan tangan Presiden jokowi, Impian Indonesia 2015-2085 (Sumber tulisan: tribunnews.com)

Tidak ada lagi batas yang kita harus lintasi, karena batas itu sudah tidak ada lagi bersama hilangnya nilai guna ditelan oleh nilai simbolik, dan esensi tidak nampak lagi di ujung arus peristiwa acak. Ataukah memang segalanya kita tidak memerlukan lagi radikalitas setelah utopia revolusioner berlalu begitu saja? 

Mereka tidak selalu datang terlambat, karena ia seperti tubuh (Anak, kaum pinggiran) berjalan, bergerak, dan menentang takdir di tengah padang pasir nyata tanpa bayangan diri.

Mereka adalah Anak dari kaum pinggiran berada di tengah rangkaian metamorfosis menuju pada sesuatu yang nampak tersingkapnya tabir fantasi atau mimpi di antara ‘ltontonan baru. 

Anda haus akan utopia keadilan ditampilkan dari satu panggung ke panggung yang lain melalui media sosial dan dunia maya. Soalnya, ketidakadilan membuat kita bagai mengapung-ngapung bebas seperti benda-benda nampak tanpa bobot antara angkasa luar dan bumi.

Banyak orang  belum mampu keluar dari garis orbit yang tertular oleh virus yang mematikan melalui hiburan dari ide tentang “keadilan sosial,” visi “Ekonomi Hijau-Biru,” fantasi “peleburan identitas,” mimpi “Tanah Esok,” atau harapan akan “Perdamaian Abadi.” 

Semuanya tidak lebih nampak seperti visi utopia. Fantasi utopia kapitalis (misalnya, menguasai ladang minyak atau kekayaan Dunia Ketiga) memiliki satu kemiripan untuk menikmati hidangan masakan lezat, menonton layar lebar, mendaki gunung, membaca peta bumi, atau kesenangan berburu binatang.

Pada satu sisi, nilai demokrasi menjadikan hambar, lenyap, dan absurd seiring dengan tindakan korupsi dan ketidakadilan berlangsung sampai saat ini. 

Sementara, kejahatan radikal, transeksualitas radikal, dan perang radikal berlangsung pada ‘taraf makna yang mati’.

Sisi lain, pluralisme adalah penanda yang ditandai dengan korban ‘Hak Asas Manusia’ atau ‘toleransi’ terjatuh dalam ilusi ideologi. Pada tingkat yang lebih kecil, utopia “Taman Firdaus” didambakan oleh keluarga yang memiliki kesenangan makan malam bersama anggota keluarga. Sembari melupakan kehiruk-pikukan kota dengan cara menghabiskan waktu liburnya di akhir pekan. Pada kesempatan lain, mereka mengakhiri rasa jenuh di rumah dengan menonton sinema bersama dengan teman-temannya.

Utopia adalah “teater alien” yang menarik dirinya dari kubangan mimpi masa depan. Utopia merupakan retakan dalam peristiwa yang tidak menuntut suatu tayangan tunda. Mimpi utopia tentang perdamaian abadi, seperti utopia antara Palestina dan Israel. 

Apa yang datang setelah kekacaubalauan jagat memasuki lubang besar, dimana tempo pembebasannya datang terlambat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun